Simpati dan Empati di Dunia Maya
OLEH: ERZHA TEGAR HATI*
Terdapat dua konsensus yang saya temui mengenai keberadaan internet dan dunia maya yang hidup di dalamnya: mereka yang menganggap dan memperlakukan dunia maya sebagai sebuah kenyataan yang berbeda dan terpisah dari dunia nyata, dan mereka yang menganggap dunia maya merupakan sebuah eksistensi dari dunia nyata.
Saya termasuk mereka yang menganggap dunia maya merupakan perpanjangan tangan dari realitas dunia nyata yang kita tinggali sekarang. Hal ini terlihat dari fungsi layanan dunia maya yang mencoba mereplikasikan apa yang sudah ada di dunia nyata: YouTube yang mencoba menggantikan televisi kita dan layanan sosial media yang mencoba membawa pengalaman bersosialisasi sebagaimana kita berkomunikasi selama ribuan tahun lamanya melalui infrastruktur internet. Pada 2020 dan 2021 makin memantapkan saya dalam konsensus itu. Kita mungkin tidak berinteraksi secara nyata dalam satu ruang fisik yang sama. Tetapi sering selama ini kita berada di ruang hayal yang sama: berinteraksi. Kehadiran layanan-layanan yang memungkinkan kita untuk berinteraksi ini jelas sekali mencoba untuk menawarkan kompromi terhadap situasi yang kita hadapi sekarang. Pertemuan akademik atau profesional tidak bisa kita lakukan secara harfiah. Tetapi masih bisa melalui video conference. Sementara ghibah tidak kita lakukan di kedai kopi dengan rentang harga menu mulai dari 20 ribu per gelas. Tetapi masih bisa melalui grup WhatsApp. “Kelakuan” dan update orang-orang serta teman-teman kita bisa langsung dilihat di laman TikTok, Instagram, atau Twitter. Masing-masing dari mereka tak jarang disorot oleh orang lain jika “kelakuannya sampai segitunya”. Tetapi sebagai ekstensi dari dunia nyata, dunia maya tidak hanya soal kebahagiaan utopis yang disuguhkan melalui layar gawai elektronik kita saja. Dunia maya juga mempunyai kemampuan untuk menampilkan segala bentuk musibah, kesedihan, keburukan dan ketidakberuntungan yang dunia ini tawarkan. Sering kali kita lupa dengan kemalangan yang kita lihat di dunia maya merupakan kejadian yang secara nyata terjadi di dunia nyata dan dialami oleh orang-orang yang hidup dan bernafas bukan diperani oleh aktor seni peran. Dua tahun terakhir merupakan masa yang sudah jelas akan menjadi bagian dari buku pelajaran sejarah anak-anak kita nanti. Dunia dengan kemampuan dan pengetahuan modernnya masih harus berhadapan dengan pandemi COVID-19. Kita juga menghadapi banyak musibah lain. Terkadang kita terlena dengan kenyamanan yang kita miliki sekarang. Melihat lini masa sosial media sebelum tidur di atas kasur springbed dengan udara yang didinginkan secara artifisial oleh AC. Kita menganggap berita-berita sedih yang kita temui dan baca serta “nikmati” di dunia maya pada akhirnya hanyalah sekadar berita. Terkadang kita lupa bahwa COVID-19 tidak hanya soal tidak bisa main bersama teman. Tetapi juga soal kematian, kemiskinan, ketakutan, dan ketidakpastian bagi mereka yang secara langsung terdampak oleh pademi ini. Acap kali kita lupa bahwa setiap orang yang benar-benar kita temui mempunyai “kedalaman” hidup yang sama dengan kita. Dalam bahasa Inggris terdapat kata sonder yang memiliki arti “realitas bahwa setiap orang yang kita lewati mempunyai hidup yang sama nyatanya dan sama kompleksnya dengan hidup kita”. Internet dan dunia maya memang penemuan yang masih muda umurnya jika dibandingkan dengan panjangnya sejarah umat manusia. Oleh karena itu, kita harus memahami apa saja etika yang harus kita junjung dalam berkehidupan di dalam dunia maya. Sering kali kita lihat interaksi yang tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya kita junjung sebagai manusia modern di dalam dunia nyata. Bahkan acap kali dilakukan oleh orang-orang yang berpengaruh, berpendidikan, dan berkekuatan di dunia nyata. Walaupun mungkin saja mereka masih mempercayai dunia maya ini adalah dunia sendiri, tidak berkaitan dengan dunia nyata. Kita juga sering melihat sosok yang di dunia nyata merupakan orang yang bertutur kata baik, memiliki rasa simpati dan empati yang kuat dengan sesama, tetapi berbanding terbalik dengan keberadaannya di dunia maya yang penuh dengan opini-opini yang tidak menolong apa-apa tetapi malah menyakiti perasaan orang lain. Berkaca dengan maraknya kejadian seperti ini, rasanya sekarang kita harus bertanggung jawab sebagai penghuni dunia maya untuk mulai menyebarkan pemahaman bahwa sikap kita di dunia ini, baik dunia nyata ataupun maya, haruslah mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana harusnya. Simpati dan empati terlepas dari dua dunia yang sekarang kita tinggali haruslah tetap dijunjung. Karena ketika kita berada di saat yang paling rendah dalam hidup kita, tentu kita berharap akan ada orang-orang yang masih peduli dengan keadaan kita untuk datang dan membantu kita bangkit kembali. Kemudian hal yang sama akan terjadi kepada orang lain, dan pada saat itulah kita yang akan dinanti untuk datang dan membantu siapa pun yang sedang jatuh di titik paling rendah mereka. Terlepas dari dua dunia yang sekarang kita tinggali ini, kita dihadapkan dengan dua pilihan akan setiap perbuatan yang akan kita lakukan: bersimpati dan meringankan penderitaan orang lain dalam setiap perbuatan kita, atau menjadi jahat dan lanjut menambah luka di atas penderitaan orang lain. Walaupun semua kemalangan ini seakan-akan “hanya” terjadi di dunia maya. (*Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: