Dana Kampanye Rentan Diboncengi Kepentingan Pengusaha

Dana Kampanye Rentan Diboncengi Kepentingan Pengusaha

Nomorsatukaltim.com - Pemilu sudah dekat. Salah satu yang dikhawatirkan soal pemberian dana kampanye dari pengusaha kepada peserta pemilu untuk memuluskan kepentingannya. Hal itu menjadi sorotan di diskusi publik yang dihelat Aliansi Jurnalistik Independen Samarinda bersama Wahana Lingkungan Hidup Kaltim. Diskusi yang mengusung tajuk, Tahun Politik dan Keselamatan Rakyat yang Menyertainya, digelar di Kafe Bagios, Senin (17/7/2023). Manajer Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat Walhi Kaltim, Adam Kurniawan, sebagai pembicara menyoroti produk Undang-undang di Indonesia yang dinilai tidak memperhatikan keselamatan rakyat. Bahkan condong menambah kekayaan pemilik modal, dalam hal ini korporasi. “Pemilik modal mengekspansi uang mereka dengan membuat usaha yang baru, jalannya adalah merubah undang-undang,” kata Adam. Hal ini disinyalir berawal dari hubungan antara korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia dengan para peserta Pemilu. Caranya, melalui sumbangan dana kampanye sehingga memengaruhi arah kebijakan ketika terpilih. Badan Pengawas Pemilu Kaltim menjelaskan hubungan antara korporasi dan peserta pemilu bisa saja terjadi. Ini merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum, persisnya PKPU Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilu. “Peserta Pemilu bisa menerima yang namanya dana kampanye dalam bentuk uang, barang dan jasa yang bisa diperoleh dari parpol itu sendiri. Lalu perorangan atau sumber-sumber yang sah dan perusahaan-perusahaan non pemerintah,” ujar Ketua Bawaslu Kaltim, Hari Dermanto. Hari menjelaskan ada batasan jumlah dana kampanye bagi perorangan dalam sumbangan calon presiden dan wapres. Yaitu Rp 2,5 miliar dan dari korporasi Rp 25 miliar. Menurut Hari yang jadi permasalahan itu, di sisi peraturan sudah tertuang sumbangan berupa uang, barang dan/atau jasa. Tapi dalam pelaksanaan penggunaan dana kampanye, lembaga akuntan publik hanya mengaudit sumbangan berupa uang, tanpa mencantumkan barang dan jasa. “Berdasarkan peraturan, dari korporasi harus Rp 25 miliar, lebih dari itu sudah dilarang. Tapi bagaimana jika sumbangannya itu dalam bentuk barang dan jasa, sedangkan akuntan publik hanya memeriksa neraca keuangan,” bebernya. Pria yang juga dosen Uniba itu, menilai fenomena terkait penerimaan barang dan jasa itu cukup banyak ditemukan di pemilu 2019. Kasus itu menjadi alasan tudingan laporan dana kampanye yang tidak benar. “Pemberian dia (korporasi,red) kepada calon itu sudah melebihi ambang batas maksimal, artinya di situ ada potensi perbuatan pidana. Mungkin hal inilah yang melahirkan hubungan tarik menarik antara mereka yang terpilih dengan para pemilik modal,” tutupnya. (*/ Sal/Boy) Reporter: Salasmita

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: