Masyarakat Adat Mahulu Diganggu Perusahaan
Christina Yeq Lawing bersama tim saat melakukan konfrensi pers di cafe d'Bagios, Jalan Basuki Rahmat, Samarinda, Rabu (5/2/2020).(Michael/Disway Kaltim) Samarinda, DiswayKaltim.com- Masyarakat Long Isun, Mahulu menagi janji pemkab terkait pengakuan hukum terhadap hutan adat. Sebab, selama ini sebagian konsesi hutan tersebut dikuasai PT Kemakmuran Berkah Timber (KBT). Long Isung memiliki luas 80.435 Hektar. Dari luasan tersebut, 13 ribu hektar merupakan hutan adat yang saat ini sedang diperjuangkan statusnya. Sebagian besar hutan adat tersebut sudah dikuasai dengan PT KBT. Padahal, pada Februari 2018 lalu, sudah dilakukan penandatanganan perjanjian antara masyarakat, pemerintah Kabupaten Mahulu, Ketua DPRD Mahulu, serta pihak perusahaan PT KBT. Agar, konflik tersebut dapat segera diselesaikan. Empat kesepakatan dihasilkan dari pertemuan tersebut. Namun, janji tersebut hingga saat ini tidak memiliki hasil. Pemkab dan DPRD Mahulu pun tidak menetepkan hutan tersebut menjadi hutan adat. Alhasil, konflik antara masyarakat Long Isun dengan perusahaan terus berlangsung hingga saat ini. Masyarakat tidak ingin hutan tersebut rusak akibat aktivitas PT KBT. Kegiatan penambangan kayu yang bisa saja menghabiskan hutan adat serta merusak ekosistem didaerah kampung Long Isun. Untuk itu, masyarakat Long Isun didampingi oleh Koalisi Kemanusiaan untuk Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat, menyerahkan dokumen pengusulan Masyarakat Hukum Adat Kampung Long Isun secara resmi ke Pemerintah Kabupaten Mahulu pada 19 September 2018 lalu. Koalisi Kemanusiaan tersebut terdiri dari WALHI Kaltim, Perkumpulan Nurani Perempuan, FH POKJA 30 dan Jaringan Advokat Lingkungan (JAL). Usulan mereka diperkuat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014. Aturan tersebut tentang Pedoman dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Ditambah peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kaltim. Diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Mahakam Ulu Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Lembaga Adat. Serta Keputusan Bupati Mahulu nomor 800.05.140.436.1/K.185d/2017 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Mahulu. “Regulasinya sudah ada. Namun faktanya hingga saat ini belum ada perkembangan terkait usulan pengakuan dan perlindungan masyarakat Hukum Adat kampong Long Isun,” kata Direktur Pokja 30 Buyung Marajo, kepada awak media, di Kafe D’Bagios, Jalan Basuki Rahmat, Samarinda, Rabu (5/2/2020). Ia menyebut, masyarakat Adat Kampung Long Isun terus berupaya untuk mendapatkan pengakuan. Karena bagi masyarakat, hutan, tanah dan sungai bukan hanya sebagai ibu dari kehidupan suku mereka yang terbiasa tempat berburu, berladang dan meramu. Menjaga dan merawatnya adalah bentuk tanggung jawab kelestariannya secara turun temurun. Antar generasi pun bukan hal yang gampang, karena mereka sadar dengan rusaknya hutan, tanah dan sungai adalah punahnya identitas dan entitas bagi masyarakat suku dayak. Terutama bagi Suku Dayak Bahau Umaaq Suling di Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu. “Kami meminta segera memproses segala persyaratan baik secara administrasi dan tanggungjawab pemerintah daerah untuk pengkuan Masyarakat Hukum Adat Kampung Long Isun,” ungkapnya. Di waktu yang sama, dalam bahasa Dayak Bahau Christina Yeq Lawing mengungkapkan kegelisahannya terhadap kepastian status hukum hutan adat tersebut. Penantian selama dua tahun terakhir semenjak pengajuan status hutan tersebut tidak memiliki hasil. Sementara, putranya Theodorus Tekwan Ajat (44) ditahan pada 2014 lalu lantaran Ia dituduh memeras dan merampas dengan kekerasan. “Kami putra putri dayak kami sayang hutan dan alam lingkungan kami bersih. Kami sayang justru dengan demikian, anak saya di tahan karena mempertahankan hutan kami,” terangnya. Perjalanan kampung long isun sangat jauh. Mereka ingin melindungi kekayaan adat mereka. Dengan tegas menyatakan ingin menagih proposal politik lima tahun lalu kepada Pemkab Mahulu. Untuk itu, Senin (10/2/2020), warga Long Isun akan bertandang ke DPRD Kaltim. Guna meminta kejelasan mengenai Perda Nomor 1 tahun 2015. “Dalam lima tahun ini apa yang terjadi pada ucapan lima tahu lalu itu untuk hutan tersebut ditetapkan menjadi hutan adat. Dampak kerusakan lingkungan, tanah rusak kayu diambil mereka minta pengakuan dari pemerintah,” tegasnya. “Terkait hutan tanah dampak umum. Kemudian di lingkungan masyarakat dampak sosial ke masyarakat yaitu terkait batas kampung. Kalau masyarakat adat sungai tanah dan hutan karena itu adalah identitas. Kalau salah satu rusak maka rusak yang lain,” pungkasnya. (mic/boy)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: