KKP Sebut Tak Ada Perubahan Substansi Perpu Ciptaker untuk Perikanan
Nomorsatukaltim.com – Kementerian Kelautan dan Perikana (KKP), menyebut, tidak ada perubahan substanstif pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Ciptaker, di subsektor perikanan tangkap. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Zaini Hanafi, mengatakan perubahan di subsektor perikanan tangkap pada Perpu Ciptaker ada pada teknis penulisan dan redaksional saja. “Sudah jelas disebutkan, hadirnya aturan ini menunjukkan keberpihakan kepada nelayan serta memberikan kepastian berusaha,” klaim Zaini dalam keterangan tertulisnya, dilaporkan Antara. Senada dengan Zaini, Kepala Biro Hukum KKP Effin Martiana dalam sosialisasi Perpu Ciptaker menyampaikan aturan ini memuat beleid (kebijakan) sektor kelautan dan perikanan yang sama, di antaranya Undang-Undang Perikanan, UU Kelautan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam serta UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ia menyampaikan, Perpu Ciptaker telah ditetapkan Jokowi pada 30 Desember 2022 dan berlaku pada tanggal sama, sebagai pelaksanaan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. "Salah satu tujuannya menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja seluas-luasnya," tuturnya. Hadirnya Perpu Ciptaker diklaim memberi keseragaman terminologi dokumen terkait perizinan usaha perikanan tangkap. Perizinan dalam sektor perikanan tangkap tidak lagi menggunakan frasa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), melainkan menggunakan terminologi perizinan berusaha. Dalam peraturan pelaksanaannya, SIPI menjadi perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan, sementara SIKPI menjadi perizinan berusaha subsektor pengangkutan ikan. Regulasi cipta kerja disebut dapat mengembangkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Regulasi Baru Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur, Irhan Mukhmaidy, mengakui beberapa tahun belakangan banyak aturan baru yang dibuat pemerintah pusat. Di antaranya, kebijakan peraturan penangkapan ikan terukur. Namun, aturan ini mencuatkan kontroversi dan banyak ditolak sejumlah kalangan, termasuk para nelayan. Alasannya membuka peluang hegemoni kapal-kapal besar. Meski demikian, Irhan mengklaim penangkapan terukur ditujukan menjaga kelestarian habitat perairan. Irhan menjelaskan, penangkapan ikan terukur bisa menghadirkan keseimbangan antara keberlanjutan ekologi, pertumbuhan ekonomi dan keadilan pemanfaatan sumber daya perikanan. Ia juga menerangkan bahwa program yang digencarkan dan akan dilaksanakan sepanjang tahun 2023 ini, melalui KKP dengan berbasis kuota atau fishing quota bashed. “Data dari kuota tersebut itu telah direview Komite Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Perhitungan kuota didasarkan pada potensi sumber daya ikan yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan,” sebutnya. Semua itu dengan mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya ikan. Salah satu penyuluh perikanan di Balikpapan, Rudi Yakob mengamini, data yang ia ketahui penerapan peraturan itu dialokasikan terhadap nelayan kecil yang melakukan penangkapan ikan di atas 12 mil laut. Termasuk kegiatan nelayan yang memiliki kendaraan kapal di atas kapasitas 30 gross ton. Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI menyoroti kebijakan penangkapan ikan terukur itu. WALHI menilai salah satu industri ekstraktif yang kini didorong pemerintah Indonesia adalah kebijakan penangkapan ikan terukur. WALHI juga mencatat, kebijakan ini aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah diputus Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Inkonstitusional Bersyarat. Melalui kebijakan penangkapan ikan terukur, Pemerintah akan memberikan konsesi kepada sejumlah korporasi besar untuk menangkap ikan berdasarkan kuota di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan. Dengan sistem ini, perusahaan penangkapan ikan akan mendapat keistimewaan luar biasa. Kebijakan ini akan mendorong persaingan bebas antara nelayan dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. Penangkapan ikan terukur dinilai sebagai karpet merah yang diberikan kepada korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya ikan. WALHI menilai, kebijakan penangkapan ikan terukur sebagai bentuk privatisasi, swastanisasi, dan liberalisasi sumber daya ikan di Indonesia yang meminggirkan nelayan dari ruang hidupnya. (*/ rap) Reporter: Muhammad Taufik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: