Saparuddin Pabonglean: Prihatin PJJ
Sebagai orang yang pernah berkecimpung secara langsung di dunia pendidikan, Saparuddin Pabonglean memahami kesulitan yang dirasakan orang tua dan siswa, saat ini.
Kutai Kartanegara, nomorsatukaltim.com - Proses Pendidikan jarak jauh (PJJ) tidak hanya menghilangkan kesempatan anak untuk belajar bersosialasi, juga kehilangan kesempatan berinteraksi dengan teman sebaya. Ancaman lost generation akibat wabah sudah di depan mata. Memang sudah menjadi tugas Saparuddin Pabonglean mendnegar keluhan orang tua siswa. Apalagi saat ini ia dipercaya mewakili masyarakat duduk di DPRD Kutai Kartanegara (Kukar). Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mendorong pemerintah membuka belajar tatap muka dengan memerhatikan situasi pandemi. “Daerah-daerah hijau bisa dibuka dengan penerapan protokol kesehatan,” kata anggota Komisi IV DPRD Kukar. Komisi yang membidangi masalah Pendidikan ini, seringkali menjadi pos pengaduan warga, yang ingin pembelajaran tatap muka dimulai. “Apalagi, masih banyak blank spot yang menyebabkan murid tak bisa mengakses internet,” ujar mantan guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kukar ini. Saparuddin merupakan salah satu anggota dewan yang paling vokal, menyuarakan dukungan PTM segera bergulir. Setelah beberapa kali Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, seolah memberikan lampu hijau pelaksanaannya di zona-zona hijau. Tentu dengan berbagai pertimbangan penting. Salah satunya lonjakan kasus COVID-19 di Kukar jauh menurun signifikan. Meskipun jika dibandingkan dengan daerah tetangga. Terlebih kelompok yang dianggap rentan penularan COVID-19, yaitu tenaga guru di Kukar yang sudah 80 persen divaksinasi. Ia menyebut itu menjadi faktor penting bisa dilaksanakannya kegiatan PTM. Maka penuntasan vaksinasi hingga 100 persen, wajib hukumnya. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berharap peserta didik lebih banyak berkegiatan di rumah ketika pemerintah menerapkan pembelajaran secara daring. Tidak sepenuhnya terjadi seperti yang diharapkan ungkapnya. Cenderung malah tidak bisa dikendalikan, berdasarkan pengakuan orang tua. Dan dirinya yang senantiasa memantau di lapangan. "Kalau di sekolah bisa dikendalikan, terpenting protokol kesehatannya dipertegas, ada simulasinya, dinas pendidikan juga mengakui sudah menyiapkan," ujar pria berusia 51 tahun ini. Berbicara siap tidaknya sistem pendidikan di Indonesia yang beralih ke sistem daring. Dianggap Saparuddin belum siap sama sekali. Kualitas mutu pendidikan yang masih rendah, sehingga PTM segera digulirkan menjadi salah satu jalan keluarnya. Karena tidak ada namanya tawar-menawar dalam pendidikan. Terlalu berani mempertaruhkan masa depan bangsa, meskipun masalah kesehatan tetap dikedepankan. "Tapi ya ini pandangan saya, karena otoritas milik pemerintah. Semoga menjadi pertimbangan Pemerintah untuk melaksanakan PTM," lanjut Saparuddin lagi. Pembelajaran secara daring, kata Saparuddin, banyak kekurangannya. “Motivasi belajar si anak tidak bisa dipantau langsung oleh pengajar. Ditambah pendalaman materi pelajaran yang tentunya sangat terbatas,” imbuhnya. Akibat paling parah, yakni penanaman karakteristik kepada anak yang seharusnya diterima di bangku sekolahan, seperti nilai kejujuran yang ditumbuhkan pada peserta didik. "Akibatnya orang tua mengeluh kalang kabut, mayoritas menghendaki segera dilakukan PTM," ungkapnya. Dengan berbagai pertimbangan itu, Saparuddin menilai PTM layak diberlakukan di Kukar. *MRF/YOSCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: