Balikpapan Menuju Kota Layak Anak, Ada 24 Indikator yang Harus Dipenuhi

Balikpapan Menuju Kota Layak Anak, Ada 24 Indikator yang Harus Dipenuhi

Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Balikpapan Sri Wahyuningsih menyebut ada 24 indikator penilaian sebelum menjadi kota layak anak.

Kekerasan terhadap anak masuk dalam klaster perlindungan khusus. Klaster ini juga menjadi penilaian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.  Hal-hal yang juga ditanyakan yakni tentang korban kekerasan, eksploitasi, korban pornografi, kemudian anak berhadapan hukum dan stigmatisasi. "Semua selalu ditanyakan apa sih yang sudah dilakukan pemkot. Ya salah satunya kita ada penyediaan unit UPTD PPA," ujarnya. Wanita yang kerap disapa Yuyun itu menyebut ada 24 indikator yang harus terpenuhi, sehingga suatu kabupaten/kota bisa masuk kategori KLA. Hingga saat ini, belum ada satu pun yang masuk predikat KLA. Baru sebatas tingkatan Utama atau satu tingkat di atas Nindya. Yakni Denpasar, Surakarta dan Yogyakarta. Baca juga: Balikpapan Diberi Predikat Menuju Kota Layak Anak, Begini Tanggapan Rahmad Dari 24 indikator itu terbagi lagi dalam beberapa klaster. Seperti klaster hak sipil dan kebebasan. Yakni  sejauh apa upaya Pemkot Balikpapan memenuhi kebutuhan pencatatan akta kelahiran bagi anak-anak yang lahir di Balikpapan. "Penilainya itu sampai 2020 kemarin. Diinput tahun 2021 tetapi yang diminta data perolehan di tahun 2020. Nah sampai 2020 data yang disetorkan dinas kependudukan dan pencatatan sipil (Disdukcapil) Balikpapan masih ada sekitar 7,13 persen anak di kota Balikpapan belum memiliki akta kelahiran," terangnya. Nah, indikator yang lain mengenai informasi layak anak. Sejauh mana pemkot Balikpapan bersama semua stakeholder di Balikpapan bisa menyajikan informasi layak anak. Salah satunya masalah iklan promosi rokok menjadi hal yang ditanyakan. Informasi terkait dengan internet juga menjadi suatu kendala. Karena hingga saat ini tidak ada yang bisa membatasi anak dalam mengakses hal-hal yang tidak diinginkan. Konten pornografi contohnya. Atau aplikasi yang justru terlarang untuk mereka sentuh. "Nah ini informasi layak ini harus dijamin bahwa anak-anak hanya bisa mengakses informasi yang layak," katanya. Klaster kedua yakni terkait perkawinan usia anak. Berdasarkan data yang diupload dalam aplikasi kementerian, memang ada peningkatan angka perkawinan anak. "Dari 2019 ada 73 anak, di 2020 itu meningkat menjadi 178 anak yang menikah sebelum waktunya. Ini memang menjadi tantangan kita bersama khususnya di masa pandemi," pandemi itu tukasnya. Sejak pandemi dimulai di awal 2020, aktivitas anak seperti proses pembelajaran sudah berbasis daring. Sehingga pengawasan terhadap anak sekarang lebih banyak menjadi tanggung jawab orang tua di rumah. Kekhawatirannya itu bukan tanpa alasan. Mengingat betapa mudahnya mengakses konten dewasa melalui internet di masa-masa sekarang. "Bisa saja dia mengakses situs pornografi, bisa saja mengakses (informasi) kekerasan. Bisa saja dia berkenalan chating dengan orang yang tidak selayaknya. Sehingga terjadilah pergaulan bebas yang tidak didasari dengan penguatan iman dan taqwa di kalangan keluarga. Akhirnya pernikahan di usia anak meningkat," tutupnya. (ryn/boy)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: