Senator: Perbedaaan Lebaran Hal Biasa
Nomorsatukaltim.com – Senator DPD, Dr Hilmy Muhammad mengingatkan perbedaan penentuan Lebaran sudah sering terjadi di Indonesia. Lantaran bukan hal baru, maka pemerintah harus memberi keleluasaan setiap pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya, pintanya. "Perbedaan ini bila dijadikan alasan saling mencaci atau mengumpat kelompok lainnya, berarti orang itu tidak memahami hakikat hari raya. Perbedaan kan hal biasa. Sudah terjadi bertahun-tahun, saya kira tidak perlu jadi bahan untuk mencaci maki,” pesan Dr Hilmy, yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak Yogyakarta, Selasa (18/4/2023). Karena hakikat dari hari raya kita semua berbahagia. "Di saat bahagia kok malah saling mencaci, kan aneh itu,” imbuhnya. Senator yang juga Katib Syuriah PBNU ini menjelaskan, agama meminta memberi sebagian harta kepada fakir miskin berupa zakat fitrah. Agar tak ada seorang yang kekurangan makanan dan bisa merayakan kebahagiaan bersama. “Bahkan kita punya ajaran adiluhung saling memaafkan, sowan kepada yang lebih sepuh serta meminta nasihat. Ini budaya adiluhung khas nusantara yang patut dilestarikan,” ingatnya. Untuk itu, di Hari Raya sepatutnya menjadi momen bahagia. “Jangan sampai, kita mengotori dengan caci maki dan kebencian. Jadi tak perlu mempertentangkannya lagi. Apalagi bagi warga Nahdliyin, harus mengutamakan toleransi,” tuturnya. Dr Helmi, adanya perbedaan itu terjadi karena metode pengambilan keputusannya yang berbeda. Satu pendapat menyatakan bulan (hilal) sudah ada atau sudah wujud, jadi sudah bisa dikatakan masuk bulan Syawal. Sedangkan pendapat yang lain menyatakan, hilal baru bisa terlihat secara kasat mata bila sudah dalam posisi lebih dari 3 derajat. “Sebenarnya kita punya kesepakatan dengan negara tetangga. Pemerintah melalui Kementerian Agama bersama dengan kementerian terkait dari Kerajaan Malaysia, Thailand, Brunei, dan Singapura sebenarnya sudah sepakat dengan kriteria 3 derajat ini,” paparnya. Sebenarnya, lanjut Dr Hilmy, dengan menggunakan batas minimal 3 derajat itu, kemungkinan kompromi bisa diupayakan. Pria yang juga Anggota Majelis Ulama Indonesia, itu menambahkan sebagai upaya memberi kesepahaman, pemerintah tidak boleh abai atas perbedaan ini. Menurut Gus Hilmy, pemerintah justru wajib mengawal perbedaan tersebut agar tidak membesar dan berdampak buruk. “Meski berbeda pandangan, negara wajib melindungi kepentingan umat beragama dalam menjalankan kewajibannya,” jelasnya. Termasuk tahapan ibadahnya, semisal rangkaian hari raya seperti takbiran, zakat fitrah, shalat ied, silaturahmi, dan seterusnya. “Meski begitu,menjaga bukan berarti mengintervensi,” tegasnya. (*/ Rep)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: