APBD Tak Disahkan, Karena Berebut Anggaran

APBD Tak Disahkan, Karena Berebut Anggaran

Nomorsatukaltim.com - Dua daerah di Kalimantan Timur belum menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2022, sampai batas terakhir penetapan. Merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 tahun 2019 mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah, APBD sudah harus disahkan sebulan sebelum tahun anggaran berjalan. Sampai Kamis (2/12), setidaknya ada dua daerah yang belum menetapkan APBD 2022. Pertama Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), kedua, Kabupaten Mahakam Ulu. Di PPU, tarik menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif menyebabkan lambannya pengesahan APBD tahun depan. Sampai kemarin sore, Pemkab dan DPRD PPU belum mencapai kesepakatan. Masalah ini diduga kuat akibat minimnya proyeksi anggaran tahun depan, sehingga terjadi tarik-menarik alokasi penggunaannya. Berdasarkan hasil kesepakatan paripurna nota keuangan dan pandangan 6 fraksi, akhir pekan lalu, APBD PPU 2022 disepakati hanya Rp 1,16 triliun. Angka ini hanya sedikit di atas proyeksi APBD Kabupaten Mahakam Ulu sebesar Rp 1,09 triliun. Ketua DPRD Jhon Kenedi, memastikan pada hari terakhir batas waktu penetapan APBD, 30 November 2021, tidak ada paripurna pengesahan. Alasannya karena Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) belum mengirimkan dokumen RAPBD. Untuk selanjutnya dibahas bersama dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRD PPU. "Jadi belum ada kepastian. Kami menunggu TAPD siap," ucapnya. Anggota Banggar, Thohiron mengamini. "TAPD belum siap bahannya, apa yang mau dibahas. Sabar dulu ya," ujarnya. Thohiron mengatakan, mengakui belum adanya kesepahaman angara TAPD dan Banggar. "Masih ada dinamisasi di internal TAPD, Jadi kita tunggu saja," imbuhnya. Sementara itu, Pelaksana tugas Sekretaris Kabupaten PPU Muliadi, mengaku sudah siap mengikuti pembahasan. Namun ada hal teknis yang membuat anggotanya tidak membawa dokumen RAPBD itu. "Berkas ada, cuma tidak bisa dibacakan. Karena yang membuat ternyata dalam kondisi, kurang sehat. Mungkin karena begadang, oleng-oleng. Kondisinya tidak prima. Yaitu Plt Kepala BKAD PPU (Muhajir) dan lainnya. Karena bergadang, input data," kata ketua TAPD itu. Sedianya rapat pembahasan diagendakan pukul 15.00 WITA. Muliadi mengeklaim tidak ada unsur kesengajaan menunda pembahasan APBD. Karena gagalnya rapat pembahasan APBD, tim anggaran Pemkab PPU akan melakukan rapat lanjutan menyatukan ‘persepsi’, sebelum diajukan kembali ke dewan. Soal dinamika itu, Muliadi menjelaskan pembahasan APBD ini dilematis. Karena, angkanya masih tarik-menarik. Ada dua konsep pembiayaan yang belum sama-sama disepakati. Konsep yang diinginkan Banggar, menurutnya kurang realistis. Karena kondisi keuangan tidak mendukung. Untuk mengakomodir pokok-pokok pikiran (Pokir). "Pokir dewan. Kalau dari kami, skema pertama itu tidak masuk. Karena jangan sampai itu membebani," katanya. Satu sisi, konsep yang diinginkan TAPD ialah mengutamakan utang. Karena APBD PPU masih terbebani dengan utang dari 2020 dan 2021. Jumlahnya Rp 290 miliar. Angka yang sangat fantastis untuk sebuah utang daerah. Belum lagi ada hutang SMI. "Kalau memang angkanya sangat rasional dan untuk kepentingan seluruh warga PPU, boleh saja. Tapi ini APBD kita Rp 1,16 triliun saja. Tapi, biasa saja (tarik-menarik) itu, dinamika saja," sebutnya.

TOWER PENAJAM

Keinginan Pemkab Penajam membangun tower penantang Monas, menjadi salah satu penyebab kegagalan penetapan APBD. Bupati PPU, Abdul Gafur Mas’ud (AGM)  menginginkan Tower Penajam dan Anjungan Penajam mulai dibangun tahun depan. Hal itulah yang membuat Banggar menolak konsep yang ditawarkan TAPD. Tapi Muliadi menyanggah. Bahwa kedua proyek itu sudah lama ada dan wajib pula dijalankan. "Tower dan anjungan itu barang lama, kami mau lengketkan lagi. Dia masuk tidak masuk, tetap masuk di apbd 2022. Karena itu sudah dicantolkan sejak 2021," jelasnya. Menurutnya itu tetap harus muncul di dalam rancangan APBD 2022. Untuk memancing investor mau berkolaborasi. Jika sampai akhir tahun tak ada kesepakatan, Pemkab akan mengambil langkah darurat. “Ya berarti pakai Perkada (Peraturan Kepala Daerah)," tegasnya.

KONSEKUENSI

Namun Pemkab bakal menerima konsekuensi dari pemerintah pusat jika APBD tidak disahkan. Salah satunya ialah terancam untuk tidak mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) di 2022. Karena salah satu syaratnya ialah dapat menyelesaikan APBD tepat waktu. Selain hanya penyajian laporan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Konsekuensinya kedua pihak tidak akan menerima gaji. Menanggapi itu, Thohiron menyebutkan sanksi itu masih belum dapat dipastikan. Pemprov Kaltim dan Pemerintah Pusat tentu akan menelisik terlebih dahulu sebelum mengambil sikap. Menemukan siapa yang salah untuk bisa disanksi. "Ya ini kesalahan TAPD, nota penjelasan keuangan sudah diparipurnakan. Tapi TAPD belum buat penjabarannya terus yang mau dibahas? Ini pelik, TAPD harus profesional dan lebih transparan dalam meramu anggaran itu," jelasnya. Sementara Muliadi, juga tak sependapat jika pihaknya akan mendapatkan sanksi. Pandangannya, pemberian hukuman itu akan dikaji kasus per kasus. Dilihat masalahnya apa. "Kan kami tidak sengaja itu. Bukan karena uangnya ada, lalu tidak dikasih. Bukan itu persoalannya, tidak ada uang. Apa yang mau dikasih." "Masa mau dihukum karena itu. Ya tidak. Aturan itu mengikat kedua belah pihak. Pemkab dan dewan," urainya. Lagi pula, pemerintah pusat menurutnya juga tidak akan tega melakukan hal itu. Karena kondisi ini datang karena persoalan keuangan negara juga yang menjadi penyebabnya. "Jadi dalam keadaan sakit, semua tidak digaji. Lantas itu menyiksa dua kali negara ini. Tentu tidak begitu pemerintah pusat nanti mengambil sikap," ujarnya.

ALASAN POKIR

  Bagi Muliadi, pokir untuk para dewan itu termasuk dalam kategori wajib sekunder. Dan kondisi keuangan yang ada saat ini, belum sanggup untuk mengakomodir itu semua. Maka dari itu, ia mengimbau pada semua pihak. Untuk betul-betul bisa mengerti kondisi keuangan daerah ini. "Ini bukan sengaja tidak ingin memberi siapa. Tidak. Karena memang jumlahnya sangat terbatas, lalu kita terbebani uutang. Sementara, kalau BPK memeriksa, itu selalu menjadi kewajiban bayar hutang, bukan bayar pokir," katanya. Imbauan itu juga ditujukan untuk masyarakat umum. Agar tak reaktif dalam menyikapi kebijakan yang diambil Pemerintah. "Warga juga perlu memahami. Jika ada aspirasinya di teman-teman dewan yang tidak tersalurkan di 2022, bukan karena pemerintah tidak mau. Pelayanan umum tetap. Kesehatan dan pendidikan itu mutlak," ujarnya. Pernyataan itu menuai komentar pedas dari Ketua Fraksi Gabungan DPRD PPU, Zaenal Arifin. Ia menyebutnya Muliadi mempermainkannya kesepakatan yang sudah dituangkan dalam rapat anggaran. "Ketua TAPD ini tidak boleh begitu. Melakukan pengubahan-pengubahan yang sudah disepakati sebelumnya," katanya. Ia yang juga anggota Banggar DPRD PPU ini mengutarakan dalam pemabhasan terakhirnya sudah menyepakati skema yang didalamnya mengakomodir pokir itu. Makanya ia berang saat ketua TAPD membuat statemen berbeda di media. Soal tidak ada pengalokasian pokir anggota dewan. "Kita menunggu berkas penjabaran, kok malah menyatakan di media seperti itu. Akan merubah kesepakatan. Mohon maaf, itu terlalu tidak pintar. Mencla-mencle," tegas politikus Partai Amanat Nasional ini. Zaenal menjelaskan soal skema yang ditawarkan TAPD itu tidak diterima pihaknya. Ia menganggap pengalokasian anggaran pada skema itu hanya menguntungkan Pemkab PPU. Utamanya dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang hanya ada di seputaran pemerintah saja. "Banggar tidak terima, kalau APBD 1,16 triliun itu untuk pesta pora, bayar gaji, kegiatan pegawai dan gaji THL kemudian insentif dan kegiatan di lingkungan pemerintah," ujarnya. Berbeda dengan pokir. Yang mengakomodir aspirasi yang benar-benar dari masyarakat. Yang diperoleh dari kegiatan reses. "Masyarakat yang tidak ada di lingkungan pemerintah, tidak mendapatkan apa-apa. Tidak mendapat porsi. Pokir inikan porsinya masyarakat," tandasnya. Berkaitan juga dengan pemberian gaji THL. Selain terlalu besar, Rp 3,4 juta, pengalokasian itu juga tidak tepat. Karena skema penggajian THL itu juga seharusnya melekat di kegiatan. "Nah, kalau tahun depan tidak ada kegiatan, harusnya THL itu tidak bisa digaji. Karena urusan pemerintahan, itu sudah dikerjakan PNS. Jadi THL ini untuk apa," tutup Zaenal. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: