PDIP Ditinggal Sendiri, Interpelasi Berat Terealisasi
Samarinda, DiswayKaltim.com - Kritikan keras terkait banjir di Samarinda berbuntut panjang. Pemkot dinilai gagal mengatasi. Alih-alih mencari jalan keluar, wacana interpelasi disuarakan. Tidak salah. Karena momennya tepat. Interpelasi sendiri bukan barang baru. Sepanjang sejarah pemerintahan, wacana ini bergulir 2013 silam. Pemicunya? Kerusakan lingkungan karena pertambangan. Kala itu, izin pertambangan masih diambil alih oleh pemerintah kota. Dilindungi oleh payung hukum. Perda 12/2013 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Wilayah Kota Samarinda. Indutri emas hitam dituding sebagai biang utama terjadinya banjir di beberapa tempat. Melansir data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, peta wilayah tambang di Samarinda kala itu terbagi tiga. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Kuasa Pertambangan (KP) daerah dan KP pusat. Luasan konsesinya beragam. PKP2B memiliki luas 20.843,10 hektare, KP daerah seluas 27.556,66 hektare dan KP pusat 2.343 hektare. Merah Johansyah, yang kala itu menjadi Dinamisator Jatam Kaltim, tegas mendukung interpelasi. Ia mengatakan gubernur punya hak untuk memanggil wali kota. Mempertanyakan penyebab utama banjir dan korelasi dengan izin pertambangan. DPRD pun punya hak untuk memakzulkan jika kerusakan lingkungan sangat parah. Menurutnya DPRD Samarinda punya hak menggunakan hak interpelasi. Sayangnya wacana interpelasi saat itu mendadak terhenti. Tidak ada gaung lagi dari para legislator. Hingga berganti musim keanggotaan dewan. Jaang luput dari ancaman interpelasi. Tujuh tahun berselang. Tujuh kali pula musim penghujan menerpa Kota Tepian. Awal 2020 wacana itu bergulir lagi. Adalah Anhar SK. Anggota Komisi III DPRD Samarinda. Dari PDIP. Yang memulai. Ia gerah. Banjir di Samarinda tak kunjung mendapat penyelesian. Ia menilai pemerintah keliru dalam tata kelola kota. Dimana sejumlah izin justru diberikan kepada pengusaha untuk mendirikan bangunan di wilayah bantaran sungai. “Yang menjadi masalah klasik ini saja terus persoalan banjir. Dulu setengah meter ini sekarang sudah dua meter. Tidak ada peningkatan kinerja, yang ada peningkatan air,” singgung Anhar saat di ruang kerjanya, Selasa (14/1/2020) lalu. Karena itu ia mewacanakan penggunaan hak interpelasi. Bukan bermaksud buruk. Hanya ingin mengulik alasan pemerintah menerbitkan izin pertambangan dan lainnya. “Ini ada beberapa kebijakan wali kota yang bertentangan dengan visi misi dia sendiri, ” tegas Anhar. Wacana penggunaan hak interpelasi bakal ia gulirkan ke internal DPRD. Namun, tidak mudah. Masih harus menanti persetujuan sejumlah fraksi lain di DPRD. Regulasi pengajuan interpelasi pun sudah diatur. Pada pada Pasal 159 ayat (2) UU 23/2014 tentang pemerintah daerah. “Menurut saya justru penggunaan hak interpelasi yang ditunggu oleh publik, sebagai bagian berjalannya fungsi pengawasan DPRD terhadap pemerintah kota,” jelas Akademisi Fahukum Unmul Herdiansyah Hamzah. Heri menambahkan bahwa upaya pengawasan melalui pengajuan hak interpelasi ini mesti dilakukan secara konsisten. “Wacana ini benar-benar bagus, tapi jangan sampai masuk angin alias patah di tengah jalan, sebagaimana kejadian beberapa kali di provinsi,” sindir Herdi. Ia pun menerangkan beberapa syarat pengajuan interpelasi. Anggota DPRD Samarinda sendiri berjumlah 45 orang. Mengacu kepada Pasal 167 ayat (1) huruf b, pengajuan minimum tujuh orang anggota dan lebih dari satu fraksi. Syarat pengajuan hak interpelasi itu sendiri tidak terlalu sulit. Asalkan dilakukan secara konsisten. “Sekarang, anggota DPRD inisiator hak interpelasi tinggal menyiapkan 2 hal. Yaitu materi kebijakan dijadikan objek interpelasi. Kemudian alasan permintaan keterangan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 70 ayat (2) PP 12/2018 tentang pedoman tatib DPRD,” tutupnya. PDIP Ditinggal Sendiri Suara Anhar tidak diindahkan rekan-rekannya di dewan. Mayoritas fraksi memilih bungkam terkait usulan intrerpelasi. Joha Fajal, dari fraksi NasDem diantaranya. Menurutnya kinerja pemkot terkait penanganan banjir memang perlu dikritisi. Tapi, tak serta merta harus interpelasi. “Itu kan baru pandangan pribadi, bukan dari sisi fraksi,” sebut Joha, Rabu (22/1/2020). Sementara itu, Sekretaris fraksi dari Partai Golkar, Novan Syahroni mengaku belum menyatakan sikap terkait hak interpelasi yang coba digulirkan rekan satu komisinya (Anhar). Namun, ia sependapat dengan pelanggaran Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Samarinda oleh Pemkot. "Memang enggak bener itu bantaran sungai kok punya izin bangunan, ini yang kami pertanyakan," cetusnya. Untuk sementara, ia memilih untuk memanggil Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Samarinda untuk mengklarifikasi beberapa temuan pelanggaran yang dilakukan. Namun, apabila dari hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) nanti PUPR tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Tak menutup kemungkinan, dirinya bakal mendukung usulan interpelasi ke Wali Kota Samarinda dua periode itu. "Belum ada sih sikap dari Fraksi Golkar, tapi kita lebih dulu panggil OPD terkait untuk mengklarifikasi persoalan yang terjadi. Baru nanti kami laporkan ke Fraksi untuk menentukan sikap mendukung atau tidak," pungkasnya. Sekretaris Fraksi Gerindra DPRD Samarinda Markaca memiliki pandangan berbeda terkait hak interplasi yang ingin digulirkan tersebut. Ia menilai usulan interpelasi saat ini kurang tepat. Sebab, masa jabatan Wali Kota Samarinda hanya menghitung bulan saja. Menurutnya, interpelasi yang digulirkan dinilai terlambat. Seharusnya, sejak awal hal ini sudah dilakukan. "Kalau sekarang ya sudah basi, kenapa baru sekarang toh wali kota enggak lama lagi (menjabat,red)," tegasnya. Ia memilih menunggu wali kota baru terpilih untuk menata Samarinda. Kesempatan untuk menata Samarinda bisa dilakukan oleh pimpinan baru dengan konsep pembangunannya nanti. "Yah kita tunggu saja Wali Kota terpilih lah," tutupnya. (mic/boy)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: