Tilawah dan Senyum Bantu Halim Tika Taklukkan COVID-19

Tilawah dan Senyum Bantu Halim Tika Taklukkan COVID-19

COVID-19 masih menyisakan banyak misteri.  Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok itu, seakan pilah-pilih target. Lansia dengan komorbid di Balikpapan selamat setelah 17 hari bergelut dengan Corona. Apa rahasianya?

Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Masih hangat pengakuan selebritas Deddy Corbuzier mengisahkan betapa ia terpapar dan susah payah melawan virus itu. Padahal, ia selalu rutin berolahraga. Rutin mengkonsumsi vitamin, menjaga protokol kesehatan, dan bergaya hidup sehat. Kondisi itu tak berbeda jauh dengan seorang penyintas COVID-19 di Balikpapan. Bedanya, ia seorang lansia yang memiliki penyakit penyerta, atau komorbid. Ia adalah Azhari Halim Tika, 76 tahun. Warga Perumahan Wika, Balikpapan Utara, mampu survive di tengah berbagai tekanan. Salah satunya, menerima kabar sang istri wafat saat sama-sama berjuang melawan COVID-19. “Istri saya meninggal dunia ketika menjalani isolasi di rumah sakit lain,” kata suami almarhumah Moustudhiiyyah. Halim Tika menjalani perawatan di  Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo (RSKD). Sedangkan sang istri di RSUD Beriman. Pria yang menjadi Ketua takmir Masjid KH Ahmad Dahlan itu, mengisahkan, ia melewati masa-masa kritis setelah menjalani perawatan selama 17 hari. “Kondisi saya sampai sedemikian parahnya. Sehingga untuk menuju kamar kecil harus merangkak dulu mengambil kursi roda, lalu bisa ke toilet," ujarnya, saat ditemui di Masjid KH Ahmad Dahlan, Wika, Senin (23/8). Selama dirawat di rumah sakit, ia sama sekali tidak mampu berjalan. Akibatnya masih dirasakan sampai saat ini, Halim masih merasakan nyeri di bagian punggung hingga pangkal paha. Menurut Halim, ketika ia merangkak ke toilet, terpergok oleh perawat. Ia pun diminta kembali ke tempat tidur dan akan dipasang kateter. "Ya mau bagaimana lagi. Perawat itu khawatir karena kadar oksigen saya masih di bawah angka normalnya, sekitar 75 atau 80. Saya diminta pakai kateter tapi saya tolak. Karena saya harus salat," urainya. Kala itu Halim ditempatkan di bangsal Flamboyan. Sebenarnya jarak antara tempat tidur dengan kamar kecil hanya sekitar 15 meter. Namun selama masa kritis, jarak itu terasa begitu jauh. Kakinya kelu, tak mampu untuk digerakkan. Ia juga sulit bernapas. "Mungkin karena saya pakai alat (regulator oksigen). Saya baru sadari tidak pernah meludah selama dirawat. Karena tenggorokan rasanya selalu kering," katanya. Keluhan lain yang dirasakan yakni demam. Panas tubuhnya selalu tinggi diatas suhu tubuh normal. Dalam kondisi seperti itu, pikirannya selalu menjelajah ke mana-mana. Mentalnya juga jatuh selama dirawat lantaran selalu melihat perawat yang lalu lalang dengan mengenakan pakaian hazmat. Pernah suatu ketika, ia terbangun dan melihat kondisi pasien lain di sebelahnya. Ia melihat kedua kaki pasien tersebut telah diikat dengan sehelai kain. Pasien itu dinyatakan meninggal dunia. "Saya syok. Saya merasa kecemasan. Mungkin sugesti juga (pengaruh) ya," tukasnya. Ia mengaku mendapat banyak support dari keluarga dan sahabatnya selama menjalani masa penyembuhan. Terutama anaknya yang selalu berkomunikasi dengannya. Bahkan salah satu rekannya anggota DPRD Kaltim, segera menelepon petinggi RSKD ketika mengetahui kondisi Halim yang sedang kritis, meminta agar meminjamkan fasilitas kursi roda untuk memudahkan gerak Halim yang bolak-balik ke kamar kecil. "Alhamdulillah, saya jadi tidak dipasangi keteter," ujarnya sembari tertawa. Setelah berhari-hari menjalani masa kritis, Halim mulai bisa beradaptasi dengan kondisi. Ia mencoba untuk menghilangkan sugesti dan rasa ngeri setiap melihat perawat berpakaian hazmat. Ia merasa beruntung, karena selama beberapa tahun terakhir banyak menghabiskan waktu untuk berolah raga dan beribadah. Selama masa sehatnya, Ia menyebut terbiasa meminum teh hangat dicampur jeruk nipis. Ia juga selalu mandi di saat subuh kemudian dilanjutkan beribadah. Terbukti kedua hal itu sangat berpengaruh terhadap proses penyembuhannya. "Virus itu kan enggak bisa diobati tapi bisa ditangkal sebelum mampir ke tubuh kita dengan cara meningkatkan imun,". Selama dirawat di rumah sakit, ia juga selalu mencari ketenangan dengan mendengarkan tilawah melalui MP3. Biasanya dia putar tilawah sampai tertidur. "Saya juga jadi lebih kuat makan. Itu juga menjadi keuntungan ya dalam proses penyembuhan," tukasnya. Pria yang merantau ke Kaltim sejak 1970-an itu mengingat, dinyatakan dokter sembuh pada 29 Juli, lalu.

Ditinggal Istri

Meski saat ini sudah sembuh dari COVID-19, bukan berarti penderitaannya sudah selesai. Halim Pika mengaku senantiasa teringat mendiang istri, Moustudhiiyyah. "Tanggal 26 Juli, Senin malam. Saya dikabari teman. Katanya minta maaf baru memberi info bahwa Ibu Halim, istri saya, meninggal dunia," terangnya. Seketika itu pula, Halim menghubungi ipar untuk mendapat penjelasan. Ternyata keputusan untuk tidak memberi tahu kondisi istrinya sudah dibicarakan dengan keluarga besar. “Keluarga tidak ingin mengambil risiko kehilangan kedua orang yang mereka cintai, lantaran semua sudah tahu bahwa saya punya riwayat penyakit jantung.” Moustudhiiyyah mengembuskan napas setelah berjuang selama sepekan. "Saya ikhlas. Tapi namanya kebiasaan (selalu bersama), sedih juga. Saya kumpul sama istri 35 tahun di kurang 34 hari. Saya menikah 23 Agustus 1986, dia berpulang 19 Juli 2021," kenangnya. Dari informasi yang dia terima, isterinya segera melakukan pemeriksaan kesehatan setelah ia dinyatakan positif. Dengan dukungan anaknya, mendiang menjalani masa isolasi di RSUD Beriman. Mereka berdua dirawat terpisah lantaran kondisi keterisian rumah sakit saat itu sedang tinggi-tingginya. Berselang tiga hari dirawat, isterinya mengalami pemburukan hingga akhirnya meninggal dunia. "Andai kata saya tahu lebih dulu, walaupun saya tidak bisa bergerak di sini, saya bisa kerahkan teman-teman. Seluruh masjid Muhammadiyah di Balikpapan bahkan Kaltim bisa saya kerahkan untuk salat gaib dan mengirim doa," katanya. Meski demikian, Halim memahami bahwa cobaan adalah takdir. Kadarullah. Sehingga yang bisa dia lakukan kini adalah mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. "Sejak tiga tahun lalu saya sudah bicara dengan istri. Bahwa tidak boleh kita mencintai (sesuatu) melebihi cinta kita kepada Allah," urainya. Satu hal yang menarik, Halim menilai peranan dokter dan perawat sangat menentukan bagi proses penyembuhan setiap pasien. Ia mengaku beruntung dirawat di RSKD. Lantaran dia didampingi dua dokter yang sudah dikenalnya. Terutama dokter ahli jantung bernama dr Ahmad Yusri yang sudah dikenalnya sejak 2011. “Kebetulan beliau tugas di RSKD. Kalau malam prakteknya di Siloam, kalau sore di Hermina. Saya gelari dia smiling dokter karena murah senyum," tukasnya. Menurut pengalamannya berobat di dalam dan luar negeri, Halim menyebut ada perbedaan mendasar antara dokter dan perawat dalam negeri dan luar negeri. "Di Malaysia, di Singapura, kalau kita sedang konsultasi, baru konsultasi saja sudah hilang keluhan kita 40 persen," katanya. Perbedaan itu terletak dari karakter seorang dokter atau perawat. Hal itu memang tidak diajarkan di sekolah keilmuan kedokteran, Azhari Halim menyebut karakter dokter yang murah senyum dan punya kepedulian serta empati dari lubuk hatinya yang terdalam, akan menyelamatkan banyak nyawa manusia. Namun Halim mengaku menyadari bahwa saat ini paramedis menjadi garda terdepan dalam penanganan pandemi. Sehingga semua dokter dan perawat menghadapi tantangan yang berat. “Tak banyak dokter atau perawat kita yang seperti itu. Di antara yang sedikit itu ada dokter Yusri," imbuhnya. Ia sudah bisa tertawa. *RYN

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: