Memutus Lingkaran Setan Bisnis Padi

Memutus Lingkaran Setan Bisnis Padi

Padi dan produk turunannya beras, adalah sebuah anomali. Menjadi bahan makanan yang paling pertama dicari untuk memenuhi hak perut masyarakat Indonesia, yang kalau ‘belum nasi belum makan’. Tapi pola bisnis dalam lingkup pra tanam hingga pasca panennya belum terlalu serius dipikirkan. Akibatnya, petani kerap pak-puk. Karena modal tanam yang tinggi, namun hasil penjualan sering bikin mereka elus dada.

OLEH: AHMAD AGUS ARIFIN

MUSIM penghujan yang melanda belakangan membuat harga gabah di seluruh Tanah Air ikut bergejolak. Ada yang naik Rp 100 per kilogramnya seperti di Boyolali. Namun ada pula yang mengalami penurunan hingga ke harga Rp 3.800 per kg seperti yang terjadi di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.

Perkara naik turunnya harga ini sebenarnya adalah hal yang biasa. Lumrah terjadi ketika musim panen raya. Serta faktor pengikutnya, seperti iklim, bencana alam, hingga masalah distribusi. Hal penting yang perlu disorot dari fenomena harga gabah ini adalah, momentum.

Ya, kembali maraknya pemberitaan soal harga gabah ini mestinya menjadi momen pengingat bersama. Baik pemerintah maupun swasta. Untuk menilik lagi, betapa belum diperhatikannya pola bisnis komoditi padi.

Akibat dari sikap acuh, yang anehnya, datang dari bangsa yang diberkahi iklim tropis dan tanah subur ini. Masalah yang dialami petani padi hanya itu-itu saja. Benar-benar hanya itu-itu saja. Karena yang berulang terjadi, tidak pernah dibenahi.

Dari proses pra tanam misalkan. Belum banyak petani yang memiliki mesin pertanian. Yang memudahkan mereka dalam penyediaan lahan tanam untuk mengurangi biaya. Berlanjut ke urusan bibit unggul, pestisida, dan pupuk. Komponen-komponen ini, kalau tidak bermasalah di harga, ketersediaan, ya kualitas.

Muaranya adalah penjualan. Karena padi sawah adalah tanaman musiman. Di mana mayoritas sawah di Kaltim adalah sawah tadah hujan. Sehingga para petani akan kompak menanam ketika musim penghujan tiba. Artinya, masa panennya pun akan bersamaan.

Ketika itu terjadi, dengan stok yang melimpah, harga jual menjadi rendah. Walau sebenarnya gabah bisa disimpan untuk waktu yang cukup lama. Tapi kebutuhan sehari-hari merongrong petani untuk lekas menjual hasil panennya. Pun dengan harga yang sangat murah.

Kondisi ini menarik para tengkulak untuk kembali memainkan harga. Dengan berbagai pola. Kesulitan petani lainnya, mereka selain bingung harus menjual padinya ke mana. Serbuan beras dari luar Kaltim turut membuat padi yang sudah dijual itu, menjadi lebih sulit lagi menembus pasar.

Indonesia memang diberkahi sebagai negara agraria. Seperti kata Koes Plus, bahwa melempar tongkat dan batu saja jadi tanaman. Namun hingga kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah ke-76 tahun. Sumber daya manusia dan sistem perdagangan padi belum beres juga.

Benar bahwa untuk beberapa puluh tahun ke depan, Kaltim masih bisa bersandar pada sumber daya alamnya. Minyak bumi, gas, serta tambang batu baranya. Tapi, apa harus menunggu SDA itu habis baru mau berpikir untuk memutus lingkaran setan perdagangan komoditi padi? AVA

Harga Relatif Rendah, Masalah Tetap Sama

padi
SUNOTO

BERBEDA dengan daerah lain yang mengalami kenaikan atau penurunan harga gabah. Di Penajam Paser Utara yang merupakan salah satu lumbung padi di Kaltim. Hal serupa tak terjadi. Harga penjualan beras (tidak menjual dalam bentuk gabah) masih sama seperti musim panen sebelumnya.

Per kilogram, beras dari petani dihargai Rp 8.000 sampai Rp 10.000. Kepala Desa Bukit Raya, Kecamatan Sepaku, Sunoto berujar. Sudah beberapa tahun terakhir beras di desanya dihargai segitu. Memang jarang terjadi fluktuasi, namun beberapa tahun silam, harga beras di Sepaku bisa menyentuh Rp 10 ribu hingga Rp 12 ribu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: