Menunggu Air Nusantara

Menunggu Air Nusantara

SELASA (22/3) lalu adalah Hari Air Sedunia (World Water Day) Tahun 2022 dengan tema “Air Tanah: Membuat yang Tak Terlihat Menjadi Terlihat”. Tema tersebut diluncurkan dalam upacara pembukaan Forum Air Sedunia yang digelar di Dakar, Senegal sehari sebelumnya.

Hampir seluruh air tawar di dunia adalah air tanah, yang berasal dari air hujan dan salju. Hampir seluruh air tanah dimanfaatkan untuk menunjang penyediaan air minum, sistem sanitasi, pertanian, industri dan ekosistem. Air tanah memang tidak terlihat karena berada di dalam tanah, akan tetapi dampak dan manfaatnya terlihat di mana-mana. Itulah inti dari tema Hari Air Sedunia tahun ini. Sejarah Hari Air Sedunia berawal pada tahun 1992 saat diadakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan yang berlangsung di Brazil. Tujuannya untuk membuka kesadaran masih ada dua miliar manusia di bumi yang hidup tanpa memiliki akses air bersih. Karena itu manusia harus pandai menjaga lingkungan, menghemat dan cerdas mengelola, agar air bisa dinikmati semua makhluk di Bumi, lestari dan berkelanjutan. Di beberapa negara yang teknologinya maju, air limbahpun termasuk limbah manusia bisa didaur ulang. Di beberapa negara air hujan ditadah secara efektif bahkan jadi air milik negara untuk diolah menjadi air bersih dan bahkan air minum. Di tempat kita air hujan terjun bebas ke tanah sehingga menjadi bencana banjir seperti terjadi di Kaltim beberapa saat ini khususnya di Balikpapan, Sangatta dan Samarinda. Teman-teman di grup WA terkesima ketika kemarin saya kirimi video tentang bagaiman perjuangan salah satu negara terkering di dunia yaitu Uni Emirat Arab menghasilkan air bersih dan air minum dari proses desalinasi air laut dan penyemaian garam di udara. Mereka berhasil memproduksi miliaran liter air bersih meski biayanya sangat tinggi. Ketika saya masih menjabat wali kota, PDAM Balikpapan bekerjasama dengan sebuah perusahaan swasta sempat merencanakan membangun fasilitas desalinasi yang mampu memproduksi air bersih 50 m3 per detik. Relatif kecil, tapi bisa dikembangkan lagi jika berjalan lancar. Persiapan dan rekomendasi sudah dilakukan, sayangnya sampai saya purna tugas belum bisa terwujud. Balikpapan termasuk kota yang kesulitan air baku. Makanya kita mau mencoba memanfaatkan air laut yang berlimpah. Kita sudah menghitung biaya produksinya per m3 mencapai Rp 15 ribu, masih terjangkau untuk konsumen tertentu. Karena itu rencananya air bersih yang bersumber dari air laut akan dijual ke kompleks-kompleks perumahan elite, apartemen dan perhotelan. Kalau dilihat dari data proyeksi kebutuhan air baku yang dihitung PDAM Balikpapapn, maka kota ini membutuhkan air baku sekitar 1.900 liter per detik untuk melayani 80 % dari 670 ribu penduduk. Sementara air baku yang tersedia pada saat ini hanya 1.500 liter per detik, sehingga masih kekurangan 400 liter per detik. Sumber air baku PDAM Balikpapan saat ini dihasilkan dari Waduk Manggar yang menampung 10 juta m3 air dan Waduk Teritip 2 juta m3. Selebihnya disedot dari sumur dalam. Beberapa studi pernah dilakukan, yang memberi rekomendasi kepada Balikpapan untuk menambah air baku dengan membangun waduk baru, mengambil air di Sungai Merdeka Samboja atau menyedot air Mahakam. Dua alternatif terakhir belakangan dinilai tidak terlalu memungkinkan. Sungai Merdeka pernah kering di musim kemarau. Menyedot air Sungai Mahakam terlalu jauh dan kualitas airnyapun belakangan juga tidak terlalu bagus. Pernah juga menyodet air sungai Bugis di Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain, yang saat ini dipakai Pertamina untuk air bersih. Sayang proyek dari provinsi itu terhenti karena soal pembebasan lahan dan biayanya terlalu besar. Sementara itu, jika pembebasan lahannya selesai, Kementerian PUPR akan membangun embung Aji Raden di Balikpapan Timur dengan kapasitas 150 liter per detik. Untuk menutupi kekurangan kebutuhan air bakunya, Balikpapan benar-benar menunggu limpahan air dari proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Sebab, pembangunan waduk Sepaku di wilayah IKN, sekarang ini dikebut agar selesai 2022 dan bisa menghasilkan 2.500 liter air baku per detik. Menurut Kementerian PUPR, sebanyak 2.000 liter dipakai untuk kepentingan IKN dan sisanya 500 liter per detik akan diberikan kepada Balikpapan. Tinggal yang dipikirkan pipa transmisinya, mudah-mudahan tetap bisa dibantu oleh PUPR mengingat biayanya cukup besar memasang pipa puluhan kilometer. JUGA TETAP KURANG Sekalipun air baku melimpah, tidak berarti cakupan pelayanan kepada pelanggan atau masyarakat bisa segera terlayani 100 persen. Itu dialami Kota Samarinda, walau kotanya di belah Sungai Mahakam, yang panjang dan luas. Malah data yang saya dapatkan dari PDAM Samarinda, cakupan pelayanannya cenderung menurun. Kalau tahun 2020 mencapai 70,07 %, justru di tahun 2021 menurun menjadi 68,07 % dari jumlah penduduk 989.082 jiwa. Saat ini PDAM Samarinda mempunyai kapasitas produksi 2.800 liter per detik dengan 16 Instansi Pengolahan Air (IPA). Saya mendapat penjelasan ada 4 penyebab penurunan cakupan. Pertama, belum ada tambahan kapasitas IPA. Kedua, adanya jumlah pertambahan penduduk yang signifikan. Ketiga, sambungan baru yang dihentikan sementara (moratorium) karena kekurangan kapasitas distribusi air. Dan keempat, penghapusan pelanggan yang tidak aktif sebanyak 3.154 sambungan rumah (SR). Mengapa pelayanan belum mencapai 100 persen? Karena pertambahan penduduk yang cukup cepat, sehingga beberapa area belum terjangkau pipa distribusi dan pertambahan IPA yang cenderung lambat. Selain itu ada juga warga kota yang sudah mendapat pelayanan air dari PDAM Kukar (seperti warga yang berdampingan dengan Kecamatan Loa Janan) serta ada juga warga yang menggunakan sumur bor (air mandiri). Persoalan yang sama juga dihadapi oleh Balikpapan. Tidak saja kekurangan air baku, akan tetapi juga ada faktor lain seperti kawasan yang berbukit-bukit sehingga air sulit dipompakan ke atas, pipa distribusi dan transmisi yang sudah tua serta di bawah rumah dan bangunan sehingga jika terjadi kebocoran tidak mudah mencari dan mengatasinya. Serta ukuran pipa yang juga sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan sehingga pelayanan tidak bisa maksimal. Saya agak malu dengan ketua RT saya Pak Ery di Balikpapan Baru. Dia sudah lama minta agar Pos Jaga No 11 di kompleks perumahan itu dipasangkan air PDAM. Tapi sampai saya purna tugas sebagai walikota, Pos Jaga di dekat patung monyet itu belum bisa terpasang. Masalahnya petugas PDAM tidak bisa menemukan posisi pipa induk yang sudah tertanam di dalam tanah di sekitar pos. “Sepertinya sudah bergeser karena di tanam tahun 90-an,” kata petugas. Seorang warga bercanda kepada saya: Apa perlu kita panggil pawang pipa. Maklum saat ini musimnya pakai pawang. (Rizal Effendi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: