Kerajaan Kutai Kartanegara di Mata Aliansi Guru Sejarah Indonesia

Kerajaan Kutai Kartanegara di Mata Aliansi Guru Sejarah Indonesia

Kutai Kartanegara, nomorsatukaltim.com - Aliansi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) dan Gerakan Literasi Kutai (GLK) membedah kembali sejarah kerajaan Kutai Kartanegara. Webinar dengan tema “Meninjau Kembali Sejarah Kerajaan (Kutai) Martapura. Monarki Pertama, Tertua, Terlama di Nusantara.

Acara yang lebih kurang berjalan selama 3 jam ini membahas dan membedah karya penulis buku Kerajaan Martapura Dalam Literasi Sejarah Kutai 400-1635 Masehi, Muhammad Sarip. Buku itu mengungkap fakta-fakta yang mengarah kepada kerajaan tertua yang ada di Indonesia. Dalam penelitian yang dijabarkan dalam bukunya, berdasarkan Kitab Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara, tulisan Khatib Muhammad Thahir pada 30 Rabiul Awal 1265 Hijriah atau 24 Februari 1849 lalu pun menjadi rujukan. Sarip membeberkan jika Kitab yang kerap dikatakan sebagai “Salasilah Kutai” yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu ini, tidak bisa ditemukan di perpustakaan di Nusantara, hanya dapat ditemukan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman. Tidak hanya itu saja, berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 279/M/2014, tentang Tujuh Prasasti Yupa Koleksi Museum Nasional sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional, telah menjelaskan bahwa dinasti Aswawarman putra dari Kudungga inilah menjadi yang tertua di Nusantara. Bukan kerajaan Kutai yang selama ini kita ketahui bersama. Bahkan menurut konsensus negara yang telah menetapkan Mulawarman merupakan dinasti yang tertua. Namun ia pun tidak bisa menghindari jika memang ada pendapat atau sejenis sanggahan yang menolak klaim tersebut. "Tapi untuk sementara saya berpedoman kepada konsensus nasional, selain SK menteri juga termuat dalam buku Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 2 yang disponsori Kemendikbud," terang Muhammad Sarip dalam webinar yang dihadiri ratusan peserta seluruh Indonesia ini. Bahkan ujarnya lagi, dalam tujuh prasasti Yupa yang ditemukan, tidak pernah menyebutkan nama Kutai. Bahkan sejarahwan dan ilmuwan sastra Melayu, Constantinus Alting Mees, menegaskan jika nama Kutai ternyata bukan kepunyaan daru Dinasti Mulawarman. Bahkan dalam disertasinya, Mees pun mengatakan jika koloni Hindu yang berdiam atau tinggal di Muara Kaman tidak pernah menamakan diri Kutai. Saat kepemimpinan Aji Batara Agung Dewa Sakti dalam mendirikan kerajaan di muara Sungai Mahakam pada penghujung abad ke-13, barulah muncul dan dikenal nama Kutai tersebut. Kutai sendiri merupakan kegiatan berburu dari Aji Batara Agung Dewa Sakti dengan menggunakan sumpit, saat memenuhi keinginan dan hasrat sang istri saat mengandung. Namun saat itu Aji Batara Agung Dewa Sakti tidak mendapatkan buruan apa-apa selain tupai yang jatuh dari pohon petai. Yang berlokasi di pantai yang ditumbuhi kumpai atau rumput ilalang. Karena kejadian itulah nama Kutai tercetuskan dari kombinasi kata tupai, petai, pantai, dan kumpai. Itu dibuktikan dengan kata Kutai muncul di dalam kitab Salasilah Kutai, pada lembar ke 41. Dan diperkuat dengan buku hasil karya dari ilmuan dari Negeri Kincir Belanda, Solco Walle Tromp yang menyatakan hal serupa. "Kesimpulannya nama Kutai ini dicetuskan pada akhir abad ke 13 Masehi. Adapun cerita lain yang menyebut asal usulnya dari kata kutaire atau dari bahasa cina khotai begitu, sampai sekarang saya mencari sumbernya tidak ketemu. Memang di literatur buku-buku begitu tidak menyebutkan asal usulnya apa," ungkapnya lagi. Meski ia pun berpendapat, jika ditemukan banyak buku-buku yang sulit diverifikasi bagaimana asal usul kerajaan ini. Sedangkan terkait nama Martapura sendiri, di dalam kitab Salasilah Kutai nama Martapura bersanding dengan nama pangeran Sinum Panji Mendapa. Ditambah lagi dengan keberadaan bukit di Muara Kaman yang bernama Martapura. Selain itu bukti lain, seperti adanya Sultan Kutai, yang ditemukannya di salinan tahun 99. "Stempelnya jelas menuliskan Martapura," jelas Sarip dalam webinar. Menurut sang penulis Kerajaan Martapura Dalam Literasi Sejarah Kutai 400-1635 Masehi ini, menjelaskan perbedaan dua kerajaan antara Kerajaan Martapura dan Kutai Kartanegara. Dimana Kerajaan Martapura sudah berdiri dalam rentang waktu 400-1635 masehi. Sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara sendiri berdiri pada 1300 masehi dan runtuh pada tahun 1960. Tidak hanya berbeda dari tahun kekuasaan saja. Runtuhnya dua kerajaan inipun memiliki perbedaan mencolok sekali. Kerajaan Martapura sendiri runtuh karena ditaklukan Kerajaan Kutai Kartanegara melalui agresi militer. Sedangkan Kutai Kartanegara, dihapuskan dan dihidupkan lagi pada 2001, sebagai pemangku adat dan budaya, dan bukan sebagai otoritas politik. Seperti yang tertuang dalam UU 27 tahun 1959. Tak hanya itu, berdasarkan ibukota kerajaan pun keduanya berbeda. Kerajaan Martapura sendiri berada di Kecamatan Muara Kaman. Sedangkan Kutai Kartanegara ibu kotanya berpindah-pindah. Mulai dari ibu kotanya yang berada di Jahitan Layar yang kini dikenal dengan desa bernama Kutai Lama, Anggana. Lalu berpindah ke kawasan Desa Jembayan, Loa Kulu. Terakhir berlokasi di Kecamatan Tenggarong. Sarip melanjutkan jika dua kerajaan ini memiliki pendiri dan corak agama yang berbeda. Yakni Kerajaan Martapura didirikan Aswawarman dengan agama yang dianut adalah Hindu dengan corak India, hingga kerajaan tersebut runtuh. Sedangkan Aji Batara Agung Dewa Sakti lah yang diketahui pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara. Dengan agama Hindu kearifan lokal. Dan mulai beralih menjadi agama Islam pada tahun 1575 masehi. Tak hanya itu, Sarip pun menyoal terkait keabsahan dari kitab Salasilah Kutai yang dijadikan sumber informasi sejarah. Berdasarkan sumber informasi dari salah satu ahli yang ia yakini, jika mengatakan para raja dan keluarga istana ingin mendokumentasikan hubungan kerajaan mereka dengan kerajaan lain. Agar menguatkan identitas hubungan tersebut, maka diperlukan cerita-cerita mitos yang dituliskan dalam sebuah sastra. Seperti di buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 3: Kedatangan dan Peradaban Islam terdapat bab berjudul “Tradisi Sastra dan Kebahasaan”. Penulisnya Abdul Hadi mengelompokkan Salasilah Kutai sebagai sastra sejarah. Bukan Sember informasi sejarah. "Sayangnya berbagai kalangan terkecoh, dijadikan sumber penelitian sejarah. Ada yang mendalilkan misalnya susunan Raja Mulawarman dari Kudungga sampai sekitar 25 raja dari Salasilah Kutai yang lain. Padahal di Arab Melayu tidak ada  daftar susunan tersebut," lanjutnya. Diakhir pemaparannya, buku yang berjudul Kerajaan Martapura Dalam Literasi Sejarah Kutai 400-1635 Masehi ini sudah diajukannya dalam Seminar Bimbingan Teknis Menulis Sejarah Mendikbud tahun 2020. Dalam bentuk proposal penelitian karya tulis. Bahkan dipresentasikan di hadapan Dosen Sejarah Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso. Tidak ada penolakan dari proposal, judul hingga kerangka. Dengan mendapatkan sertifikasi dengan nilai A, berikut ditandatangani oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid. Ia pun menambahkan jika mendapat bantuan dari Dosen Ilmu Sejarah FIB Universitas Indonesia Ita Syamtasiyah Ahyar untuk memeriksa naskahnya dan berkenan memberikan kata pengantar untuk buku ini. Diakuinya ini merupakan pelengkap dari buku pertamanya, yang berjudul "Dari Jahitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah 7 Abad Kerajaan Kutai Kartanegara". "Jadi saya lebih dulu menulis buku Kerajaan Kutai Kartanegara yang terbit pada tahun 2018 baru kemudian Kerajaan Martapura di tahun 2021," tutup Sarip. Pewarta: Muhammad Rafi'i

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: