“Sudah Banyak yang Mudik”
Di tengah hujan kritik akibat kebijakan yang tak konsisten, pemerintah melarang mudik. Masyarakat dilarang bepergian selama periode 6-17 Mei 2021. Bukan berarti pintu mudik telah tertutup.
nomorsatukaltim.com - Sejak pernyataan ‘mudik’ berbeda dengan ‘pulang kampung’ yang popular itu, masyarakat semakin cerdas. Misalnya ini: mudik di luar tanggal yang sudah ditetapkan pemerintah. Gejala ini sudah dibaca Gubernur Isran Noor Saat menjadi pembicara pada acara Virtual Banking dan Qris Expo 2021, Rabu (14/4/2021). “Mudik itu (masyarakat anggap) bukan mudik lebaran. Sekarang yang mudik lebaran (berangkat) sebelum lebaran tanggal 6 -17 Mei,” katanya. Menurut Isran Noor sudah banyak mayarakat sudah mudik duluan. Untuk menyiasati pemberlakuan larangan itu. “Kapal-kapal dari Kaltim ke Makassar, ke Sulawesi (penuh). Tadi pagi dari Kalimantan Tengah penuh”. “Ditanya kenapa mudik sekarang. Nanti (kalau mudik) dekat hari dilarang. Bener-bener akal manusia, banyak saja.” Gubernur mengakui saat ini pemerintah dihadapkan pada situasi dilematis. “Hampir 50 persen tidak mendukung kebijakan (larangan) mudik. Nah ini menjadi tantangan,” ujarnya. Isran menyatakan kebijakan larangan mudik belum ditetapkan di Kaltim. Di sisi lain, ia mengakui jumlah kasus penularan COVID-19 terus menurun. Sementara kasus sembuh terus meningkat. Termasuk pasien dalam perawatan yang terus berkurang.PANEN KRITIK
Sejumlah pihak meminta pemerintah mencabut kebijakan larangan mudik lebaran 2021 pada 6-17 Mei 2021 mendatang. Permintaan itu seiring dengan klaim penurunan kasus virus corona (covid-19) di Indonesia, hingga anggapan kebijakan yang kontradiktif satu sama lain. Seperti Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang meminta pemerintah mencabut kebijakan itu karena penurunan kasus cukup signifikan di tanah air. Selain itu, PWNU menilai program vaksinasi Covid-19 yang dilakukan pemerintah cukup membuahkan hasil. "Artinya vaksin berhasil, corona mendekati zero, hendaknya (larangan mudik) dicabut karena sudah setahun lalu tidak mudik," kata Khatib Syuriah PWNU Jatim Safruddin Syarif dikutip dari CNN Indonesia. Dengan kondisi itu, Safruddin menilai tidak ada lagi alasan pemerintah untuk tetap melarang warga mudik tahun ini. Mudik, kata dia, merupakan ajang silaturahmi yang hukumnya wajib dan sunnah. Namun di saat yang sama manusia juga wajib menjaga kehidupan dirinya dan sesama. "Nah itu yang sulit dipahami oleh masyarakat. Intinya bagaimana kita menjalankan aturan pemerintah," katanya. Sementara, Relawan Peduli Pencegahan COVID-19 Tirta Mandira Hudhi atau lebih akrab disapa dokter Tirta meminta pemerintah merevisi kebijakan larangan mudik karena kontradiktif dengan kebijakan pemerintah mengizinkan salat tarawih dan Idulfitri di masjid. Selain itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno juga mulai membuka keran pariwisata pada April ini. "Melarang mudik jadinya terkesan tidak kompak dan kebijakan yang tabrakan. Saran saya, kebijakan larangan mudik harus direvisi," kata Tirta melalui caption video yang diunggah melalui akun instagram @dr.tirta. Tirta mengatakan, bila kebijakan larangan mudik tetap berlaku, maka dipastikan akan muncul kebingungan dan asumsi liar di masyarakat. Ia juga menilai bahwa larangan mudik tidak lagi efektif, sebab masyarakat masih bisa mudik menggunakan jalur darat seperti misalnya touring motor. Hal serupa disampaikan Ketua DPR RI Puan Maharani yang menyebut banyak warga bertanya-tanya tentang larangan mudik. Pasalnya, tempat pariwisata tetap diizinkan dibuka. Puan meminta pemerintah konsisten pada kebijakan yang diambil terkait pengendalian mobilitas warga. Ia meminta pemerintah mematangkan kebijakan terkait mudik, ibadah bulan ramadan, hingga tempat wisata demi mencegah penularan COVID-19. "Tidak boleh ada lagi kebijakan yang membingungkan masyarakat. Siapkan mekanismenya, sumber daya manusianya, supaya penerapan dan pengawasan di lapangan konsisten," ujar Puan. Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengungkapkan empat alasan Pertama, kasus penularan COVID-19 melonjak pada libur Natal 2020 lalu. Kedua, lonjakan kasus kembali terjadi pada Januari dan Februari 2021. Ketiga, penduduk lanjut usia (lansia) berisiko tinggi sehingga harus diberikan perlindungan. Keempat, terjadi lonjakan kasus di beberapa negara maju. Untuk itu, pemerintah mengantisipasi kenaikan kasus penularan dengan melarang mudik pada momen Lebaran tahun ini. Budi mengatakan pihaknya akan membatasi jumlah operasi kereta pada mudik Lebaran 2021 ini. Selain membatasi jumlah operasi kereta api, Budi juga akan melakukan pembatasan arus transportasi dengan penyekatan di 300 lokasi. Selain larangan mudik, pemerintah juga melarang warga liburan ke luar kota selama periode larangan tersebut. Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melanggar larangan cuti dan mudik Lebaran 2021 juga terancam sanksi berupa hukuman disiplin mulai dari teguran hingga pemecatan.TANGGAPAN MASKAPAI
Maskapai penerbangan PT Citilink Indonesia membantah informasi yang beredar bahwa perusahaan melakukan pemberhentian sementara seluruh penerbangan domestik pada periode larangan mudik, 6-17 Mei 2021. VP Corporate Secretary & CSR PT Citilink Indonesia Resty Kusandarina memastikan pada periode tersebut maskapai masih beroperasi. "Sehubungan dengan adanya informasi yang beredar mengenai pemberhentian sementara seluruh penerbangan domestik Citilink pada periode 6-17 Mei 2021, dapat kami informasikan bahwa saat ini penerbangan Citilink pada periode tersebut masih beroperasi," jelasnya lewat rilis, Senin (12/4/2021). Terkait dengan larangan mudik yang dikeluarkan oleh pemerintah pada periode tersebut, anak usaha PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk ini menyatakan dukungannya akan kebijakan itu. Citilink, lanjut dia, akan melakukan penyesuaian kapasitas penerbangan sesuai dengan permintaan yang ada sejalan dengan komitmen perusahaan untuk memastikan pemenuhan kebutuhan layanan transportasi udara. Bagi masyarakat yang akan melakukan penerbangan pada 6-17 Mei, Resty mengingatkan penumpang harus memenuhi kriteria yang ditetapkan pemerintah. Salah satunya, hanya pihak yang mengantongi surat izin resmi dari instansi terkait yang boleh melakukan perjalanan selama periode larangan mudik. Sebelumnya, pada 10 April lalu, perusahaan sempat menerbitkan Surat Edaran CITILINK/CGKCT‐194/21 berisi pemberhentian sementara seluruh penerbangan domestik dari 6-17 Mei 2021. Dalam surat edaran itu, tercatat sebanyak 126 penerbangan disebut bakal diberhentikan. Namun, selang 2 hari, perusahaan mencabut surat tersebut dengan menerbitkan Surat Edaran CITILINK/CGKCT‐195/21 perihal pembatalan pemberhentian sementara.MENYUSAHKAN
Epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, menilai pemerintah tidak menggunakan pengalaman dan data mengenai larangan mudik tahun lalu dalam membuat kebijakan kali ini. Pada tahun 2020 pemerintah, katanya, juga melarang mudik lebaran tapi angka positif COVID-19 naik. Jika berkaca pada kejadian itu, semestinya pemerintah tak mengambil langkah serupa yang menurutnya "tidak memberi daya ungkit" terhadap upaya pengendalian COVID-19. "Sudah ratusan kebijakan pemerintah terkait pengendalian pandemi, ada yang mengukur implementasi dan evaluasinya? Apakah kebijakan itu memberi daya ungkit pengendalian? Kalau tidak, kenapa terus menyusahkan masyarakat?" kata Masdalina Pane kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (11/04/2021). Bagi Masdalina, kebijakan larangan mudik lebaran takkan bisa mencegah warga untuk tidak pulang ke kampung halaman. Mereka bisa saja mudik sebelum tanggal yang ditetapkan pemerintah, imbuhnya. Larangan itu pun, kata dia, akan menjadi percuma jika di sisi lain pemerintah membolehkan tempat pariwisata beroperasi. Sementara itu, tidak ada kemauan kuat dari pemerintah pusat maupun daerah untuk melakukan 3T yakni pengetesan, pelacakan, dan perawatan. "Mudiknya aman, tapi perilaku di tempat mudik itu yang bisa menyebabkan penyebaran (virus corona) banyak. Apa perilakunya? Berkunjung, reuni dengan teman lama, mencicipi kuliner di suatu tempat, itu yang kemudian menciptakan klaster-klaster baru." "Makanya yang terpenting 3T, apa itu pernah disebut pemerintah? Tidak." Pengamatan Masdalina, mayoritas kepala daerah tidak maksimal melakukan pengetesan dan pelacakan agar kasus COVID-19 di daerahnya "terlihat sedikit". Kalaupun dilakukan, tidak melaporkan kasus positif dengan angka yang sesungguhnya. (fey/cnn/bbc/yos)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: