Mendaki dan Menyelami Kisah Gunung Lawu (1): Menikmati Sabana Gupak Menjangan

Mendaki dan Menyelami Kisah Gunung Lawu (1): Menikmati Sabana Gupak Menjangan

Sebuah perjalanan hendaknya memberi kita sebuah pelajaran. Apapun itu. Seperti mendaki Gunung Lawu. Yang katanya surga bagi para pendaki. Gunung yang dikenal mistis dan menyimpan legenda dunia; Kerajaan Majapahit.    Darul Asmawan, Disway Kaltim Gunung Lawu merupakan jenis stratovolcano. Berstatus gunung api istirahat. Diperkirakan terakhir meletus pada November 1885 dan telah lama tidak aktif. Secara administratif, sebagian gunung ini berada di provinsi Jawa Tengah dan sebagian di Provinsi Jawa Timur. Kaki Gunung Lawu terletak di kabupaten Karang Anyar, kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan. Titik tertingginya adalah puncak Hargo Dumilah, berada pada 3.265 meter di atas permukaan laut (mdpl). Gunung Lawu, sudah sangat terkenal di kalangan pendaki. Cerita mistis dan legenda Kerajaan Majapahit itu, menjadi daya tarik tersendiri. Pemandangan hamparan sabana dan hutan pinus di sepanjang jalur pendakian bak surga bagi pendaki. Latar alam Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dari puncaknya juga tak kalah memesona. Ada tiga pilihan jalur pendakian resmi untuk mendaki gunung ini. Yang pertama, jalur pendakian via Cemoro Sewu, kemudian jalur via Cemoro Kandang dan jalur pendakian via Candi Cetho. Ketiga jalur tersebut memiliki karakteristik masing-masing, berdasarkan tingkat kesulitan dan keindahan jalurnya. Umumnya, pendakian melalui jalur Cemoro Sewu, yang lebih singkat dari sisi waktu perjalanan. Jalur via Cemoro Kandang yang dianggap lebih mudah, banyak dari kalangan pejabat yang mendaki melalui jalur ini. Sementara via Candi Cetho, merupakan jalur baru untuk pendakian umum. Posko pendakian dibuka empat tahun lalu, terkenal dengan keindahan padang sabananya. Penulis memang hobi mendaki gunung. Pada 15-16 Januari 2020 lalu, berkesempatan menapaki gunung yang terdapat warung pecel tertinggi di Indonesia di salah satu puncaknya itu. Pendakian kali ini dilakukan berdua dengan Edwin Agustyan, rekan sesama jurnalis dari Kaltim Post. Jalur via Candi Cetho kami pilih untuk memulai langkah pertama pendakian. Berada di Kecamatan Jinawi, Kabupaten Karang Anyar, Jawa Tengah. Setibanya di Jogjakarta dari Balikpapan, perjalanan lanjut ke Solo dengan bus, sekira dua jam perjalanan. Kemudian menuju Pasar Kemuning, Kabupaten Karang Anyar menggunakan jasa transportasi online, kurang lebih satu jam. Tiba di Pasar Kemuning sekira pukul 9 malam. Masjid menjadi tempat pertama dituju, ibadah sekaligus rebahan sejenak. Setelahnya, baru berbelanja perbekalan untuk mendaki, di satu-satunya mini market di wilayah itu. Usai mencukupi perbekalan, perjalanan dilanjutkan dengan ojek lokal, yang memang khusus untuk pendaki. Tujuan selanjutnya adalah base camp pendakian. Jaraknya sekira lima kilometer. Jalannya menanjak melewati perkebunan teh. "Saya tidak janji nggih, Mas, motornya mampu nanjak," ujar sang pengemudi. "Baik, Pak," saya menjawab singkat. Dalam hati berkata; siap-siap jalan kaki. Namun perlahan kami tiba di base camp pendakian. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Tidur menjadi pilihan paling tepat. * Matahari masih malu-malu saat kami mulai menyiapkan perbekalan, Rabu 15 Januari 2019 pukul 06.30 WIB. Semua barang di-packing di dalam tas ransel ukuran 60 liter. Sempat terjadi perdebatan, apakah akan membawa semua barang atau meninggalkannya sebagian. Namun akhirnya diputuskan untuk membawa semua barang, yang belakangan ternyata kelebihan beban. Petualangan itu dimulai dari posko pendakian yang berada di dekat Candi Cetho pada ketinggian 1.496 mdpl, pukul 08.30 WIB. Sebelumnya kami diminta mengisi biodata dan membayar biaya registrasi. "Tidak boleh menyalakan api (kecuali kompor portable untuk memasak), tidak boleh meninggalkan sampah sekecil apapun, tidak boleh berucap sembarangan (umpatan)," jelas Eko, relawan posko pendakian yang berjaga hari itu. Eko juga menyerahkan selembar kertas peta jalur pendakian, lengkap dengan keterangan jarak dan ketinggian masing-masing pos (shelter). Juga dijelaskan informasi sumber air, dan pos yang direkomendasikan untuk menginap. "Nanti, setelah melewati Candi Kethek (sekitar 700 meter dari posko) ada pipa air di sisi kiri jalan. Apabila ujung pipa tersebut mengeluarkan air, berarti di Pos 3 terdapat air. Apabila tidak, sampeyan tambah perbekalan air, dari keran air di belakang pos jaga Candi Kethek," terangnya. Bekal air dicukupi sesuai arahan pos jaga. Pendakian dimulai setapak demi setapak. Semangat masih membara. Maklum, masih permulaan. Masih bisa tertawa. Hehe... Dewasa ini, mendaki gunung bukan sekadar olahraga dan hobi. Pada umumnya tujuan orang mendaki gunung untuk berwisata, mencari ketenangan, inspirasi, membentuk dan mengenal karakter diri serta melatih diri hidup mandiri dengan mengatur dan mempersiapkan perbekalan dan perjalanan sendiri. Gunung Lawu menawarkan semua itu. Salah satunya hamparan padang sabana di sepanjang jalur dari pos lima, Bulak Peperangan, Gupak Menjangan hingga memasuki kawasan Pasar Dieng. Sabana yang luas tersebut menjadi objek menarik untuk kegiatan fotografi maupun sekadar camping dan bersantai menikmati landscape alam. Suasananya sejuk dan tenang. Jika mendaki melalui Candi Cetho, pendaki harus melalui lima pos pendakian. Masing-masing pos memiliki nama berdasarkan sejarah, yang penyebutannya menggunakan dialek Jawa. Dimulai dari pos 1, Mbah Branti. Berjarak 764 meter dari posko pendakian dengan ketinggian 1.702 mdpl. Menurut Sugi, penjaga base camp, dulu di pos ini tinggal seorang yang bernama Mbah Branti, membawa kitab suci dengan huruf aksara jawa. Sugi merupakan warga sekitar dan sudah bertahun-tahun menjaga base camp pendakian. Pos 2, Brak Seng, berjarak 1.034 meter, ketinggian 1.906 mdpl. "Dahulu ada bangunan menggunakan atap anyaman bambu, sekarang diganti dengan seng. Ada dua mahkluk gaib yg menunggui. Jika ada tim pendaki yang berjumlah ganjil, terkadang diikuti. Makanya tidak boleh berkata kasar atau sembarangan. Perempuan yang sedang haid juga tidak diperkenankan melalui pos itu," Sugi menjelaskan. Pos 3, Cemoro Dowo, berjarak 723 meter, dengan ketinggian 2.251 mdpl. Dahulu, di pos ini, kata pria paruh baya itu, banyak pohon cemara yang berjejer. Pos 4, Penggik, berjarak 824 meter, pada ketinggian 2.550 mdpl. Dijelaskan Sugi, penggik berarti punggungan (bagian yang lebih tinggi dari lereng gunung). Pos 4 berada di punggungan. Disebut juga Cemoro Kembar, karena terdapat dua pohon cemara yang bentuk dan ukurannya persis sama. Pos 5, Bulak Peperangan, sejauh 1.542 meter, dengan ketinggian 2.861 mdpl. Sugi menceritakan, Bulak Peperangan pada masa Kerajaan Majapahit, menjadi tempat berperang antara pasukan Kerajaan Majapahit dengan pasukan Kerajaan Demak. "Selama seminggu, terjadi pertumpahan darah di lokasi tersebut," ucap pria yang tergabung dalam tim rescue lawu itu. Selain lima pos tersebut, pendaki juga akan melalui Gupak Menjangan, sekaligus menjadi camping ground karena memiliki area yang cukup luas. Berjarak 451 meter dan berada pada ketinggian 2.952 mdpl. Kemudian Pasar Dieng, yang dianggap sebagai pasar bagi makhluk gaib, dengan jarak 712 meter dan ketinggian 3.104. Terakhir sebelum puncak Hargo Dumilah adalah Puncak Hargo Dalem, yang terdapat warung pecel legendaris itu. Dengan ketinggian 3.142 mdpl dan berjarak 328 meter dari Pasar Dieng. Medan pendakian melalui jalur Candi Cetho memiliki dua variasi, yaitu landai dan terjal. Dari posko sampai pos 5 cenderung menanjak. Untuk sumber air, terdapat di pos 3, juga terdapat sebuah kubangan musiman di pos 5. Hanya berisi air saat turun hujan. Suhu udara di gunung ini cukup dingin. "Jalur via Candi Cetho merupakan jalur terpanjang dari tiga jalur resmi pendakian Gunung Lawu, rutenya lintas provinsi Jateng dan Jatim, juga memiliki pemandangan yang paling indah," klaim Sugi. Eko, relawan posko pendakian via Candi Cetho yang juga penduduk setempat, mengatakan, jalur via Candi Cetho merupakan jalur ritual sejak dahulu, digunakan pada bulan sura. Untuk tirakat atau laku prihatin, berdoa di puncak Hargo Dalem. "Untuk posko pendakian resmi, baru dibuka pada 2016 lalu," ucapnya. Pendakian melalui jalur ini ramai saat weekend atau libur panjang. Rata-rata saat libur, sebanyak 250 pendaki per hari. Saat hari kerja atau hari biasa, jumlah pendaki hanya di kisaran, 30-50 orang per hari. "Paling ramai pada Desember 2019 lalu, sebelum Natal, pendakian melalui jalur Candi Cetho mencapai 900 orang per harinya," pungkas Eko. Menyembunyikan Barang di Pos 1 Belum juga setengah jam berjalan, sudah terseok-seok. Napas tersengal-sengal. Hipotesa saat itu, faktor penyebabnya adalah kurang persiapan fisik, minim olahraga. Apalagi sebelum berangkat, tidak ada peregangan terlebih dahulu. "Kena di pinggang Dul, agak encok," ucap Edwin. Saya pun berujar dalam hati, "Sepertinya karena memang faktor umur dan kurang olahraga," sambil tertawa tanpa bersuara. Dul adalah salah satu panggilan akrab penulis. Entah kenapa bukan Al, atau El. Sudahlah. Setelah itu, beban semakin terasa berat. Berjalan lima menit, istirahat, lima menit lagi, istirahat lagi. Hingga tepat setengah jam berjalan, saat sedang beristirahat, disalip satu rombongan pendaki. Empat orang, dua perempuan dan dua laki-laki. Mereka yang awalnya kita pamit di base camp malah mendahului dengan santai. Balik mereka yang berpamitan. "Istirahat 15 menit, setelah itu lanjut," ucap Edwin. "Oke siap," jawab penulis. Tiba-tiba muncul ide untuk meninggalkan sebagian barang bawaan. Disembunyikan di semak-semak di belakang shelter tersebut. Setelah ditimbang-timbang, kami berdua sepakat. Kami melanjutkan perjalanan hingga bertemu kembali dengan tiga pendaki asal Tanggerang tadi. Sepertinya masalah kami dengan mereka, tidak jauh berbeda. Namun, mereka sepertinya mampu mengatasinya dengan kejenakaan mereka. Memang, ketiganya masih telihat muda muda. Makanya, selalu berbeda pendapat. Ada saja yang memicu perdebatan di antara mereka. Namun, tetap dalam suasana yang terkontrol. Aksi-aksi mereka, cukup menghibur, membuat perjalanan ke pos 2 tidak begitu terasa berat. "Pos dua," penulis memberi kode, pada kawan pendaki di belakang. Tiba di pos 2 pukul 12.30 WIB. Terhitung lambat, dari waktu pendakian normal. Dalilnya, waktu itu, adalah pendaki santai, tidak terburu-buru, padahal, memang begitu. Saat sedang beristirahat di pos 2, dua kelompok pendaki lain juga tiba dan bergabung bersama kami. Kami memutuskan memasak santapan siang di shelter itu. Padahal, rencananya di pos 3 nanti, baru akan makan siang. Pertimbangannya, karena sudah jam makan siang, dan juga, alasan untuk istirahat lebih lama menjadi pertimbangan. Ransel dibongkar, cooking set beserta perbekalan dikeluarkan. Menu makan siang itu, mi kuah ditambah potongan sosis, serta cokelat panas. Padahal tim pendaki lainnya, tidak ada yang mengeluarkan perbekalan, mereka semua istikamah dengan rencana awal, makan di pos 3. Sedang asyik memasak, tiba dari arah puncak rombongan pendaki yang akan turun. Turut bersama mereka seekor anjing, yang kami sudah tahu namanya: Gori. "Kalau bertemu anjing, tolong diberi makan, itu anjingnya Lawu," pesan Eko, saat melepas kami dari posko pendakian. "Gori ikut bersama rombongan pendaki, sejak kemarin belum pulang," tambah Eko. Gori kami beri dua buah sosis, dimakan dengan lahap. Rupanya Gori belum kenyang. Hampir semua potongan sosis di dalam mi kuah milik penulis diberikan untuk Gori. Lagi-lagi, bergumam; ikhlas. Pendakian dilanjutkan. Sepanjang perjalanan ke pos 3, banyak bertemu pendaki turun. Satu pertanyaan wajib kepada setiap bertemu mereka, "Pos 3 masih jauh, Mas,". Semua menjawab,"Masih lumayan , Mas,". Baiklah. Tetap saja berjalan perlahan, jalan lima menit, istirahat 15 menit. Namanya juga pendaki santai. (bersambung/eny) Baca Juga: Makan di Warung Pecel Tertinggi, Pulang Didomplengi Makhluk Gaib  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: