Pengamat: Strategi Pemkot Atasi Banjir Tak Menyentuh Pokok Masalah

Pengamat: Strategi Pemkot Atasi Banjir Tak Menyentuh Pokok Masalah

 Samarinda, nomorsatukaltim.com  - Pengamat dan Akademisi Lingkungan Yohanes Budi Sulistioadi mengkritisi strategi Pemkot Samarinda mengatasi banjir. Ia menilai apa yang kini direncanakan belum menyentuh pokok masalah.

Berita terkait: Masterplan Penanganan Banjir Samarinda Berfokus pada Proyek Fisik Menurutnya, pemkot selama ini lebih banyak fokus pada perbaikan drainase. Kemudian normalisasi badan sungai utama. Lalu sekarang berencana membangun pintu air di muara Sungai Karang Mumus (SKM), optimalisasi polder-polder yang ada, serta pekerjaan-pekerjaan yang bersifat fisik lainnya. Padahal dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Samarinda yang tengah disusun. Ia melihat biang masalah. Adalah kurangnya area kawasan lindung. Yang seyogianya memiki fungsi resapan. "Saya kira statement saya tidak akan berubah. Intinya saya sudah mengusulkan, penetapan kawasan lindung yang lebih banyak, " kata Budi sapaannya, kemarin. Budi adalah bagian dari tim penyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk RTRW Kota Samarinda. Yang diajukan revisi sejak 2019. Dan kini masih terus melakukan penyempurnaan. "Saya membantu DLH untuk menyusun KLHS itu. Dari KLHS itu, kita menyimpulkan masalah terbesar dan isu yang paling penting di Samarinda, yaitu banjir. Yang saya pikir bisa diamini oleh semua orang," tambahnya. Dalam kapasitasnya menganalisis, Budi menemukan bahwa menurut peraturan perundangan yang ada, daerah yang rentan banjir perlu melindungi kawasan-kawasan yang melindungi kawasan di bawahnya. "Sebutannya begitu kalau di UU Penataan Ruang," kata Budi. Yakni berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 32 Tahun 2010. Kemudian UU Penataan Ruang hingga peraturan teknis penataan ruang dalam Permen ATR/BPN No. 1 Tahun 2018. Yang pada dasarnya telah direvisi setelah pemerintahan memberlakukan UU Cipta Kerja. Namun menurut Budi, peraturan pemerintah (PP) yang menggantikan Permen ATR/BPN, yang mengatur kriteria penentuan kawasan lindung belum mengalami perubahan dalam beleid terbaru. Berdasarkan kajian tim KLHS RTRW terhadap akses draft pola ruang, menemukan beberapa hal yang memang belum cukup digenjot oleh pemkot. Yaitu menetapkan kawasan lindung. "Kenapa harus ada dan tegas pada kawasan lindung, karena dengan isu utama banjir, maka sangat penting dan mendesak untuk kita mengurangi jumlah air yang masuk ke badan sungai," ucapnya. Tetapi, berdasarkan perhitungan pengamat lingkungan Krisdiyanto, bahwa SKM ditambah sungai-sungai lain di Kota Tepian ini, belum cukup mampu menampung semua air yang tidak meresap ke dalam tanah. Sebab berbicara banjir adalah tentang curah hujan, kawasan dan kemampuan resapan air, dan jumlah air yang masuk ke dalam sungai. Kembali ke Budi, prinsip utama pengendalian banjir menurutnya bukan memperbesar badan air atau sungai. Sebab pekerjaan itu memiliki tingkat kesulitan dan biaya yang besar. Yang semestinya dilakukaan adalah menahan air sebelum masuk ke badan sungai. “Dan itu bukan di hilir, tapi di hulu,” cetus Budi. Sayangnya gagasan itu tidak menjadi konsen dan prioritas pemkot. Dan malah lebih banyak memprioritaskan pembangunan fisik di hilir. "Kenapa selalu bicaranya lebih banyak di hilir. Ya karena secara kasat mata itu yang bisa dilihat. Punya uang sekian, dibelanjakan untuk menjadi drainase kan jelas hasilnya. Ada drainasenya," ungkapanya. Sementara aspek lain yang tidak dilakukan yaitu menahan laju air di hulu. Padahal areal hulu-hulu sungai sudah cukup banyak pembukaan lahan. Sehingga air limpasan jadi semakin besar, makin banyak yang tidak terserap tanah. Apalagi dengan maraknya pembangunan perumahan. "Yang notabene bakal jadi aspal, atap, semen cor yang semuanya tidak bisa meresapkan air, makanya kami jadi sangat konsen, makanya kita coba mengusulkan penetapan kawasan resapan air yang memang belum ada dalam pengaturan ruang sebelumnya," pungkasnya. (das/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: