Jangan Lupakan DBD
Bolehlah waspada terhadap masuknya virus corona (COVID-19), tapi jangan lupakan Demam Berdarah Dengue (DBD). Virus yang dibawa nyamuk Aedes aegypti itu angka kesakitan dan kematiannya lebih nyata di Kalimantan Timur. Dan terjadi rutin setiap tahun. ------------- DEMAM berdarah paling sering menyerang di wilayah tropis dan subtropis. Selama musim hujan dan setelah musim hujan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, kasus demam berdarah di seluruh dunia meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir. Diperkirakan ada sekitar 50-100 juta kasus demam berdarah setiap tahun. Dan sekitar setengah dari populasi manusia di dunia berisiko terkena penyakit ini. Tak terkecuali di Indonesia. Lebih dari 110 ribu kasus terjadi pada tahun 2019 lalu. Pada tahun ini, bahkan terus mengalami tren kenaikan. Kementerian Kesehatan mencatat per 13 Februari 2020, jumlah kasus DBD di seluruh Indonesia mencapai 3.256 kasus dengan total kematian 27 orang. Bagaimana dengan di Kaltim? Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim, angka kesakitan akibat DBD menunjukkan tren kenaikan. Dalam rentang waktu 3 tahun terakhir. Pada 2019 lalu, tercatat ada 6.723 kasus pasien yang menderita penyakit ini. Dari jumlah tersebut, 45 dinyatakan meninggal dunia. Padahal setahun sebelumnya, kasus ini hanya menimpa 4.100 pasien. Dengan jumlah korban meninggal 30 orang. Setahun ke belakangnya lagi, 2017 hanya 2.237 kasus dengan 9 orang meninggal dunia. Sementara untuk tahun 2020 ini, periode Januari hingga per 24 Februari, sudah ada 412 kasus. Dengan jumlah yang meninggal 5 orang. Jika dipetakan per wilayah, Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kartanegara (Kukar) merupakan wilayah yang tercatat paling banyak jumlah kasus tersebut dalam tiga tahun terakhir ini. (lihat grafis) Kabid Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim, Soeharsono, menyebutkan, jika melihat dari jumlah kasus memang Samarinda, Balikpapan dan Kukar paling tinggi. Namun jika melihat dari indikator insiden rate (IR), yaitu jumlah kasus di satu daerah dibagi per 100 ribu penduduk, menunjukkan hal berbeda. Pada 2019, paling tinggi justru terjadi di Bontang. Dari 177 ribu jumlah penduduk, ada 685 kasus DBD. Angka insiden ratenya mencapai 385,4. Paling tinggi dari 9 daerah lain di Kaltim. Dengan rata-rata IR sebesar 178,6. “Memang kalau dari segi jumlah kasus paling tinggi di Samarinda. Tapi kalau di bandingkan dengan jumlah penduduk, paling tertinggi di Bontang, Mahulu, kemudian Balikpapan dan Samarinda,” jelasnya. Sementara jika dilihat dari case fatality rate (CFR) atau risiko kematian dibagi dari jumlah kasus, kata dia, Kutai Barat yang paling tinggi dengan 4,55 persen. Dari 110 kasus, 5 orang meninggal dunia. “Jadi memang Kubar yang perlu mendapat perhatian serius. Kita tingkatkan fasilitas pelayanan dan kapasitas kesehatannya di sana,” tuturnya. Dari kedua indikator tersebut, menurutnya, meskipun insiden rate-nya tinggi namun tren kematian cenderung turun. CFR pada 2019 sebesar 0,67 persen. Mengalami penurunan dari tahun 2018 lalu mencapai 0,73 persen. “Artinya bahwa kesiapan fasilitas kesehatan dalam menangani kasus DBD sudah cukup baik. Karena meskipun mereka terkena DBD tapi tidak sampai meninggal dunia. Kami diberi target angka CFR tidak melampaui dari 1 persen,” ucapnya. Jika dilihat dari kategori usia, ia menyebut, DBD dapat menyerang semua kelompok umur. Namun, kata dia, mayoritas penyakit ini terkena pada usia anak-anak dan produktif. “Waktu penyebaran nyamuk ini kan dari pagi sampai sore. Biasanya anak-anak bayi tidur pagi hari. Kalau usia produktif, mungkin terjangkit saat lagi bekerja,” jelasnya. FAKTOR PERGANTIAN CUACA Kasus DBD di Kaltim terjadi puncaknya pada 2016 lalu. Angkanya mencapai 10.712 kasus. Dengan pasien yang meninggal mencapai 103 orang. Setelah itu, jumlahnya langsung mengalami penurunan. Cukup signifikan. Menurut Kabid P2PL Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim, Soeharsono, penyakit DBD punya pola 5 tahunan. Artinya setiap lima tahun ada puncak kasus tersebut. “Pas tahun 2017 turun drastis sekali baru naik lagi (sekarang),” jelasnya. Penyakit ini, kata dia, memang akan terjadi setiap tahun. Sebab, dipengaruhi karena perubahan cuaca dari kemarau ke musim penghujan. Yang membuat habitat nyamuk meningkat. “Maka DBD itu trennya biasanya mulai Oktober, November, Desember, Januari, Februari itu naik,” sebutnya. Namun setelah itu, tren jumlah kasus perbulannya akan menurun. Seiring dengan masuknya musim kemarau. Dan itu terjadi tiap tahun. “Artinya, pada saat pola perubahan cuaca itu, harusnya melakukan pencegahan,” imbuhnya. KEPEDULIAN MASYARAKAT Kepedulian masyarakat akan pencegahan terhadap penyakit DBD ini dirasa masih kurang. Melalui Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan melakukan 3M Plus. Yang terdiri dari menguras/membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air. Kemudian, menutup rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya. Lalu, memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk yang menularkan demam berdarah. Plus-nya yaitu kegiatan pencegahan DBD lainnya, seperti menaburkan bubuk larvasida (lebih dikenal dengan bubuk abate) pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Atau menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk dan lainnya. “Sebetulnya ada sebagian yang jalan (program 3M), ada yang enggak. Kalau lihat angka DB-nya merangkak naik, artinya sudah tidak jalan lagi. Berarti sudah kurang ,” jelasnya. Hal lainnya, kata dia, ada program yang dulu telah digaungkan oleh Kementerian Kesehatan untuk atasi DBD ini. Yaitu setiap rumah diharapkan memiliki satu orang juru pemantau jentik nyamuk. Di tingkat kepala keluarga, ada satu orang yang ditunjuk untuk memantau jentik di rumahnya masing-masing. Termasuk di lingkungan sekitarnya. Khususnya di tempat pemukiman dan lingkungan yang ada penampungan air. Angka bebas jentik ini menjadi indikator untuk gerakan PSN, melalui 3M plus. Yang dilakukan bersama-sama, baik pemerintah dan partisipasi masyarakat. “Standarnya angka bebas jentik itu 95 persen. Kalau angka bebas jentik suatu wilayah itu menurun, itu pasti kasus DBD nya akan meningkat,” paparnya. DETEKSI DINI Pada medio Januari 2020 lalu, di tengah kehebohan virus corona, Kementerian Kesehatan memberikan atensi khusus terhadap 11 provinsi di tanah air, yang mengalami penigkatan kasus DBD. Sepanjang Januari 2020, telah terjadi 1.358 kasus demam berdarah dengue (DBD) yang tersebar di sejumlah daerah di Tanah Air dengan korban jiwa meninggal dunia sebanyak 12 orang. Angka ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan periode sama pada 2019 yang mencapai 27.344 kasus dengan 236 kematian dari 11 provinsi di 78 kabupaten/kota. Di Kaltim sepanjang Januari 2020 terjadi 380 kasus dengan korban jiwa 4 orang. Turun drastis dari periode yang sama pada tahun 2019 lalu, yang mencapai 1.544 kasus dengan korban jiwa 9 orang. Namun demikian, jika dilihat angka perbulan, jumlah ini terus mengalami kenaikan sejak empat bulan terakhir. Pada Oktober 2019, hanya terjadi 175 kasus dengan korban jiwa 2 orang. Di November naik menjadi 317 kasus dengan korban jiwa 3 orang. Dan di penghujung tahun, Desember 2019, tercatat terjadi 309 kasus dengan korban jiwa 2 orang. Pemerintah pun telah melakukan sejumlah upaya untuk mencegah agar tidak semakin banyak warga yang terjangkit penyakit DBD. Plt Kepala Dinas Pendididkan Kaltim Andi Muhammad Ishak menegaskan, pihaknya telah mengeluarkan surat perintah kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Isinya untuk meningkatkan surveilans kesehatan masyarakat. Pendeteksian dini, sebagai dasar melakukan langkah-langkah antisipasi dan pencegahan. “Petugas kesehatan di kabupaten kota itu sudah tahu, apa yang harus dilakukan. Tinggal ditingkatkan saja kegiatannya,” ucapnya. Ia pun menegaskan, DBD pun menjadi perhatian khususnya. Sebab mengalami peningkatan kasus. Bahkan tak hanya terjadi di wilayah perkotaan saja, namun sudah merata sampai ke desa. “Kami selalu ingatkan kabupaten/kota, belajar dari Paser, melakukan sosialisasi maupun evaluasi program. Untuk terus meningkatkan kemampuan surveilansnya. Karena kuncinya disitu,” jelasnya. Diketahui, media 2018-2019 Kabupaten Paser ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD. Karena meski jumlah kasusnya tak banyak, namun terjadi peningkatan jumlah dari tahun seblumnya di periode yang sama. Baik dari kasus maupun angka kematian. Pada 2017, 63 kasus DBD tanpa korban jiwa terungkap di Paser. Namun, pada 2018, dalam rentang waktu November—Desember terdapat 102 kasus dengan lima di antaranya meninggal dunia. Selain itu, ia juga meminta masyarakat untuk tetap waspada. Dengan cara meningkatkan kebersihan rumah dan lingkungan sekitarnya. Seperti menggiatkan kembali kegiatan bersih-bersih. Menjaga kebersihan lingkungan, disebutnya, paling efektif mencegah DBD. Karena habitat nyamuk pembawa virus DBD itu tidak berkembang biak. “Selain penguatan internal, kami juga meminta petugas melakukan edukasi kepada masyarakat untuk bisa menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya. Sebenarnya itu yang paling efektif untuk mengatasi kejadian ini,” harapnya. Tak hanya itu, edukasi dan sosialisasi pun telah dilakukan di sekolah-sekolah. Sebab, penyakit DBD ini kebanyakan terjangkit kepada anak-anak. “Nyamuk ini bekerja di siang hari. Pagi siang sampai sore. Terutama pagi. Makanya kenapa ini harus diwaspadai terutama untuk anak sekolah. Di sekolah, ada kegiatan pemantauan jentik,” paparnya. (*) Osa Rafshodia: Di Samarinda Angkanya Turun LAIN halnya dengan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tepian. Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Samarinda Osa Rafshodia justru trend-nya menurun. Hal itu disampaikan Osa ketika ditemui Disway Kaltim di Jalan Milono, Samarinda, Senin (24/2). Bahkan, kata dia, setiap tahun tren angka kesakitan DBD selalu menurun. Di awal 2020 ini saja, tidak ada ditemukan kasus DBD hingga menyebabkan meninggal dunia. “Turunnya banyak sekali. Yang meninggal sampai sekarang nol. Samarinda untuk DBD itu membaik,” kata Osa. Ia menilai, masyarakat Ibu Kota Kaltim ini sudah cerdas untuk mencegah peredaran penyakit mematikan ini. Selain pendekatan khusus yang dilakukan, mereka pun bekerjasama dengan beberapa lembaga untuk memetakan virus tersebut. Penurunan angka kesakitan karena DBD ini setiap tahunnya mencapai 10 persen. Bahkan Osa yakin, bisa lebih dari angka tersebut. Kendati ia menyadari bahwa virus tersebut tidak mungkin hilang. Hanya saja, penyebarannya bisa ditekan. “Tidak bisa hilang. Yang penting bisa turun dan tidak ada kematian. Karena, deteksi virus tersebut cepat. Dan penanganannya pun cepat. Perubahan perilaku masyarakat. Mereka sekarang sudah sadar penanganannya. Seperti kebersihan lingkungan, serta menerapkan 3M. Yaitu, menutup, menguras, mengubur,” terangnya. Ia pun membeberkan cara pencegahan DBD yang dapat dilakukan di rumah. Yaitu, dengan menguras bak mandi seminggu sekali, juga membersihkan wadah penampungan air lainnya. Memasang kasa atau kelambu nyamuk saat beristirahat. Selain itu, jangan menumpuk atau menggantung baju terlalu lama. Bisa juga ditambah dengan menggunakan lotion atau krim anti nyamuk. Pakaian tertutup saat keluar rumah. Memangkas tanaman liar di sekitar rumah. Menghiasi rumah dengan tanaman anti nyamuk alami. Serta melakukan vaksin DBD. “Tapi saya yakin, masyarakat Samarinda sudah pada pintar semua. Mereka tahu bagaimana cara untuk terhindar dari penyakit ini. Merekapun sudah hyperaktif. Kalau demam sedikit langsung membawa ke rumah sakit,” pungkasnya. (*) Sama Bahayanya dengan Virus Corona KEPALA Dinas Kesehatan (Diskes) Kota Balikpapan Andi Sri Juliarty menilai, Demam Berdarah Dengue (DBD) sama berbahayanya dengan virus corona atau COVID-19. Sama-sama harus dicegah dan diantisipasi dengan baik. Dia memaparkan, penderita DBD di Balikpapan sampai dengan minggu ketujuh tahun 2020 ditemukan sebanyak 250 kasus. Dari 250 kasus tersebut, kata dia, ada tiga kasus yang hingga meninggal dunia. Sementara itu, pada 2019 data penderita DBD ditemukan sebanyak 2.841 dengan 12 kasus yang meninggal dunia. "Tren peningkatan biasanya di awal tahun sampai April. Dan kalau usia penderita, biasanya terjadi pada rentang usia 5-14 tahun, usia sekolah," jelasnya saat dijumpai di kantornya, Senin, (24/2). Sri menjelaskan, Diskes Balikpapan selalu mewaspadai kasus DBD ini di setiap awal tahun. Karena, musim peningkatan kasus DBD terjadi saat curah hujan tinggi, sehingga ada perubahan tingkat kelembaban yang menyebabkan vektor-vektor jentik nyamuk lebih mudah berkembang biak. "Makanya kami selalu mengimbau kepada masyarakat, agar selalu rutin melakukan pembersihan di lingkungannya untuk memberantas sarang nyamuk," tuturnya. Katanya lagi, jentik-jentik nyamuk banyak hidup di air bersih. Barang barang bekas di halaman rumah yang memungkinkan menampung air hujan harus secara rutin diperiksa. Begitu pun di dalam rumah, tambahnya, harus selalu rutin menguras bak dan tempat penampungan air yang kemudian setelah dikuras, lanjut ditutup kembali. Agar nyamuk DBD tidak masuk untuk bertelur di dalamnya. Langkah antisipasi, kata dia, di Balikpapan telah melakukan uji coba penggunaan kelambu air. Penutup bak yang terbuat dari jaring-jaring benang yang dapat menghalangi nyamuk masuk ke dalam bak. "Kelambu air sudah diujicobakan, di kecamatan Balikpapan Selatan. Tiga tahun telah terbukti kasus DBD menurun," klaimnya. Karena itu, kata dia, diharapkan masyarakat di kecamatan-kecamatan lainnya, di Balikpapan, bisa menerapkan inovasi penggunaan kelambu air ini untuk menutup tempat-tempat penampungan air. Mengindari atau mencegah dari serangan nyamuk DBD. Kelambu air itu, lanjutnya, kini telah banyak dibuat oleh kader-kader Diskes Balikpapan. Ada juga sekolah-sekolah yang membuat kelambu air secara mandiri. Contoh, kata Sri, SMA 5 Balikpapan yang siswanya sudah bisa membuat kelambu air. "Masyarakat juga bisa menanyakan ke puskesmas terdekat," ucapnya. Menurut Deo, sapaan akrabnya, penanganan Diskes Balikpapan terkait DBD lebih fokus pada upaya pencegahan. Dia juga menyarankan, agar masyarakat mewaspadai ketika ada anak dalam kondisi demam. Jangan menunggu sampai tiga, empat hari, untuk membawanya Pasienkes, fasilitas pelayanan kesehatan. Karena penanganan akan lebih sulit jika terjadi keterlambatan. Akan kesulitan jika anak atau pasien tiba dalam kondisi terlambat. Sudah krisis atau syok. Sehingga Diskes menganjurkan terutama pada usia anak, begitu demam, segera dibawa ke Pasienkes. Jangan menunggu tiga sampai empat hari. Kemudian, lanjutnya lagi, demam pada kasus DBD sekarang kadang disertai batuk pilek. Sehingga masyarakat merasa itu hanya batuk pilek biasa. Hanya diberi obat batuk pilek biasa di rumah, padahal itu bisa jadi DBD. "Dulu ciri khas DBD ada bintik bintik merah di kulit, sekarang tidak lagi, bisa jadi bintik merah itu ada, bisa jadi juga tidak ada," katanya. "Keluhan lainnya, biasa demam dengan batuk pilek atau demam dengan sakit perut, apalagi dengan kaki dan tangan yang dingin, itu sudah tanda-tanda syok DBD," jelasnya. (*) Pewarta: Muslim Hidayat, Michael F Yacob, Darul Asmawan Editor : Devi Alamsyah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: