Kata Pengamat Lingkungan soal Rencana Pemkot Tangani Banjir Samarinda

Kata Pengamat Lingkungan soal Rencana Pemkot Tangani Banjir Samarinda

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Upaya penanggulangan banjir oleh Pemkot Samarinda dinilai pengamat masih bersifat setengah-setengah. Dan mungkin lebih tepatnya, hanya akan membantu mengurangi lama genangan banjir yang kerap terjadi.

Diketahui sebelumnya, bahwa pemkot sedang menyusun rencana induk pengendalian banjir. Di antara program yang ingin dikerjakan yakni revitalisasi drainase dalam kota. Penguatan sistem rumah-rumah pompa. Serta dua proyek besar, yakni normalisasi Sungai Karang Mumus (SKM). Dan membangun pintu air di hilir sungai tersebut. Pengamat banjir dan pegiat lingkungan di Samarinda, Krisdiyanto, menanggapi bahwa wacana dan rencana tindakan tersebut bagus secara jangka pendek. Lalu bagaimana untuk jangka panjang? Menurutnya, normalisasi Sungai Karang Mumus tidak akan pernah mampu mengatasi banjir di Samarinda. Jika dari hilir atau muara SKM sampai ke Bendungan Benanga, yang sepanjang 15 kilometer, dikanalisasi. Kris menyebut, apa yang sedang dikerjakan pemerintah saat ini dalam menangani permasalahan banjir di Kota Tepian adalah wujud dari kanalisasi itu. Yakni melakukan pengerukan sedimentasi sungai dan membangun tanggul di dinding atau tepi sepanjang SKM secara bertahap. "Saya menyebut kanal karena sungai normal bukan sungai yang lurus. Dan sungai merupakan suatu ekosistem. Sementara SKM hanya berfungsi sebagai saluran buang tanpa fungsi resapan. Maka mari kita akan ganti dengan kanal Karang Mumus. Atau parit besar Karang Mumus," jelas Kris -sapaan akrab Krisdiyanto, kepada Disway Kaltim, Minggu (11/4/2021). Sejak setahun lalu, Kris sudah memperhitungkan. Kalau luas areal tergenang yang disebut sebagai ruang SKM, mencapai 2.000 hektare. Artinya, jika ketinggian air pada permukaan rerata 1 meter saja. Maka ruang SKM menampung sekitar 20 juta kubik air. Sementara jika proyek kanalisasi mengatur lebar sungai di sekitar 50 meter, dan rata-rata ketinggian tanggul 5 meter. Maka daya tampungnya adalah 15.000 dikali 50 (lebar antar tanggul) dan dikali 5 (tinggi tanggul). Menemukan hasil hanya 3,75 kubik. "Lantas artinya 16,25 juta kubik sisanya disuruh lari kemana? Ya tetap akan menggenangi area terdampak selama ini," cetus anggota komunitas Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus itu. Berdasarkan analisisnya dalam peta spasial, maupun pengamatan visual, ditemukan bahwa sumber air SKM bukan hanya berasal dari Bendungan Lempake atau Waduk Benanga. Melainkan ada puluhan anak sungai pada jaringan Daerah Aliran Sungai (DAS) Karang Mumus. Yang menyumbang sekitar 50 persen air permukaan ke sungai yang melintasi pusat kota itu. "Sekali lagi kita tidak pernah belajar. Kita lebih bodoh dari seekor keledai yang tidak mau masuk ke lubang yang sama. Dan mengeluarkan kalimat sakti 'ambil saja hikmahnya," sebut Kris secara monohok dalam artikel yang ditulisnya tepat setahun yang lalu. "Ingat, ratusan bahkan ribuan hektare rawa dan ekosistem DAS berfungsi memberikan kehidupan di sekitarnya. Kita hanya tinggal menunggu waktu waktu atas apa yang telah kita perbuat. Jika banjir jangan mengeluh; nikmati saja," katanya sekali lagi, menanggapi maraknya alih fungsi lahan esensial dalam rantai ekosistem, dan buruknya pengelolaan dan penataan ruang oleh pemerintah saat itu. Lebih lanjut ia mengatakan, mengubah sungai menjadi kanal, memungkinkan untuk mengurangi lama waktu genangan. Namun upaya itu hanya akan menyisakan pekerjaan lain. Yakni perlu pompa super besar untuk membuang debit air yang seharusnya mengalir dari hulu. "Sementara sekarang, kita punya beberapa rumah pompa yang tidak berfungsi optimal," imbuhnya. Begitu pula ia berpendapat mengenai rencana pembangunan pintu air di hilir Mahakam. Untuk mencegah instrusi air pasang Sungai Mahakam, masuk ke Sungai Karang Mumus. Yang dinilai selama ini menjadi salah satu penyebab banjir di ibu kota Provinsi Kaltim ini. Menurut Kris, kadang tidak perlu air Sungai Mahakam masuk ke SKM untuk menjadi syarat banjir. "Pada Juni 2019, bertepatan Lebaran tahun itu, posisi air permukaan Sungai Mahakam tidak terlalu tinggi. Namun banjir di kawasan atas lebih dari 10 hari," ungkapnya. Dalam kapasitasnya memerhatikan dan melakukan analisis serta perhitungan, Krisdiyanto menyarankan agar pemerintah membuat kanal besar baru. Yang membelah kota. Jika ingin mengentaskan banjir dalam jangka waktu yang lama. Kemudian, membuat jaringan koneksi pada setiap sistem drainase pembuangan yang ada di kota ini. Sedikit mengambil contoh dari sistem kanalisasi kota Amsterdam di Belanda. Yang membuat jaringan sistem saluran drainase terintegrasi dan terkoneksi seperti jaring laba-laba. Ia juga menyarankan pemkot membangun polder air yang bersifat lokal kawasan. Terutama di bagian tengah dan hulu dari jaringan DAS Karang Mumus. Polder dikatakan punya dua fungsi utama. Yaitu cadangan air saat kemarau. Dan penampung air sementara saat hujan. Sifat polder lokalan yang dimaksud, yakni misalnya, dalam satu perumahan, yang dibangun dan menghabiskan sekian hektare lahan. Yang diokupasi menjadi lahan terbuka hingga bangunan. Harus dibangun polder di sisi terendah kawasan itu. Untuk mengkompensasi jumlah ruang dan kemampuan resapan seluas ruang yang dialih fungsi. Untuk saat, ini sepengetahuan Kris, polder yang ada di Samarinda yaitu polder Ring Road, simpang Lembuswana, polder Air Hitam dan gang Indra. Lalu sistem pompa yang ada di proyek semani, Sentosa, Remaja dan Ahmad Yani. "Jembatan Baru ada rumah pompa dibangun tapi sampai sekarang pompanya yang enggak ada," pungkasnya. (das/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: