Perjalanan Kubar-Mahulu melalui Jalur Darat (2): Hanyeq Gat dan Tower tanpa Sinyal
Hanyeq Gat orang yang tepat. Ia paham betul seluk-beluk jalanan Kubar-Mahulu via darat. Hanyeq sudah menggeluti jasa transportasi di daerah itu sejak Mahakam Ulu “merdeka” menjadi kabupaten sendiri. 2013 silam.
nomorsatukaltim.com - Sebelum itu, Hanyeq mengaku bergelut di bisnis kayu. “Saya dulu menebang kayu,” ujarnya singkat. Wilayah tengah Kalimantan Timur (Kaltim) memang dulu surganya bisnis kayu. Yang legal maupun tidak. Sungai menjadi transportasi utama melarungkan kayu dari hulu menuju hilir. Hingga sekarang rakit-rakit pengangkut kayu masih terlihat tambat di beberapa sungai di kawasan Kubar – Mahulu. Menurut Hanyeq, selain berkebun, dulu penghasilan warga Kubar banyak dari pohon karet. Namun kini karet nampaknya sudah tidak menggiurkan lagi. Utamanya karena harga jualnya yang merosot. Tidak sebanding dengan usaha mengumpulkan tetes demi tetes getah karet dari pohonnya. Baca juga: Perjalanan Kubar-Mahulu melalui Jalur Darat (1): Kemunculan PU Swasta hingga Wacana Tol Kubar-IKN “Tapi itu akibat ulah warga sendiri,” kata Hanyeq. Menurutnya, banyak petani karet nakal. Mencampur getah karet dengan pasir dan batu. Sehingga ketika masuk timbangan, bobotnya lebih berat dan dapat angka penjualan yang bagus. Perusahaan pun akhirnya bersikap. Menghargai hasil karet petani dengan nilai murah. Mereka harus bekerja ekstra lagi memisahkan karet dengan pasir dan batu. Karena tidak terlalu menguntungkan, warga pun banyak yang beralih usaha. Pelan-pelan mulai menebangi pohon karetnya itu. Kalau tak dijual, ya dibuat untuk berladang. *** Rabu (7/4/2021) pukul 08.00 Wita, Hanyeq sudah siap di parkiran Hotel Prima, Barong Tongkok, tempat tim Goodtime Jalan-Jalan menginap. Ia membawa Strada Triton miliknya. Hanya kendaraan jenis double cabin yang bisa leluasa melintasi jalanan Kubar ke Mahulu via darat. Toyota Innova Harian Disway Kaltim dititipkan ke personel Polres Kubar, Asyur. Kebetulan sudah kenal lama. Asyur dulu pernah bertugas di Inafis Polres Kukar. Sekarang ia sudah sekitar lima tahun bertugas di Inafis Polres Kubar. Dan kebetulan lagi, rumahnya dekat dengan hotel tempat kami menginap. Beda gang. Sekitar 300 meteran jaraknya. Semua barang bawaan diletakkan di bak belakang mobil double cabin. Setelah terkumpul, Hanyeq menutupnya dengan terpal biru. Kemudian diikat kuat-kuat. Itu sebagai langkah antisipasi jika kondisinya hujan dan barang bawaan terjatuh. Mengingat melalui medan semi off road. Cuaca pagi itu memang tampak cerah. Matahari terang tanpa halangan. “Cuaca bagus, kita bisa sampai 6 – 7 jam-an,” kata Hanyeq. Wow, lama juga ya. Kalau hujan bisa berapa jam? “Wah, kalau itu bisa 7 hingga 8 jam,” ujarnya lagi. Lamanya jarak tempuh lantaran masih banyak jalan berupa tanah. Kalau hujan akan membentuk kubangan yang sulit dilalui. Jadi, cepat dan lambatnya perjalanan dipengaruhi faktor cuaca. Tim pun memulai perjalanan menuju Kecamatan Tering dan dilanjut ke arah Kelian Luar, Kecamatan Long Iram. Namun sebelum itu, berhenti dulu untuk sarapan nasi kuning di Kecamatan Tering. Baru pada pukul 08.30 Wita, tim memulai perjalanan dari Kecamatan Tering itu menju Mahulu. Tapi tiba-tiba Hanyeq menghentikan laju kendaraan. Setelah sekitar 10 menit berjalan. Masih di Kecamatan Tering. Ia keluar menju sebuah warung. Tak berapa lama, masuk mobil lagi. Ia membawa 4 bungkus rokok dengan berbagai merek. “Ini titipan orang di pos penjagaan,” katanya. Melalui jalur darat ini memang hanya satu pos penjagaan saja. Sementara jika lewat sungai ada 3 pos penjagaan. Di Tering kondisi jalan masih beraspal. Kondisinya sebagian besar baik. Nah, masuk Kecamatan Long Iram jalanan mulai berpasir dan berbatu. Sebagian berlubang dan kondisinya masih tanah. Namun ada yang sudah bersemen dan beraspal. Cuma jaraknya tidak terlalu jauh. Paling 1 hingga 2 kilometer. Itu yang membuat heran Hanyeq. Kenapa pembangunan jalan tidak berurutan. Ada di tengah, di hulu dan hilir. Menurutnya harusnya bisa berurutan dari hilir menuju hulu. Karena jauh lebih memudahkan angkutan materialnya. “Apalagi kalau dibangun dari hulu, kan biayanya mahal karena harus lewat sungai”. Benar juga. Karena rata-rata material pembangunan jalan dibeli dari hilir. Dari Kubar atau bahkan Samarinda. Kalau harus ke hulu dulu pasti memakan biaya lebih besar. Selain itu proses pengerjaannya juga lebih sulit. Karena harus melintasi medan berat. Membangun jalan perintis dari Kubar ke Mahulu ini bukan perkara mudah. Konturnya yang berbukit dan banyaknya sungai-sungai kecil tak jarang membuat kontraktor jalan angkat tangan. Tidak bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Ujung-ujungnya, terpaksa harus melibatkan TNI. Yang berani siang-malam mengerjakan jalan perintis itu. Kadang mereka harus memangkas gunung karena terlalu tinggi tanjakannya. Termasuk membuat jembatan bailey—jembatan rangka baja yang bersifat portable. Bisa dipindah-pindah. Sepanjang perjalanan banyak jembatan bailey yang melintasi sungai-sungai kecil hingga yang agak besar. Hanya ada satu jembatan permanen yang dilintasi. Itu pun sudah masuk wilayah Mahulu. Tepatnya di kawasan Long Laham. Atau sudah masuk Long bagun, Mahakam Ulu. [embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=OBlimpbvQXE[/embedyt] Menurut Hayeq, jalanan yang dilintasi menuju Kubar-Mahulu adalah bekas jalan perusahaan kayu. Sepotong-sepotong tapi akhirnya saling terhubung. “Kita harusnya berterima kasih pada perusahaan kayu. Kalau enggak ada jalan perusahaan kayu, enggak mungkin ada jalan ini”. Sampai di Kampung Kelian Dalam, masih Kecamatan Tering, Kutai Barat, tim Goodtimes Jalan-Jalan berhenti sejenak. Itu sekitar pukul 09.30 Wita. Setelah 1 jam lebih perjalanan. Hanyeq menunjukkan sisa-sisa peninggalan tambang emas PT. Kelian Equatorial Mining (KEM)—milik Rio Tinto Group. Sekarang masih dimanfaatkan warga untuk mencari serpihan emas. Tepatnya di Sungai Babi. Namun ketika kami melintas tidak terlihat ada aktivitas warga di sana. Kami pun terus melanjutkan perjalanan. Sambil mendengarkan Hanyeq cerita. Mulai soal jalan, lahan hingga siapa-siapa saja pemiliknya. Ia hafal banyak. Bahkan, sebagian masih milik suadaranya. Tak jarang ia melambatkan laju kendaraan, jika melintasi rumah di tengah ladang. Tid, tid.. ia bunyikan klaksonnya, kemudian melambaikan tangan kepada seseorang di pekarangan rumah tersebut. “Itu lahan saudara saya. Yang tadi itu penjaga ladang. Kalau saya kelelahan saya mampir. Ya tidur-tiduran dulu,” jelasnya. Di sepanjang jalur tersebut, jarak antara bangunan bukan lagi hitungan meter. Tapi kilometer. Itu pun sudah digabung dengan bangunan sarang burung walet yang berada di sepanjang jalan itu. Sisanya hutan, ladang, perbukitan, sungai atau perkebunan yang dikelola perusahaan. Hanyeq pun menyebutkan beberapa perusahaan pemilik perkebunan yang dilalui kendaraan. Ini milik PT A. Yang ini milik PT B. Hafal. Kendati beberapa plang penanda sudah terhalang belukar atau hilang sama sekali. Tiba di jalanan sedikit menurun, sebelum masuk Kecamatan Long Hubung—perbatasan wilayah Kubar-Mahulu. Sebelah kanan jalan adalah tanah perkebunan yang dikelola perusahaan. Sementara di sebelah kiri tampak bukaan lahan dan rumah panggung. “Nah itu lahan iparnya Wabup Mahulu, Pak Avun,” kata Hanyeq, menunjuk lokasi rumah panggung dan ladang itu. “Oh, saya kenal Om Shangiang. Tetangga saya di Samarinda. Rumahnya berseberangan,” kata Bayu, tim Goodtime Jalan-Jalan. “Oh ya.. Itu kayaknya ada orangnya. Mobilnya ada di situ,” seru Hanyeq, menunjuk mobil jenis double cabin berwarna hitam. “Mana? Oh iya, itu. Ayuk mampir dulu,” ajak Bayu. Mobil belum berhenti sempurna, Bayu sudah loncat keluar. Berlari menuju pekarangan rumah itu. Jalanan masih berupa tanah yang jika diinjak menempel lengket di alas kaki. Konturnya menanjak menuju pekarangan rumah itu. Bayu pun tampak ngos-ngosan bernapas. Melihat itu, Hanyeq berseloroh begini; “Biar saja, biar capek dia, padahal mobil kita bisa masuk,” ujarnya. Mampir sekitar 15 menit. Rupanya Shangiang baru saja panen padi gunung di sekitar pekarangan rumah kayu itu. Ia punya rumah di Kutai Barat dan di Samarinda. Tapi, akhir-akhir ini lebih banyak tinggal di Kubar. Yang di Samarinda masih ditinggali anak-anak dan keponakannya. “Kalau mau makan, mampir di workshop ya,” katanya ke arah Hanyeq. “Iya, tapi ini sepertinya mau hujan. Sudah hujan di belakang. Kita dikejar hujan,” jelas Hanyeq sambil melihat langit di bagian hilir yang sudah mulai menghitam. Hanyeq pun segera mengajak tim untuk lekas naik ke kendaraan. Kami pun paham, dan segera menuruti permintaannya. Tak jauh dari rumah Shangiang. Terdapat kendaraan alat berat. Dan bangunan rumah. “Itu workshopnya,” ujar Hanyeq, sambil menunjuk lokasi yang dimaksud. Pukul 10.30 Wita kami tiba di perbatasan antara Kutai Barat dan Mahakam Ulu. Perbatasan itu ditandai tugu ukiran kayu ulin. Tapal batas tersebut sudah masuk wilayah Mahulu, yaitu Kampung Mamahak Teboq, Kecamatan Long Hubung. Di sebelah tugu itu, berkisar 20 langkah terdapat tower provider telekomunikasi. Hanyeq menyebut tower aneh. Masa dekat tower telekomunikasi enggak ada sinyal. Kami pun coba berjalan mendekati tower tersebut dan membuka handphone. Ternyata benar. Tertulis no signal. Sambil melanjutkan perjalanan, kami pun berdiskusi soal tower itu. Pertanyaan muncul. Buat apa dibangun tower jika tidak ada fungsinya? Ari Pangalis—tim Goodtime Jalan-Jalan berpendapat, sepertinya tower itu belum difungsikan memang, karena belum ada listriknya. Hmm…mungkin saja. Ternyata setelah ditelusuri, tower tersebut milik PT Telkom. Tertulis disitu repeater-- suatu alat atau perangkat yang mempunyai fungsi untuk menyebarkan jangkauan sinyal. Ini memang bukan tower provider sim card. Atau telepon cellular. Artinya memang tidak menyebarkan sinyal handphone seperti 3G atau 4G. Dugaan kami, tower ini untuk meneruskan sinyal agar bisa diterima dengan baik ke daerah tertentu. Misalnya Mahulu. Hal itu diperlukan karena sinyal mengalami perubahan bentuk dan melemah selama transmisi. Nah, tower itu fungsinya untuk memperkuat sinyal agar bisa diterima di daerah tertentu. (*/bersambung 3)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: