Pokja Pesisir: Kerusakan Ekosistem Laut Tidak Bisa Tuntas dengan CSR

Pokja Pesisir: Kerusakan Ekosistem Laut Tidak Bisa Tuntas dengan CSR

Nomorsatukaltim.com - Para nelayan di Balikpapan berkali-kali menemukan tumpahan batu bara dalam jaringnya. Bukan ikan yang didapat, tapi limbah. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Dampaknya, hasil tangkap semakin berkurang. Laut pun menjadi tercemar. Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, Mappaselle, mengamini seringnya nelayan yang menemukan pelbagai limbah di laut. Termasuk batu bara. Bahkan, lanjut pria yang karib disapa Selle, kalau terkait tumpahan batu bara di laut, itu sudah lama terjadi, sudah sejak 2016. "Dulu itu wilayah mondar mandirnya kapal perusahaan wilayah tangkap nelayan. Saat sya masih rajin ke laut, sering beroperasi di daerah tersebut. Itu wilayah tangkap favorit nelayan, bukan jalur kapal besar," ungkapnya. Kemudian, sambung Selle, daerah itu mulai dimanfaatkan untuk aktivitas ship to ship (STS) kapal batu bara. Aktivitas transfer batu bara dari kapal ke kapal itulah mengakibatkan hambatan dan ancaman bagi nelayan. "Pertama wilayah tangkap nelayan semakin sempit. Daerah yang dulunya tempat memasang alat tangkap nelayan jadi terganggu. Belum lagi lalu lintas kapal, hilir mudik kapal menjadi ancaman bagi keselamatan para nelayan," bebernya. Belum lagi terhadap tumpahan batu baranya. Para nelayan sering mendapatkan batu bara dalam jaringnya. Saat mereka berharap ikan, udang atau hasil tangkapan lain, tapi yang didapat justru batu bara. Ia mengungkapkan sejak tahun 2016, sudah banyak upaya yang dilakukan nelayan untuk meminta penghentian tumpahan batu bara. Sebab kehidupan mereka semakin tersisih. Upaya yang dilakukan bermacam-macam, mulai aksi di laut, unjuk rasa di darat, audensi dengan pemerintah juga sering dilakukan. Tapi tidak memberi pengaruh. Bahkan tiga tahun silam pernah ada wacana pada 2019, menggeser wilayah operasi kapal yang mengangkut batu bara. Tapi kemudian tiba-tiba berubah. Sampai sekarang aktivitas kapal batu bara masih tetap di sana. "Saya juga tidak tahu kenapa mereka tetap di situ. Perusahaan dengan memberi bantuan lewat CSR mesin merasa sudah bertanggung jawab. Padahal kan sumber persoalannya itu lingkungan. Persoalan limbah ini tidak bisa diselesaikan dengan CSR,' tegasnya. Menurut Selle, dengan membagi mesin, tidak menghilangkan tumpahan batu bara di laut. Dengan membagi mesin, tidak bisa memperluas wilayah tangkap nelayan. Dengan membagi mesin, tidak bisa juga menambah pendapatan nelayan. "Karena tempat mencari ikan para nelayan di situ. Persoalannya kan, wilayah tangkap nelayan sudah diduduki kapal-kapal besar pengangkut batubara. Ini kan ancaman bagi nelayan," jelasnya. Belum lagi tumpahan batu bara yang sampai dasar laut itu akhirnya merusak ekologi. Ekosistem laut, biota laut menjadi rusak karena limbah dari kapal batu bara. Ia berujar, sejak dulu tuntutan nelayan itu fokus menuntur pemulihan lingkungan. Bagaimana perusahaan bertanggung jawab membersihkan tumpahan batu bara. "Jadi persoalan utamanya, wilayah tangkap nelayan yang semakin sempit. Tumpahan batu bara yang merusak biota laut, mencemari lingkungan, membuat kan-ikan semakin berkurang. Ini akar persoalannya. Dan ini gak mungkin selesai hanya dengan membagikan mesin," tegasnya. Ia menilai langkah CSR perusahan dengan membagikan mesin, jangan mengabaikan persoalan lingkungan. "Ibarat diagnosanya apa, obatnya apa. Kan enggak nyambung," imbuhnya. Karena itu ia tidak sepakat kasus lingkungan dituntaskan dengan CSR pembagian mesin. Apalagi, CSR itu kewajiban perusahaan. "Ada persoalan atau tidak, CSR itu memang kewajiban. Jangan pas ada masalah lingkungan, lalu CSR dijadikan alat negoisasi. Apalagi tidak nyambung antara masalah dan solusinya." Kalau ada masalah lingkungan, tegasnya, tuntaskan masalahnya. Kemudian sebagai badan usaha, memang ada kewajiban untuk melakukan tanggung jawab CSR. "Jadi ada dua kewajiban perusahaan yang harus ditunaikan. Pertama kewajiban CSR sebagai tanggung jawab perseroan. Kedua, kewajiban membereskan masalah lingkungannya. Jangan dua kewajiban tapi hanya ditunaikan satu saja. Harus pulihkan lingkungannya juga," tegasnya. Ia pun mengingatkan para nelayan untuk tetap fokus meminta perusahaan memperbaiki kerusakan lingkungan. "Hari itu batu bara tumpah ke laut, hari itu juga eskosistem laut di sekitar tumpahan langsung rusak," bebernya. Selle menegaskan masalah tumpahan batu bara harus menjadi perhatian provinsi dan pusat. "Pemerintah meminta peningkatan produksi, tapi wilayah tangkap nelayan makin sempit, ekosistem laut rusak tak diperbaiki. Ini kan ironis sekali,' ujarnya. Hal itu seperti paradoks. Apa yang diminta, tidak melihat kondisi lapangan. Untuk itu, pihaknya mendorong agar wilayah tangkap nelayan jangan dipersempit. Pihaknya juga mendesak pemerintah agar memberi sanksi tegas terhadap perusahaan yang terbukti merusak ekosistem laut. "Beri efek jera. Jangan karena mengejar investasi, tapi lingkungan jadi rusak," tegasnya. (rap)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: