Bekas Aktivis di DPRD Kaltim Bicara ‘Patung Istana’
SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - 'Patung Istana' terus menjadi pembicaraan. Dua bekas aktivis yang kini duduk sebagai anggota DPRD Kaltim, berbeda sikap menanggapi pemanggilan BEM Unmul oleh Polisi. Politikus PAN, Baharuddin Demmu menilai penggunaan diksi ‘Patung Istana Negara’ sebagai bentuk ekspresi mahasiswa menyikapi kinerja Wapres RI selama ini. “Kalau saya, ini bentuk ekspresinya kawan – kawan mahasiswa. Itu simbol aspirasi mengingatkan kita. Kalau kita, jadi pejabat itu jangan diam terus,” ujarnya. “Lihat masyarakat di kampung, kalau ada problem terjadi di banyak daerah. Seharusnya pemerintah turun lah. Itu mungkin yang diharapkan oleh kawan – kawan (mahasiswa),” ungkap anggota partai koalisi pemerintah. Politikus PAN itu juga menyayangkan sikap Rektorat Unmul yang memaksa BEM KM Unmul meminta maaf atas pernyataan mereka. Ia berharap agar rektorat tidak perlu berlebihan dalam menyikapi bentuk aspirasi mahasiswanya. Sikap Rektorat Unmul membuat mahasiswa hanya menjadi mahasiswa yang cari nilai mata kuliah saja. Dan tidak menjadi perwujudan ‘agent of change’. Terkait pihak tertentu yang melaporkan BEM KM Unmul ke polisi, Demmu menyebut hal itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Karena objek kritikan, yakni Wapres Ma’ruf Amin tidak mempersoalkan. “Pak Ma’ruf Amin nggak mempersoalkan. Kalau tidak dipersoalkan sudahlah. Misalnya saya posisi Pak Ma’ruf, senang saja saya kalau digituin. Biasa saja. Dia (mahasiswa) mengingatkan saya untuk bekerja demi rakyat,” ujar Demmu kepada Disway News Network. Politikus PKB, Syafruddin punya pendapat berbeda. Menurut anggota Komisi III DPRD Kaltim itu, wajar saja ada beberapa pihak yang keberatan atas narasi ‘Patung Istana Negara’. Ia menganggap BEM Unmul tidak menitikberatkan kepada kinerja Ma’ruf Amin, melainkan mengkritisi kepada personal Ma’ruf Amin. “Kenapa yang ditonjolkan soal patung? kenapa samakan Ma'ruf dengan patung ? harusnya adik-adik mengkritik kinerjanya dong.” “Sangat melecehkan, seoarang kiyai seorang wakil presiden samakan dengan patung. Patung kalau dikonotasikan dengan agama, itu berhala yang disembah oleh agama lain,” kritik Syafruddin. Syafruddin beranggapan, BEM KM Unmul bisa menggunakan narasi yang lebih ilmiah dan mendidik. Judul yang digunakan oleh BEM KM Unmul tidak sesuai dengan adab ketimuran dan tak sesuai tata krama. Terkait adanya tekanan dari Rektorat Unmul maupun dilaporkan ke kepolisian, Syafruddin merasa ini menjadi pembelajaran bagaimana cara BEM KM Unmul dalam mengekspresikan gagasan pikirannya. “ini pembelajaran bagi kita semua, terutama adik – adik aktivis,mengkritik itu boleh. Tapi harus obyektif atas kinerja aktivitasnya sebagai pejabat negara. Bukan mengkritik personal atau pribadinya,” pungkasnya. *LID
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: