Premier League Adalah ‘ESL’ di Masa Lampau
Orisinalitas adalah ilusi. Tak ada yang asli. Konsep intertekstual serupa, ternyata relevan pada kasus wacana Liga Super yang dicetuskan Florentino Perez dan kolega. ESL disebut sebagai gebrakan besar dalam hal komersialisasi sepak bola. Tapi dua dekade lalu, konsep ini telah digagas. Bahkan berhasil diaplikasikan pada sebuah liga, yang memang jadi Liga Super. Bernama … Premier League.
TAHU kenapa di era 90-an Serie A begitu terkenal? Bahkan gemanya sangat luar biasa di Tanah Air. Apa itu Manchester United, Liverpool, Arsenal? Pecinta bola di era itu lebih kenal Lazio, Parma, dan Sampdoria.
Sebabnya adalah karena Liga Inggris yang kala itu bertajuk First Division sangat minim gebrakan. Jangankan bicara kemasifan siaran sepak bola di negeri penemunya itu. Tim-tim Liga Inggris cenderung sibuk dalam kerumitan diri sendiri.
Setelah mengenyam sukses besar di era 1970-1980. Liga Inggris malah jatuh di titik terendahnya. Minimnya pendapatan klub, penonton sepi, fasilitas stadion yang tak terawat, bahkan kondisi lapangan yang tidak memadai, hingga kerusuhan suporter yang kerap terjadi. Sepak bola Inggris kala itu, bukan olahraga yang ramah buat anak-anak, remaja, dan wanita.
Bahkan pemain-pemain top Inggris macam Ian Rush, Graeme Souness, Ray Wilkins, Trevor Francis, Des Walker, dan David Platt. Memilih karier di luar negeri.
Puncaknya adalah pada tragedi Heysel (1985). Yang membuat UEFA melarang klub Inggris bertanding di kompetisi Eropa. Makin hancur klub-klub Inggris saat itu.
Lalu di tengah segala kerumitan itu. Ide-ide revolusional muncul. Dan layaknya dalam penjajahan suatu bangsa. Kaum ningrat yang berpunya dan berpendidikan bakal mengisiasi gerakan perubahan. Dalam kasus The Football League First Division –Divisi Pertama. Pemberontakan itu dipimpin oleh tim-tim besar.
Yang pertama kali memicu amarah tim-tim besar adalah; ya apalagi kalau bukan uang. Pada perjanjian dengan televisi di tahun 1986, The Football League (operator liga) mendapat 6,3 juta paun. Tahun segitu, duit sebesar itu nilainya besar sekali, hanya mengingatkan.
Perjanjian yang kadaluarsa dalam 2 tahun itu, kemudian meningkat pada 1988. Total yang didapat The Football League adalah 44 juta paun. Tapi yang terjadi adalah, pembagian hak siar pada klub teramat kecil. Dan cenderung tidak adil. Hanya menguntungkan operator liga dan federasi saja.
Sampai akhirnya, di tahun itu. 10 klub besar sampai di titik muak yang teramat. Dan menginisiasi pembuatan Liga Super. Mereka ingin memisahkan diri dari Divisi Pertama. Mereka adalah Liverpool, Everton, Manchester United, Tottenham Hotspur, Arsenal, West Ham United, Nottingham Forest, Aston Villa, Sheffield Wednesday, dan Newcastle United. Berbekal kesepakatan senilai 32 juta paun dengan ITV.
Jika Anda membaca serial tulisan ini di bagian ketiga. Soal bagaimana UEFA membajak 6 klub Inggris untuk keluar dari ESL. Karena mereka adalah kunci dari penjualan ESL. Yang juga kunci dari komersialisasi sepak bola di bawah kendali UEFA.
Hal sama dilakukan The Football League dan FA kala itu. Mereka membujuk kesepuluh klub tersebut. Agar bertahan di Divisi Pertama. Kehilangan 10 klub itu tentu adalah kerugian bagi Divisi Pertama.
Situasinya saat itu, FA dan The Football League sedang sangat mesra. Sangat kompak. Termasuk kompak dalam menguntit uang hak siar klub. Ditambah, upaya pembujukan oleh kesepuluh klub tersebut pada klub Divisi Pertama lainnya mandek. Karena tim-tim kecil The Football League masih begitu percaya pada operator liga dan federasi. Situasi yang tentu sangat wajar.
Wacana Liga Super kala itu, sama halnya dengan Liga Super belakangan ini. Gagal total. Mereka tak mendapat dukungan dari mayoritas klub dan pemain. Dan terpaksa kembali ke pangkuan The Football League dan FA.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: