Tersangka Penggelapan Pajak Diserahkan ke Kejari, DJP Kaltimtara: Negara Rugi Rp 6,53 Miliar
Satu lagi tersangka dugaan penggelapan pajak diungkap Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berkasnya kini diserahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda, usai aksinya dianggap merugikan negara miliaran rupiah.
nomorsatukaltim.com - Tersangka MN diserahkan Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Kaltimtara beserta barang buktinya kepada Kejari Samarinda, Kamis (15/7/2021) siang. Penyerahan tersangka merupakan tindak lanjut tindak pidana perpajakan, yang diduga telah dilakukan sebelumnya oleh karyawan lepas PT EMI dan PT NRJM berinisial HS. Dalam rilis yang digelar secara daring, Kepala Kanwil DJP Kaltimtara, Max Darmawan menyampaikan, kasus tersangka HS berhasil diungkap oleh jajarannya pada 2020 silam. Adapun tersangka MN merupakan direktur dari PT EMI dan PT NRJM. Tersangka MN diduga telah melakukan penggelapan pajak, dengan cara menggunakan faktur pajak fiktif dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Perbuatan MN itu membuat setoran pajak ke negara menjadi kecil dari nominal yang seharusnya dibayarkan. Tersangka MN, kata Max Darmawan, terlibat aktif dalam perbuatan pidana yang dilakukan PT EMI dan PT NRJM. Dua perusahaan di Mahakam Ulu yang bergerak dalam transaksi jual beli solar. MN melakukan transaksi jual beli bahan bakar jenis solar melalui PT EMI dan PT NRJM tanpa dokumen yang sah, seperti surat jalan, invoice, dan faktur pajak. “Pemalsuan faktur pajak ini telah berlangsung sejak Januari 2013 hingga September 2015,” ungkap Darmawan. Dari hasil penyelidikan, diketahui MN telah melanggar Pasal 39A Huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. "Juncto pasal 64 Ayat (1) KUHP, yaitu dengan sengaja menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya, dengan kerugian pada pendapatan negara dari sektor perpajakan diperkirakan sebesar Rp 6,53 miliar," sambungnya. Atas perbuatannya, tersangka MN terancam sanksi pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun. Selain itu, MN juga dapat dikenai sanksi denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam faktur pajak, dan paling banyak enam kali jumlah pajak dalam faktur pajak. Darmawan menyampaikan, berdasarkan keterangan yang diperoleh selama pemeriksaan mengenai keterlibatan tersangka HS dengan tersangka MN. Diketahui HS menjadi karyawan lepas di PT EMI dan PT NRJM sejak 2013 hingga 2015. HS berperan membantu MN guna mendapatkan faktur pajak fiktif untuk mengurangi jumlah pajak yang seharusnya disetor kepada negara. "Perbuatan HS ini menyebabkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp 2,17 miliar," terangnya. HS dijerat dengan Pasal 39A huruf a jo. Pasal 43 ayat (1) UU KUP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Klausa berbunyi, di mana dengan sengaja sebagai pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dengan cara menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya. Akibat perbuatannya itu, HS terancam hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun. Serta denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam faktur pajak dan paling banyak enam kali jumlah pajak dalam faktur pajak. Selain itu, Darmawan turut menyampaikan perkara pidana lain atas tersangka HS. Ternyata selain membantu MN menggunakan faktur pajak fiktif, HS juga diketahui sebagai Wakil Direktur CV BIS yang terdaftar di KPP Pratama Samarinda Ilir. HS diduga dengan sengaja turut serta menyampaikan SPT Masa PPN yang isinya tidak benar dan menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya dari PT PVR, PT MT, PT ABK, PT HWS, PT GPP, PT RMC, PT PEL, PT PN, dan PT MPI. Perbuatan tersebut dilakukan bersama dengan MIF, direktur CV BIS yang telah menerima putusan inkrah dari Pengadilan Negeri Samarinda pada Juli 2020. "Perbuatan HS melanggar Pasal 39 Ayat (1) Huruf d jo. Pasal 43 Ayat (1) UU KUP, yaitu dengan sengaja turut serta menyampaikan SPT Masa PPN yang isinya tidak benar dan Pasal 39A Huruf a jo. Pasal 43 Ayat (1) UU KUP, yaitu dengan sengaja turut serta menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara," ucap Darmawan. Akibat perbuatan HS dalam kasus ini, negara menderita kerugian pendapatan sekitar Rp 2,92 miliar. Ditegaskan Darmawan, wajib pajak perlu memahami faktur pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam menjalankan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Oleh sebab itu, sebagai pengusaha kena pajak (PKP) yang diberi kepercayaan oleh negara melalui UU Perpajakan, untuk memungut dan menyetorkan PPN dari lawan transaksi. "PKP harus taat dan patuh menjalankan kewajiban tersebut sesuai peraturan yang berlaku. Perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka MN dan HS jelas-jelas menyimpang dari aturan perpajakan," jelasnya. Darmawan menyebut, tindakan penegakan hukum perpajakan wajib dilakukan sebagai upaya terakhir atau ultimum remedium, demi keadilan menjaga penerimaan negara melalui kontribusi pajak dalam APBN, dan memelihara marwah negara. “Penegakan hukum Kanwil DJP Kaltimtara menjadi pengingat bagi wajib pajak bahwa penyimpangan pelaporan dan penyetoran pajak tidak dapat disembunyikan dan pasti terungkap,” tandasnya. (aaa/zul)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: