Akibat Pandemi COVID-19, Kelaparan Cekik 19 Juta Orang Brasil

Akibat Pandemi COVID-19, Kelaparan Cekik 19 Juta Orang Brasil

Studi baru menemukan, sebanyak 19 juta orang Brasil telah kelaparan selama pandemi karena kerawanan pangan juga meningkat.

ANA Maria Nogueira menambahkan satu kubus bumbu rasa daging asap ke dalam panci nasi yang dididihkan di atas kompor. Di gubuk kayu tempat dia dan suaminya, Eraldo yang cacat bermukim di Jardim Keralux, lingkungan miskin di zona timur Sao Paulo. Lokasi ini mencatatkan korban tewas akibat COVID-19 sebanyak lebih dari 351.000 jiwa. Pasangan itu memiliki prioritas yang lebih mendesak. “Tahun ini kami akan kelaparan,” tutur perempuan 56 tahun itu pada Al Jazeera. Ketika krisis COVID-19 Brasil semakin parah dari minggu ke minggu dengan rekor jumlah kematian yang tinggi, rumah sakit yang padat, dan meningkatnya beban kasus, krisis lain sedang berlangsung: kelaparan dan ketidakamanan pangan. Ana dan Eraldo adalah dua dari 19 juta orang Brasil yang kelaparan selama pandemi. Sementara hampir 117 juta—lebih dari setengah populasi—hidup dengan tingkat kerawanan pangan tertentu. Tingginya pengangguran yang diperburuk oleh virus corona, pemotongan dan pengurangan program sosial, serta kenaikan harga yang tajam pada bahan makanan pokok menjadi alasan di balik masalah tersebut. “Ini adalah tragedi yang benar-benar dapat diperkirakan,” kata Renato Maluf, Presiden Jaringan Riset Keamanan Kedaulatan dan Gizi Pangan Brasil (Jaringan PENSSAN). “Tentu saja keadaan menjadi lebih buruk sejak saat itu,” kata Maluf. KOMBINASI TRAGIS Brasil dikeluarkan dari peta kelaparan dunia Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2014 setelah bertahun-tahun melakukan upaya bersama untuk mengurangi kelaparan melalui program sosial dan kebijakan publik yang berhasil. Presiden Brasil saat itu, Luiz Inacio Lula da Silva, yang sekarang tampaknya akan comeback ke dunia politik, mengatakan pada upacara pelantikan 2003, “Selama ada saudara laki-laki atau perempuan Brasil yang kelaparan, kita akan punya alasan untuk malu.” Namun pada 2015, resesi dan krisis politik melanda. Langkah-langkah penghematan diberlakukan dan pengangguran melonjak. Tiga tahun kemudian, sebelum pemilihan presiden yang akan dimenangkan oleh tokoh populis sayap kanan Jair Bolsonaro, kemiskinan dan kelaparan yang ekstrem sudah meningkatkan kewaspadaan. “Situasinya semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir,” kata Marcelo Neri, ekonom di Getulio Vargas Foundation Brasil. “Jelas kerawanan pangan telah meningkat pada 2021. ‘ Alexandre Padilha, anggota kongres dari Partai Buruh sayap kiri cum mantan menteri kesehatan, mengatakan, meningkatnya kelaparan dan kerawanan pangan mengganggu negara selama pandemi COVID-19. Karena orang-orang yang terdesak untuk mencari pekerjaan atau makanan membuat diri mereka terpapar virus. Mereka juga bisa lebih rentan tertular COVID-19. Sebab sistem kekebalan mereka melemah karena kekurangan makanan. “Itu adalah kombinasi tragis yang memperkuat tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah Brasil,” katanya kepada Al Jazeera. “Ini membahayakan generasi masa depan untuk negara kita.” HARGA MELAMBUNG Brasil adalah pengekspor makanan utama dan Sao Paulo adalah kota terkaya di Amerika Selatan. Namun, bagi warga yang tinggal di lingkungan pinggiran kota yang miskin seperti Jardim Keralux, makan tiga kali sehari bergizi semakin menjadi kemewahan yang tak terjangkau. Situasinya bahkan lebih buruk lagi di daerah pedesaan. “Orang miskin di kota bisa keluar di jalan dan meminta makanan. Orang miskin di pedesaan tidak bisa,” kata Maluf dari PENSSAN Network. Ana mengumpulkan dan menjual barang-barang yang dapat didaur ulang tiga kali seminggu. Tetapi dia beruntung jika ia menghasilkan USD 3,50 (BR$ 20) sehari. Sementara itu, beras seberat 5 kg yang saat ini harus dia makan untuk dirinya sendiri dan suaminya—dan itu merupakan sumbangan dari gereja Katolik setempat—harganya USD 4,40 (BR$ 25) di supermarket setempat. Harga bahan makanan pokok telah meroket selama pandemi, yang berdampak tidak proporsional pada orang miskin. Menurut Institut Geografi dan Statistik Brasil, dalam satu tahun, harga satu kilogram beras melonjak hampir 70 persen. Sementara kacang hitam, kentang, daging merah, susu, dan minyak kedelai naik 51, 47, 30, 20, dan 87 persen. Harga botol gas untuk memasak yang biasa digunakan di Brasil naik 20 persen dalam satu tahun terakhir. Edilson Lino Bastos, wakil presiden Keralux Institute, asosiasi lingkungan setempat berujar, dibanjiri permintaan bantuan makanan. “Permintaan selalu meningkat dan tidak pernah cukup,” katanya. Bastos mengatakan, asosiasi tersebut menerima 1.000 paket makanan dari salah satu perusahaan asuransi terbesar Brasil pada awal pandemi. Sekarang, sumbangan itu sudah mengering. “Orang Brasil yang lebih miskin mengandalkan solidaritas dan bantuan dari teman dan keluarga,” kata Neri. “Masalahnya sekarang orang lelah. Sumber daya hampir habis.” PERTOLONGAN DARURAT Hanya lima menit berjalan kaki dari gubuk kayu Ana dan Eraldo di Jardim Keralux, Danila Oliveira (27) duduk di kursi plastik di jalan tanah tak beraspal di luar rumah seorang teman, menyusui bayinya yang berusia satu bulan. Oliveira berkata, tanpa bantuan dan sumbangan, dia dan ketiga anaknya yang masih kecil akan kelaparan. “Saya harus berhenti membeli buah untuk mereka karena harga beras dan kacang-kacangan naik,” katanya. Giane Santos (29) yang tinggal di sebuah rumah beton di sebelah Ana dan Eraldo, mengatakan, sejak kehilangan pekerjaannya di restoran lokal empat bulan lalu, dia dan suaminya terpaksa melewatkan waktu makan untuk memberi makan putranya yang masih kecil. “Kami tidak makan daging merah lagi. Kami makan telur sebagai gantinya,” kata dia. Suaminya juga kehilangan pekerjaannya sebagai sopir pengiriman dan sekarang keluar setiap hari mencari pekerjaan sambilan untuk membayar tagihan, yang selanjutnya membuatnya terpapar virus corona. Dia menuturkan, pembayaran darurat antara USD 105 dan USD 210 (BR$ 600 dan BR$ 1.200) yang dibayarkan oleh pemerintah Brasil setiap bulan kepada individu dan keluarga tahun lalu, berarti keluarga tersebut tidak perlu kelaparan. Menurut data dari Getulio Vargas Foundation pada puncak bantuan darurat, pada Agustus 2020 kemiskinan ekstrem turun ke level terendah dalam sejarah. Hal ini mempengaruhi hanya 4,5 persen orang Brasil. Namun pembayarannya dikurangi secara bertahap. Kemudian dihentikan pada akhir tahun. Sekarang, proyeksi kemiskinan ekstrem Januari-Maret tahun ini adalah 12,8 persen. Minggu lalu, ketika Brasil mencapai rekor baru yang suram untuk kematian COVID-19, anggota parlemen mengeluarkan langkah bantuan darurat baru. Tetapi untuk jumlah yang lebih kecil: rata-rata hanya USD 43 (BR$ 250) rata-rata per bulan. Anggota kongres, Padilha mengatakan, anggota oposisi akan mendorong pemungutan suara di majelis rendah minggu ini untuk mengembalikan bantuan menjadi USD 105 (BR$ 600). Akan tetapi bagi Ana dan Eraldo, bahkan jika tindakan itu disahkan di Kongres, masalah makanan mereka akan terus berlanjut. Mereka berdua kehilangan semua dokumen identifikasi mereka dua minggu lalu ketika gubuk kayu mereka runtuh saat hujan lebat dan jatuh ke sungai, yang berarti mereka akan kesulitan untuk mendapatkan manfaat apa pun. Sejak itu mereka membangun kembali gubuk dan tidur bersama di atas satu kasur. Kasur ganda yang mereka miliki sebelumnya masih mengambang di sungai. “Saya tidak punya apa-apa,” kata Ana. (mmt/qn) Sumber: ‘Tikus Mati di Lumbung Padi’: Bencana Kelaparan Jutaan Orang Brasil

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: