Apakah Hukum Azas Praduga Tak Bersalah Berlaku di Laut?

Apakah Hukum Azas Praduga Tak Bersalah Berlaku di Laut?

Oleh: Dwiyono.S. – Praktisi Maritim Niaga.   Larangan pemerintah akan ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) akibat kelangkaan minyak goreng domestik, beritanya sangat marak di media.  Kebijakan ini berlaku mulai Kamis 28 April 2022. Aturan tersebut tertera dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 tahun 2022. Tentang larangan sementara ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized palm olein dan Used Cooking Oil. Melalui Peraturan tersebut, Mendag melarang sementara ekspor CPO dan turunannya seperti tertera dalam beleid tersebut. Namun kebijakan ini dikecualikan bagi CPO, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBD Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein), dan Used Cooking Oil (UCO) yang telah mendapatkan nomor pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor paling lambat 27 April 2022, tetap dapat diekspor.   Bila diperhatikan isi dari Permendag yang diterbitkan dalam pasal 1, ayat 4, 5 dan 6 :

  1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
  2. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai, yang terdiri dari Batam, Bintan, Karimun, dan Sabang.
  3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
Dari isinya, maka tidak ditegaskan mengenai adanya “satgas” atau secara spesifik dalam kasus khusus ini, siapa Lembaga penegak hukum yang benar-benar diberikan kewenangan khusus untuk menertibkan situasi krisis khusus. Contohnya dalam kasus pandemi Covid-19. Ada acuan yang jelas dari pemerintah untuk kewenangan penertiban kasus-kasus covid dengan keberadaan satgas covid-19 dan masyarakat juga memiliki kejelasan.   Ada satu kutipan komentar masyarakat yang cukup menggelitik sebagai berikut: "Bebaskan dulu industri migor ini dari keroyokan petugas, Satgas, kejaksaan, KPPU [Komisi Pengawas Persaingan Usaha] dan lainnya," kata Sahat. ( https://ekonomi.bisnis.com/read/20220426/257/1527282/larangan-ekspor-cpo-khusus-rbd-palm-olein-produsen-minyak-goreng-rapatkan-barisan ) Dilain sisi ada petugas penegak hukum terkait penertiban dan kerja keras petugas dengan merepresentasikan atas nama satgas CPO. Panglima Komando Armada Republik Indonesia (Pangkoarmada) Laksamana Madya TNI Agung Prasetiawan  mengatakan penangkapan kapal asing yang membawa muatan minyak goreng itu adalah tindak lanjut dari perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 21 April 2022 lalu. Yang melarang ekspor minyak goreng dan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), terhitung sejak 28 April 2022. (https://www.tribunnews.com/nasional/2022/05/07/kapal-patroli-tni-al-tangkap-kapal-kargo-asing-yang-akan-selundupkan-minyak-goreng-ke-luar-negeri) Adapun MT Progress diduga melakukan pelanggaran dokumen dengan spesifikasi gross tonnage (GT) kapal yang tetera pada salah satu dokumen yang berbeda dengan dokumen lainnya. Selain itu, spesifikasi kapasitas mesin pendorong yang tertera pada salah satu dokumen pun berbeda. "Hal ini merupakan pelanggaran Pasal 302 ayat (2) Jo Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran," jelasnya. Sementara MT Annabelle, diduga melakukan pelanggaran membawa muatan metanol tanpa dilengkapi dokumen angkutan barang berbahaya. Yang melanggar Pasal 294 ayat (1) UU 17/2008 tentang Pelayaran, dan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.  (https://www.cnbcindonesia.com/news/20220428234813-4-335929/waduh-tni-al-ringkus-2-kapal-bermuatan-cpo-dari-mana) Isi dari Pasal 302 ayat (2) Jo Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran: (1) Nakhoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Judul berita mengesankan bahwa penertiban kasus-kasus CPO. Namun pasal-pasal yang dikenakan adalah temuan-temuan teknis spesifikasi kapal dimana substansi dalih temuan tidak mendukung kasus peyelundupan CPO. Kasus yang muncul jelas-jelas kategori pidana dengan dimunculkan pihak yang disangka, ditangkap, ditahan atas dasar pasal yang diberitakan adalah kasus teknis spesifikasi kapal.   Beberapa lembaga penegak hukum pidana dan perdata sipil di Indonesia, yaitu:
  1. Kepolisian Negara RI diatur dalam UU RI No. 2 Tahun 2002
  2. Kejaksaan RI diatur dalam UU RI No. 16 Tahun 2004
  3. Hakim sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman diatur dalam UU RI No. 4 Tahun 2004
  4. Advokat dalam penegakan hukum diatur dalam UU RI No. 18 Tahun 2003
  5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diatur dalam UU RI No. 30 Tahun 2002
Dari pemahaman publik di atas yang mungkin sangat minim dan perlu pencerahan hukum, dimanakah letak kewenangan militer dalam penegakkan hukum pidana sipil? Bila ada dasar hukum negara yang mendukung demikian, lalu apakah berdasarkan proses hukum yang berlaku pihak militer memiliki kewenangan memutuskan keputusan peradilan sipil yang bersifat inkracht berkekuatan hukum sipil? Dalam proses hukum sipil formil ada asas lain yang juga harus diperhatikan dalam proses hukum, yaitu Asas praduga tak bersalah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sedangkan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Akankah kasus yang diberitakan tuntas dengan berakhir pada proses hukum sesuai kewenagan peraturan yang berlaku? Nah dalam proses Nakhoda dikenakan pasal disangka, ditangkap, ditahan atas dasar pasal yang diberitakan, apakah akan berlaku juga asas praduga tak bersalah sebagai hak status sipil seorang Nakhoda? Unsur Lembaga resmi yang didaulat negara untuk menerbitkan surat kelaikan kapal niaga di laut Internasioanal adalah tim terpadu lintas Lembaga negara yaitu Custom, Immigration, Quarantine and Port authority parties sesuai mandat KEPPRES no 51 tahun 2002 tentang Pengesahan Convention on Faciltation of International Maritime Traffic, 1965. Bila dokumen negara yang dikeluarkan atas nama empat instansi berwenang masih dipertanyakan keabsahannya justru oleh aparat negara, lalu apakah kodisi demikian harus sepenuhnya dibebankan kesalahan pidana kepada seorang Nakhoda kapal niaga? Artinya setiap Nakhoda kapal niaga juga akhirnya dapat mempertanyakan surat laik laut yang diterima sebagai dokumen negara ini memiliki kekuatan hukum, atau sekadar basa basi sebatas lepas dermaga? Untuk proses clearance in/out saja sudah cukup menguras kocek para pengusaha kapal mulai dari agency fee hingga biaya-biaya port dues lainnya. Namun apa hasil akhir dari baiaya mahal yang mereka dapatkan yang tidak lain adalah secarik kertas dokumen ijin dari Lembaga negara yang kekuatan hukumnya dipertanyakaan oleh Lembaga pemerintah lainnya dengan mengatas namakan penegakkan hukum. Muncullah situasi public distrust dan disrespect terhadap Lembaga pemerintah terkait. Kapal laut (niaga) adalah pilar penghubung utama sirkulasi ekonomi negara. Dimana bila fungsi penghubung logistik ini mengalami gangguan maka akan terjadi distorsi sirkulasi ekonomi dan gunjang-ganjing diseluruh pemangku kepentingan. Dan bila serta merta pelaku utama pendukung sirkulasi ekonomi dari sektor maritim niaga seperti seorang Nakhoda, sebagai pimpinan tertinggi di atas pulau terapung berbendera negara selalu diancam kriminal tanpa perlindungan profesi tenaga ahli yang jelas, apakah sirkulasi ekonomi negara yang bebas kontaminan dapat tercapai? Kapan kegalauan hukum sektor maritim ini berakhir? Kapan keadaan kondusif bekerja bagi para Nakhoda niaga ini dapat didukung untuk hasil produktivitas yang konstruktif bagi negeri bahari? Kapan negara hadir untuk memeperhatikan profesi yang spesifik ini : Nakhoda dan jajarannya sebagi Pelaut Niaga? Agar tidak selalu teraniaya dengan serta merta ancaman pidana.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: