Pengusaha Perikanan Tangkap Menjerit Tarif PNBP Naik 400 Persen

Pengusaha Perikanan Tangkap Menjerit Tarif PNBP Naik 400 Persen

Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Kenaikan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan yang berkisar 400 persen memicu reaksi penolakan nelayan dari berbagai daerah. Hingga sekarang, pengusaha dan nelayan belum menerima kebijakan tersebut. Kenaikan tarif PNBP termaktub dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 yang merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Regulasi tersebut, mengganti beleid PP Nomor 75 Tahun 2015 yang juga tarif PNBP naik sebelumnya sebesar 1 persen yang tercantum dalam PP Nomor 19 Tahun 2006. Untuk kapal 30-60 GT misalnya, tarifnya menjadi 5 persen. Realitas di berbagai masyarakat pesisir, kondisinya terseok-seok. Masih mencari formulasi untuk bangkit dari regulasi pelarangan pada periode menteri sebelumnya. “Namun, sekarang sudah terbit kenaikan tarif PNBP baru sebesar 400 persen. Artinya kenaikan 4 kali lipat. Ditambah lagi, kondisi Covid-19 yang membuat putaran ekonomi kelautan perikanan rontok,” kata Rusdianto Samawa, ketua umum Front Nelayan Indonesia mengutip Disway Kaltim, Senin (8/11/2021) kemarin. Dampak dari terbitnya PP Nomor 85 Tahun 2021 yang merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, bukan lagi tercipta lapangan kerja bagi buruh yang berada di pelabuhan-pelabuhan ikan maupun tempat pendaratan ikan. Tetapi, menciptakan pengangguran dalam skala besar. Mengapa demikian? Rusdianto menyebut karena regulasi tersebut memberatkan para pengusaha kapal ikan, nelayan pekerja, buruh dan ibu rumah tangga nelayan. Ironisnya, terbitnya PP 85 membuat banyak kapal libur melaut. Faktornya, tinggi angka tarif dasar penarikan PNBP. Apalagi sistem kuota, pasca bayar dan hitungan per kilo. “Belum lagi pengusaha dan para nelayan menghitung kelebihan gross ton kapal yang dibebani. PNBP yang ditarik wajib bayar sistem kuota adalah kapal-kapal 30GT ke atas,” sebutnya. Selain itu, ada beban besar yang dialami oleh para pengusaha perikanan. Yakni proses pengukuran kapal yang melebihi aturan tertentu, mestinya hanya diukur panjang kali lebar. Sekarang, mengukur kapal, mulai dari palka, kamar mesin, kamar ABK, hingga ukuran-ukuran kecil yang diakumulasi dalam jumlah gross tonnase. Hal ini berdampak pada produktivitas usaha perikanan, penghasilan nelayan dan terbebani operasional dalam melaut. Tentu, akibatnya nelayan banyak memilih tidak melaut. Akhirnya, pengangguran terjadi di mana-mana. Buruh tempat pendaratan ikan tak lagi mendapat pekerjaan. Ibu-ibu rumah tangga nelayan, sulit lagi mengepul dapurnya. BPS merilis survei upah buruh di RI pada Agustus 2021 dibandingkan Agustus 2020 turun sebesar 0,72 persen menjadi Rp 2,74 juta per bulan. Beberapa kategori mengalami penurunan upah buruh, sedangkan kategori lainnya mengalami peningkatan. “Buruh di perikanan dan perairan, sangat sederhana. Menangkap dan memanen hasil ikan di wilayah operasi penangkapan ikan. Kisaran gaji sebagian besar pekerja pada profesi Buruh Penangkapan dan Budidaya Perikanan dari Rp 2.072.079,05 hingga Rp 4.870.592,95 per bulan pada tahun 2021. Sebelumnya, bisa Rp 4.000.000 per bulan. Sementara, kisaran gaji sebagian besar pekerja pada buruh pekerja Perikanan Tangkap Di Perairan Umum dan Pesisir dari  Rp 2,456,401 untuk Rp 4,839,804 per bulan pada 2021,” terangnya. Kemudian, buruh nelayan bekerja pada perikanan tangkap di Perairan umum dan pesisir biasanya menghasilkan antara Rp 2,456,401 dan Rp 4,367,233 bersih per bulan pada awal pekerjaan. Setelah 5 tahun bekerja, antara Rp 2,736,224 dan Rp 4,593,218 per bulan untuk seminggu kerja selama 40 jam.Di masa covid, menurun 98 persen pendapatan berkisar Rp 500 ribu. “Artinya menurun drastis. Sementara, data dari 10 tahun lalu, potensi ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia menyumbang 3,7 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Hitungan PDB pun tidak mengalami kenaikan,” tuturnya. Hal ini terjadi pada kondisi kerja layak dan hak nelayan sebagai pekerja yang belum terpenuhi secara khusus tentang kepastian upah minimum. Profesi nelayan mengalami penurunan jumlah dari 2,7 juta orang di 2019 menjadi 2,2 juta orang pada 2020. Meskipun nilai tukar nelayan (NTN) mengalami peningkatan berkala setiap tahun, tapi kenaikan tersebut tidak berbanding lurus dengan kenaikan kesejahteraan nelayan. Terutama pada lingkup kondisi kerja layak dan pemenuhan hak sebagai pekerja. Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi tahun lalu merilis hasil riset tingkat bekerja masyarakat pesisir sesuai profesi. Bahwa profesi nelayan merupakan salah satu profesi paling berbahaya di dunia. Yaitu dangerous, difficult, dirty (berbahaya, sulit, kotor) dan berisiko tinggi terhadap eksploitasi kerja. Di antaranya kerja paksa dan perdagangan orang. “Kepastian upah minimum awak kapal perikanan perlu mengikuti ketentuan yang ada. Baik yang bersifat umum dari sisi ketenagakerjaan maupun yang bersifat khusus yang diatur secara teknis. Dengan tetap memperhatikan relevansi ketentuan terhadap implementasi di lapangan serta dengan mempertimbangkan kelangsungan bekerja dan keberlanjutan usaha," tambahnya. Sejalan dengan kebijakan tentang pengupahan dan memastikan kepatuhan dari pemberi kerja. Instrumen kontrol yang digunakan melalui penerapan perjanjian kerja laut sebagai salah satu syarat dalam penerbitan izin berlayar bagi setiap kapal yang akan melakukan penangkapan ikan. Juga mendorong penerapan perjanjian kerja laut (PKL) sebagai upaya perlindungan awak kapal perikanan. UU Cipta Kerja telah menghapuskan denda pelanggaran oleh pengusaha sebagai perlindungan awak kapal perikanan. Namun, terbitnya beleid PP 85 tahun 2021 menambah beban berat bagi buruh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan. Karena berpengaruh pada produktivitas penangkapan ikan dan operasional. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menarik PNBP kepada nelayan dengan ukuran kapal 5-10 gross ton (GT). Sebab menurut UU Nomor 7 Tahun 2016, nelayan tersebut masuk dalam kelompok nelayan kecil. Mengacu lampiran beleid, kapal skala kecil dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif PNBP pra produksi sebesar 5 persen, kapal skala menengah dengan ukuran 60-1.000 GT dikenakan tarif 10 persen, dan kapal skala besar dengan ukuran lebih dari 1.000 GT dikenakan tarif 25 persen. Sedangkan untuk PNBP pasca produksi, tarif PNBP untuk kapal kurang dari 60 GT sebesar 5 persen, dan tarif untuk kapal lebih dari 60 GT sebesar 10 persen. Rumus besaran biaya yang perlu dikeluarkan nelayan untuk PNBP pra produksi adalah tarif PNBP × produktivitas kapal × Harga Patokan Ikan (HPI) x ukuran kapal (GT). Adapun rumus untuk PNBP pasca produksi adalah tarif PNBP x nilai produksi ikan pada saat didaratkan. Skala nelayan kecil dengan nelayan besar, sebut Rusdianto, tidak bisa disamaratakan. Termasuk dalam hal penarikan PNBP. Mestinya, pemerintah lebih mengoptimalkan kapasitas infrastruktur nelayan agar dapat meningkat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Baik aspek perkapalan, cold storage maupun distribusi pemasaran hasil tangkapan. “Hitungan PNBP di atas, berpengaruh pada semua sektor, apalagi buruh kapal nelayan yang bekerja melaut. Tentu, gaji mereka berkurang sama sekali,” tekannya. BEN/ENY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: