Antara Marhaenisme dan Pandemi COVID-19
COVID-19 semakin hari semakin membabi buta. Virus ini terus bermutasi dan mengganas. Terkhusus di Indonesia.
Kementerian Kesehatan telah mengonfirmasi bahwa masuknya mutasi COVID-19 ke Indonesia yaitu mutasi B.1.1.7 dari inggris, mutasi B.1351 dari Afrika Selatan, mutasi B.1617.2 dari India, dan hingga hari ini virus corona makin menggila dengan terus bermutasi. Melihat dari data yang di kutip dari satuan tugas COVID-19 bahwasanya per (9 juni 2021) kasus terkonfirmasi di indonesia yaitu 2.455.912. Dan melihat data ini penulis rasa kita harus lebih protektif dan menjaga diri dengan selalu menerapkan protokol kesehatan. Sudah banyak upaya Penanganan COVID-19 ini. Mulai dari distribusi vaksinasi dalam upaya preventif atau pencegahan sudah masif di lakukan berbagai penjuru Indonesia, hingga yang terbaru yaitu pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Kebijakan tersebut telah sah dan diberlakukan pada 3 juli lalu. Diterapkannya regulasi ini karena masih tingginya angka kasus COVID-19 dan juga melihat virus ini berkembang sangat cepat dan dinamis karena berbagai varian mulai masuk dan menyebar di Indonesia. Kebijakan ini langsung disampaikan oleh Presiden Jokowi di istana negara pada kamis 1 juli 2021. Polemik pro kontra terkait kebijakan PPKM ini terus berlanjut di masyarakat. Masih banyak masyarakat khususnya dari kalangan bawah yang ketimpangan dan menerima imbasnya. Melihat dari berita CNBC Indonesia bahwa kunjungan masyarakat di pasar tradisional menurun karena adanya pembatasan pergerakan, dan imbasnya banyak pedagang yang rugi dan ogah berjualan. Dan juga dikutip dari katadata.co.id, sejak pemberlakuan PPKM, omzet kebutuhan harian turun hingga 50persen dan lebih parahnya lagi tukang bubur di Tasikmalaya mendapatkan denda sebanyak Rp 5 juta rupiah atau subside 5 hari kurungan penjara. Dikarenakan melanggar aturan PPKM. Menurut penulis melihat pandemi yang bikin susah di tambah dengan denda sebanyak itu, penulis rasa sangat tidak bijak sekali jikalau pedagang yang mungkin berjualan hanya untuk bertahan hidup, mendapatkan denda sebanyak itu, lebih baik pemerintah ataupun aparat yang berpatroli membeli dagangan tersebut, baru mensihati agar tetap mentaati peraturan dan tidak harus langsung memberikan denda sebanyak itu. Melihat permasalahan pandemi COVID-19 ini penulis rasa, kita harus bersatu untuk saling tolong menolong agar permasalahan ini cepat selesai. Dan penulis ingin menghadirkan dan mengingatkan kembali sebuah ideologi dari Ir Soekarno yaitu Marhaenisme. Baca juga: HAM dan Penyerangan di Sheikh Jarrah Secara pengertian Marhaenisme bisa saja berbeda-beda, tergantung siapa yang bertanya dan siapa yang menjawab. Tetapi dapat penulis simpulkan bahwasanya, Marhaenisme adalah ilmu perjuangan suatu bangsa. Sudah mencapai kemerdekaannya dan selanjutnya mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Singkat cerita, sejarah Marhenisme terlahir yaitu ketika perjalanan Bung Karno menggunakan sepeda di Bandung selatan, di mana ia melihat seorang petani yang sedang menggarap lahannya dan terjadi diskusi di situ. Hingga soekrano mendapatkan jawaban bahwa petani tersebut bernama Marhaen dan ia mempunyai lahan, sawah, peralatan bajak, alat produksi sendiri dan hasilnya pun ia nikmati sendiri. Dari sejarah singkat inilah Soekarno mempunyai cita-cita bahwa rakyat Indonesia mau apapun jenis pekerjaannya, tidak tergantung pada majikan, punya alat reproduksi sendiri dan hasilnya dinikmati sendiri. Dan itulah Marhaenisme yang ada dalam pikiran soekarno. Baginya Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek. Menurut penulis untuk mewujudkan Marhaenisme tentu bukan hal yang mudah. Masih banyak kaum proletar, petani dan pedagang miskin. Kita ambil contoh saja dari kasus di atas yang di mana penjual bubur yang seharusnya kita sesama manusia, sebangsa setanah air membantunya, justru mendapatkan denda. Dan satu kasus lagi yang menimpa konter HP, dimana barang-barang seperti casing HP pedagang tersebut diambil paksa. Padahal menurut penulis tidak seharusnya satpol PP bertindak seperti itu. Alangkah baiknya dibicarakan baik-baik dan buat perjanjian tertulis jikalau melanggar lagi maka hal demikian mau tidak mau harus ditegaskan. Hal-hal seperti inilah yang membuat Marhaenisme sangat sulit diterapkan di masa pandemi sekarang ini. Dan juga melihat pembangunan-pembangunan gedung yang diinisiasi oleh kapitalis, sehingga Marhaenisme sudah semakin jauh ketidakmungkinannya untuk dipraktekan secara masif dan terstruktur di Indonesia. Marhaenisme kini semakin terlupakan. Meski rakyat Indonesia banyak yang ingin mempunyai alat produksi, rumah, dan tempat kerja sendiri. Rakyat butuh tanah, tempat tinggal dan alat produksinya sendiri yang bukan pinjaman atau sewa yang berbunga bunga. Menurut penulis jika negara peduli, rakyat mendapatkan alat transportasi bukan dari hasil kredit yang harganya ditaraf secara berlebihan. Jika negara peduli pedagang dan pengrajin seharusnya tidak sulit untuk berjualan dan mendapatkan bahan baku. Isi dari ajaran Marhaenisme itu ada 3. Yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang akan penulis kaitkan dengan pandemi COVID-19 sekarang. Yang pertama yaitu sosio-nasionalisme, di mana poin ini berisi nasionalisme dan peri-kemanusiaan atau humanisme. Sosio-nasionalisme mencita-citakan sebuah masyarakat yang di dalamnya tidak ada penindasan oleh suatu kelas terhadap kelas tertentu, maka dari itu di masa pandemi sekarang ini marilah kita menjunjung tinggi sosio-nasionalisme, implementasikan lah sikap inklusif yang terintegrasi sehingga kita dapat mengisi pos-pos kebermanfaatan dan jangan memanfaatkan pandemi ini untuk mendapatkan keuntungan dengan menyusahkan orang lain mari bersama sama bersatu untuk menunjang permasalahan pandemi ini agar cepat selesai. Yang kedua yaitu sosio-demokrasi, di mana poin ini berisi demokrasi dan keadilan sosial atau sosialisme. Negara harus bisa menjamin rakyat untuk dapat bekerja dan hidup layak sehingga tidak ada lagi pengangkutan secara paksa barang dagangan untuk bertahan hidup dan seharusnya negara bisa berlaku adil, tidak membeda bedakan antara kaum proletar ataupun borjuis, semua harus mendapatkan pelayanan dan perhatian yang sama. Kemudian yang terakhir yaitu Ketuhanan yang maha esa adalah asas yang paling utama dan dasar negara kita. Di Indonesia, sesuai dengan sila yang pertama yaitu masyarakat Indonesia harus mempunyai agama dan juga nilai religius sangat berfungsi dalam mengontrol agar kita selalu paham bahwa hidup ini tidak hanya soal dunia dan di masa pandemi ini di harapkan sikap religius harus selalu di hadirkan, guna sebagai pengingat kita untuk selalu mengingat bahwa wabah ini datangnya dari Tuhan dan diharapkan kita semakin mendekat kepada Tuhan dan menjauhi virus corona. Itulah relevansi antara Marhaenisme dan Pandemi COVID-19. Diharapkan kita bersama merefleksikan diri untuk selalu mengingat perjuangan dari Bung Karno yang mempunyai cita-cita masyarakat adil makmur dan cinta tanah air. *Penulis adalah Mahasiswa S1 Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Kalimantan TimurCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: