Menjaga Nilai Ekonomi Batu Bara Demi Masa Depan Kaltim

Menjaga Nilai Ekonomi Batu Bara Demi Masa Depan Kaltim

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Harga batu bara acuan (HBA) beberapa bulan belakangan terus mengalami kenaikan. Bahkan, sudah menyentuh 115,35 dolar AS per ton.

Namun kenaikan harga ini tidak sepenuhnya melegakan. Kaltim sebagai daerah produsen tetap waspada. Khususnya jika ingin menjaga masa depan ekonomi dengan batu bara. Batu bara yang mengikuti harga global sangat fluktuatif. Dalam jangka panjang, harga komoditas utama Kaltim ini penuh risiko. Apalagi sudah ada komitmen negara-negara maju untuk mengurangi konsumsi demi mencapai zero emisi. Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kaltim Tutuk SH Cahyono mengatakan, International Energy Association (IEA) menyebut pada 2050 menjadi titik komitmen semua negara melaksanakan zero emisi untuk mengurangi pemanasan global. Lalu beralih ke clean energy. Komitmen ini akan dimulai negara-negara maju pada 2030/2035 dengan mengurangi konsumsi batu bara. “Sementara Indonesia beberapa tahun ke depan berkomitmen menyetop pembangunan PLTU berbasis batu bara,” sebutnya. Jangka menengah hingga panjang, jika hanya berbentuk bahan mentah, permintaan batu bara dipastikan akan turun. Kaltim yang PDRB-nya didominasi sektor ini harus segera mencari jalan keluar. Agar terjadi transisi ekonomi yang tidak bergejolak. Menurut Tutuk, solusinya dimulai dengan menciptakan iklim kondusif. Ini dimaksudkan agar menebalkan ketertarikan investor membangun pabrik pengolahan produk turunan batu bara. Seperti diolah menjadi methanol, olefin dan lainnya. Sebenarnya hal ini sudah terjadi di Kabupaten Kutai Timur. Yakni lewat konsorsium PT Bakrie Capital Indonesia (bagian dari Grup Bakrie), PT Ithaca Resources, dan perusahaan gas asal Amerika Serikat, Air Products and Chemicals, Inc. Yang akan membangun pabrik coal to methan. Batu bara akan dipasok dari tambang milik PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dan Ithaca Resources. Alternatif ini sangat memungkinkan menjaga batu bara Kaltim tetap bernilai di masa depan. Sebab, kebutuhan nasional akan methanol mencapai 1,2 juta ton. Tutuk memberi contoh Kota Bontang yang menjadi kota dengan pendapatan per kapita paling tinggi. Karena berhasil mengelola investasi minyak dan gas yang ada semakin bernilai. Termasuk menyumbang produksi 600 ribu ton methanol bagi konsumsi nasional dan pasar ekspor. “Sekali lagi, hal ini harus didukung iklim investasi yang kondusif. UU Cipta Kerja memungkinkan menciptakan itu. Sehingga produk turunan batu bara bisa menjadi penggerak ekonomi Kaltim,” terang Tutuk. Tidak hanya sampai di situ. Tutuk menyebut langkah ini juga harus direspons dengan membangun industri turunan methanol. Menyambut rencana konsorsium pabrik CTM di Kutim untuk mencapai target berproduksi pada 2024 mendatang. BEN/ENY  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: