Cara BPN Samarinda Selesaikan Kasus Sengketa Tanah

Cara BPN Samarinda Selesaikan Kasus Sengketa Tanah

Potensi sengketa tanah terbilang besar. Apalagi jika tak memiliki bukti kuat berupa sertifikat. Seperti konflik di Handil Bakti, Palaran, yang berujung pada korban jiwa.

nomorsatukaltim.com - Konflik tanah tersebut turut jadi perhatian Badan Pertanahan Nasional (BPN) Samarinda. Agar menemukan solusi, perlu penelitian mendalam yang dilakukan pihaknya. Hal itu disampaikan Kepala Kantor Pertanahan Samarinda, Budi Tarigan. "Pertama tentunya kita meneliti dulu pokok permasalahannya antara para pihak, akar permasalahannya, dan bukti-bukti para pihak gimana, kemudian status tanahnya bagaimana," ucap Budi, Selasa (13/4/2021). Budi sudah memberi catatan di awal wawancara. Permasalahan yang dapat diselesaikan pihaknya adalah bidang tanah yang sudah terdaftar atau sudah bersertifikat. Tanah itu yang kemudian dipersengketakan oleh para pihak. “Dari hasil itu (penelitian) kita melihat, apakah kewenangan penyelesaian ada pada kita (BPN) atau tidak,” ujarnya. Sebab, lanjut Budi, tak semua penyelesaian sengketa tanah dapat ditangani oleh BPN. Dapat melalui instansi lain yang berwenang. Namun jika BPN mempunyai wewenang dalam sengketa ini, Budi menyebut punya cara tersendiri. "Jadi mereka kita pertemukan dan upayakan untuk dapat menyelesaikan secara musyawarah. Nanti hasilnya akan kita tuangkan dalam Berita Acara Penyelesaian (BAP)," jelasnya. Hasil BAP ini kemudian akan ditindaklanjuti dengan kesepakatan para pihak. Namun jika tidak mencapai kata mufakat dalam musyawarah, BPN, kata Budi akan menyarankan kepada para pihak yang bersengketa untuk menempuh jalur hukum. “Tinggal kita menunggu hasil putusan dari instansi penegak hukum secara pidana, perdata, ataupun secara tata usaha negara. Penyelesaiannya mengacu pada itu,” tandasnya. Di Samarinda sendiri, sebanyak 214 kasus tanah terjadi sepanjang lima tahun terakhir. Kasus tersebut terdiri atas sengketa tanah, konflik, dan perkara tanah. Khusus di 2020 sendiri, ada empat kasus sengketa, dan 22 perkara tanah. Sementara itu nihil konflik tanah. (Selengkapnya lihat grafis) Terkait tanah yang disengketakan kemudian diklaim pihak lain, lanjut Budi, perlu dilihat dulu status tanah tersebut apakah sudah bersertifikat atau belum. Jika tanah itu bersertifikat dan klaim pihak lain itu beralasan, BPN dapat memblokir sertifikat tersebut dengan status quo. Dalam ketentuan perundang-undangan, status quo berlaku selama 30 hari. "Dalam masa blokir atau quo tersebut tidak ditindaklanjuti dengan gugatan, tentu statusnya gugur secara hukum. Namun jika ditindaklanjuti, maka kembali kita catat lagi bahwa sertifikat itu jadi objek perkara di pengadilan," ungkapnya. Namun dalam aturan turunan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, catatan objek perkara dihapus jika dalam jangka waktu 30 hari tidak ditindaklanjuti dengan sita atau penetapan status quo oleh hakim yang mengadili perkara. "Seperti (sengketa tanah) yang di Palaran sebenarnya bukan ranah kita, mungkin masih di aparat hukum kepolisian," katanya. Dijelaskannya, sertifikat adalah tanda bukti hak kuat. Jadi kalau ditetapkan status quo, itu harus dari pengadilan atau sita dan juga untuk menghindari jika sembarang orang memblokir tanpa dasar. "Karena tujuan utama pendaftaran tanah itu untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah tersebut," tegasnya. (bdp/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: