Merdeka atau Belum, Tergantung Sudut Pandangmu
Soal kemunduran yang dihadirkan kemajuan itu, Celni juga sepakat. Dia merasakan sendiri bagaimana era sudah bergeser terlalu jauh. Dari segi pertemanan, kebiasaan, cara belajar, dan cara hidup dikatakannya sudah berbeda sekali.
“Zaman dulu ngerjakan PR bisa sama-sama. Bermain bisa bareng, kumpul. Kalau sekarang kan semua via gadget. Dulu kalau ada waktu ngumpul sama keluarga, sekarang nongkrong,” kata Celni.
Atas perbedaan ini, Celni bilang, bahwa cara memperlakukan anak muda saat ini harus disesuaikan pula. “Treatment-nya harus sedikit lebih keras. Anak-anak tetap mengikuti perkembangan teknologi dan budaya luar. Tapi ada batasan normanya. Harus di-filter,” tegas Celni yang juga diamini oleh Fareis.
Beralih ke topik mempertahankan kemerdekaan. Celni menganggap beban pemuda saat ini lebih berat. Paling tidak jika dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan. Yang membuat lebih berat adalah kadar persaingan. Tidak hanya antar anak bangsa, namun juga antar negara. Maka jika Indonesia dan para pemuda tidak mawas, bukan tidak mungkin NKRI kembali ‘terjajah’.
“Untuk negara, penting untuk menjaga anak muda dari sisi moralitas. Dijaga agar tidak masuk ke pergaulan bebas dan narkoba. Negara juga harus menjaga kedaulatannya. Dulu kita dijajah fisik, sekarang dijajah utang. Jangan sampai ini keterusan dan berpengaruh ke pengambilan kebijakan,” kata Celni.
“Anak muda harus diberi panggung. Diberi pelatihan kompetensi agar bisa bersaing. Indonesia harus bisa kembali menjadi macan Asia dari segi ekonomi,” timpal Fareis.
“Saya menantang anak muda untuk terjun langsung ke politik. Karena kalau hanya nonton dari luar dan menjadi komentator, kontribusi terhadap pembangunan tidak maksimal,” kembali kata Celni.
Selain harus memerdekakan diri secara utuh, keduanya sepakat bahwa rasa nasionalisme jangan sampai luntur. Dalam penerapannya, tergantung aspek setiap masyarakat. Maksudnya, semua orang bisa mewujudkan nasionalisme dengan tindakan sesuai bidang, minat, atau pekerjaannya.
“Sebagai anggota DPRD, ketika dinas luar kota, saya selalu menggunakan pakaian khas daerah. Pun ketika mendampingi tim futsal ke luar negeri, saya juga membawa buah tangan Sarung Samarinda,” kata Celni mencontohkan salah satu praktik kepemilikan rasa nasionalisme.
“Sebagai dosen bisnis, ya, cara menunjukkan rasa nasionalisme itu dengan cara mencintai produk dalam negeri. Kalau bukan kita, siapa lagi?” Sahut Fareis seirama.
*
Sebenarnya, masih banyak potongan obrolan seru dan inspiratif dari kedua narasumber ini. Dari nostalgia perayaan HUT RI di masa kecil yang seru. Pengalaman perayaan hari kemerdekaan paling mengesankan. Hingga soal njelimet dan kelucuan yang hadir dari sistem pembelajar daring. Yang makanya, sayang sekali jika Anda tak mengikuti talkshow yang tayang secara langsung di media sosial Diskominfo Kaltim dan nomorsatukaltim ini tiap Kamis mulai pukul 4 sore.
Sebagai penutup, Celni mengungkapkan pengharapannya terhadap Indonesia. Intinya, pemerintah dan masyarakat harus maju beriringan dalam medan persaingan internasional saat ini. Sambil tetap mempertahankan karakter Indonesia yang santun dan beretika.
“Bisa memprotek negara dari bangsa asing yang mengincar kita. Jangan sampai kita jadi penonton di negara sendiri sementara yang menguasai negara lain,” tutup Celni.
Sementara Fareis berharap pemerintah menjadikan sektor pendidikan dari tonggak kemajuan bangsa Indonesia. Serta terus melakukan peremajaan di bidang ekonomi, sumber daya alam, konservasi, dan pembangunan infrastruktur. Sederhananya, Indonesia harus bisa bersaing dan beretika.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: