Guru Muhammadiyah Tolak Rencana PPN Sektor Pendidikan

Guru Muhammadiyah Tolak Rencana PPN Sektor Pendidikan

Rencana pemerintah pusat memungut pajak pertambahan nilai (PPN) di sektor pendidikan menuai kontroversi. Salah satunya dari Forum Guru Muhammadiyah (FGM). Aturan itu dinilai tak sesuai amanat konstitusi.

nomorsatukaltim.com - Isu ini menyeruak usai draf Rencana Undang-Undang (RUU) revisi UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan bocor ke publik. Dalam RUU yang diinisiasi pemerintah dan akan dibahas di DPR RI, sektor jasa pendidikan bakal dihapus dari jasa yang tidak kena PPN. Penolakan di kalangan masyarakat, terutama pendidik makin meluas. Ketua Pimpinan Daerah (PD) FGM Bontang, Rahmad Budiono mengatakan, penerapan RUU tersebut akan bertabrakan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31, bahwa seluruh warga Indonesia berhak memiliki atau mendapatkan layanan pendidikan. “Mestinya pendidikan ini difasilitasi atau mendapat pelayanan secara penuh dari pemerintah,” ujarnya, Selasa (15/6/2021). Namun, lanjut Rahmad, ada masyarakat atau sektor swasta yang membantu penyelenggaraan pendidikan. Hal itu juga berdasarkan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Karena ada masyarakat atau swasta yang turut membantu pemerintah dalam sektor pendidikan, diduga jadi alasan kuat pemerintah berpikir bisa menarik pajak. “Ini yang jadi beban kepada masyarakat, atau kepada rakyat akan bertambah. Di sisi lain ada pemerintah membebaskan pajak untuk barang mewah. Ini melukai hati rakyat,” kata Kepala Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 2 Bontang ini. Untuk itulah, FGM menyatakan rencana penarikan PPN di sektor pendidikan justru tidak memberikan manfaat, namun merugikan masyarakat. Sebab, jasa pendidikan adalah nirlaba. “RUU ini perlu ditinjau ulang oleh pemerintah atau dibatalkan,” pungkasnya. Sebelumnya, Pimpinan Pusat (PP) Forum Guru Muhammadiyah, resmi meminta pemerintah untuk membatalkan pembahasan draf tersebut. Kata Ketua Umum PP FGM, Pahri menyebut, rencana penerapan PPN di sektor pendidikan, kontraproduktif dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, terlebih di masa pandemi. “Di daerah-daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal), pendidikan masih tertatih-tatih dalam menghadapi berbagai keterbatasan, kendala dan tantangan, bahkan di antaranya belum tersentuh layanan pendidikan oleh pemerintah,” ujarnya dalam rilis yang diterima media ini. Dampak yang dihasilkan dengan penerapan PPN di sektor pendidikan ini, menurut Pahri begitu besar. Di antaranya beban operasional sekolah yang makin tinggi, kesejahteraan guru yang menurun, pengadaan sarana pendidikan semakin rendah, beban wali siswa semakin berat, dan jumlah siswa putus sekolah semakin banyak. “Pada akhirnya, pemerintah akan sulit memenuhi amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” tandasnya. Pemerintah, kata Pahri sebaiknya fokus pada upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, dengan meningkatkan dan memanfaatkan secara optimal dana pendidikan sebesar 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Bukan malah sebaliknya membuat kebijakan baru dengan melakukan pungutan PPN di sektor jasa pendidikan, yang pada akhirnya akan membebani masyarakat yang anaknya sedang dan atau akan bersekolah,” pungkasnya. (zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: