Petani Kutim Tekor Diteror Beras Impor

Petani Kutim Tekor Diteror Beras Impor

Gonjang-ganjing wacana impor beras oleh pemerintah pusat mulai dirasakan dampaknya oleh petani Kutim. Para petani kebingungan menjual hasil sawah karena panen berlebih. Sementara beras dari luar daerah membanjiri pasaran.

nomorsatukaltim.com - Situasi saat ini membingungkan para petani di Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Ketika mengharapkan untung saat panen, tiba-tiba kesulitan menjual hasil panen. Kondisi ini disebabkan membanjirnya beras dari luar daerah. Petani padi sawah di Kaliorang dan Kaubun, misalnya.  Hasil panen warga di dua kecamatan itu menumpuk sampai ratusan ton. Jika dirata-rata dalam setahun, 150 ton beras tak terserap di pasaran. Hal ini yang membuat para petani kebingungan untuk menjual hasil panen itu. Semakin sulit lagi, karena beras daerah luar daerah tetap datang ke Kutim. Alhasil padi hasil panen petani justru terbengkalai. Petani Desa Bangun Jaya, Amir mengakui hasil panen kerap tak terjual maksimal. Permasalahan utama terkait saluran pemasaran yang hanya mengandalkan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Padahal Bumdes pun masih kerap kesulitan modal membeli produksi para petani. “Ya di desa kami seperti itu kondisinya. Gabah dari petani tak bisa kami beli semua. Modal sedikit,” ucap Amir yang juga pengurus Bumdes Desa Bangun Jaya itu. Padahal hasil panen khusus Desa Bangun Jaya saja hasilnya cukup banyak. Sekali panen petani bisa menghasilkan rerata 6 ton gabah per hektare. Sementara petani di desa itu memiliki lahan sawah minimal 1 hektare. “Gabah digiling oleh Bumdes untuk dijual. Tapi kami tak bisa beli semua gabah petani,” tuturnya. Sementara jika menjual gabah ke perusahaan juga tak mudah. Karena perusahaan kebanyakan memakai sistem bayar belakangan. Hal ini menyulitkan petani karena uang hasil pembayaran dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari. “Sebenarnya perusahaan banyak saja yang mau beli. Sayang mereka bayar per tiga bulan,” bebernya. Pemkab pun diminta tanggap. Mengingat dua kecamatan tersebut terkenal menjadi sentra hasil pertanian dan perkebunan. Sementara yang masih menjadi pekerjaan adalah memoles pemasaran produk pertanian petani. Bupati Kutim, Ardiansyah Sulaiman mengatakan pemkab sudah menyiapkan langkah khusus. Akan terbit regulasi terkait pegawai pemerintah maupun perusahaan untuk dapat membeli hasil panen petani tersebut. “Saya sudah merencanakan untuk membuat regulasi, kemungkinan besar nanti ASN kita berikan arahan untuk membeli produk mereka,” ucap Ardiansyah. Terkait teknis membeli komoditas lokal tersebut, ia akan merinci lagi di dalam aturan itu. Dengan begitu petani tak perlu lagi kebingungan terkait memasarkan produknya. Sebab saban bulan sudah pembeli yang disiapkan. “Masing-masing orang nanti akan diatur, bulan ini berapa kilo. Teknisnya, nanti kita buat lebih jelas di dalam aturannya,” bebernya. Kemudian, ia juga meminta perusahaan yang beroperasi di Kutim dapat membantu. Memasarkan produk pertanian petani lokal di koperasi perusahaan. Pemkab juga akan menyampaikan hal ini kepada seluruh perusahaan nantinya. “Kami akan memanggil perusahaan. Selain bicara soal dana CSR, juga kami sampaikan hal ini,” tuturnya. Mengingat, dalam hal ketahanan pangan, pemkab tetap fokus pada sektor pertanian. Besar harapannya memberdayakan hasil petani lokal ini dapat terwujud. Ia pun memastikan skema dari rencana program tersebut bakal berjalan. “Kami punya skema ke depan. Hasil panen petani lokal harus bisa seluruhnya terserap pasar,” tandasnya.

PRODUKSI BERAS KALTIM

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kalimantan Timur, produksi beras Kutim pada tahun 2019 sebanyak 9.215,95 ton. Naik cukup tinggi dari tahun sebelumnya yang tercatat 7.436,50. Produksi beras di kabupaten itu menempati urutan ke lima dari 10 daerah di provinsi ini. Kutim masih di bawah Berau (9.686 ton), Penajam Paser Utara (24.085 ton), Paser (27.922 ton) dan Kutai Kartanegara (70.136 ton). Sementara data tahun lalu, BPS mencatat luas panen padi sebesar 73,57 ribu hektare. Mengalami kenaikan sebanyak 3,86 ribu hektare atau 5,54 persen dibandingkan 2019 (69,71 ribu hektare). Dari luas lahan itu, produksi padi mencapai 262,43 ribu ton gabah kering giling (GKG). Naik sebanyak 8,62 ribu ton atau 3,39 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 253,82 ribu ton GKG. Jika dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi beras di daerah ini sebesar 151,86 ribu ton. Naik 4,99 ribu ton atau 3,39 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 146,88 ribu ton.

NILAI TUKAR PETANI

Meski petani Kutim kesulitan menjual hasil panen, BPS mencatat nilai tukar petani Kalimantan Timur pada Maret 2021 naik 0,85 persen menjadi 117,84 dibanding bulan sebelumnya. Peningkatan NTP disebabkan oleh Indeks Harga yang Diterima Petani (It) yang naik lebih tinggi dibandingkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib). Nilai tukar petani di atas 100, mengindikasikan petani mengalami surplus. Alias untung. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya. Meski begitu, indeks ini tidak secara khusus memotret kondisi petani di Kutai Timur. Pada Maret 2021, terdapat tiga subsektor yang mengalami peningkatan NTP. Yaitu subsektor hortikultura (1,89 persen), subsektor tanaman perkebunan rakyat (1,62 persen), dan subsektor peternakan (0,08 persen). Sementara itu, dua subsektor lainnya mengalami penurunan, yaitu subsektor tanaman pangan (-0,70 persen) dan subsektor perikanan (-0,07 persen). Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) Provinsi Kalimantan Timur Maret 2021 sebesar 119,01 atau naik 1,23 persen dibanding NTUP pada bulan Februari 2021 yang tercatat sebesar 117,57. Terdapat empat subsektor yang mengalami peningkatan NTUP, yaitu subsektor hortikultura, subsektor tanaman perkebunan rakyat, subsektor peternakan, dan subsektor perikanan.

DIPICU WACANA IMPOR

Guru Besar Fakultas Pertanian Unmul, Profesor Rusdiansyah menilai, wacana impor beras saat memasuki masa panen raya menjadi pemicu penurunan harga. Menurut Rusdi, pada kondisi masa panen seperti ini, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pemerintah bisa menampung beras yang dihasilkan oleh para petani. "Kalau dalam kondisi panen, lalu ada isu impor beras. Saya anggap, sebagai isu lah dulu. Maka, secara tidak langsung akan menurunkan harga gabah di tingkat petani," ungkap Rusdiansyah, baru-baru ini. Selama ini harga beras setiap kali masa panen, akan mengalami penurunan hingga 30 persen. Ditambah lagi dengan isu impor beras. Harga beras dan gabah di tingkat petani akan sangat tertekan. "Saya ada baca, di Jawa Timur harga gabah hanya dibeli dengan harga Rp 2.700 per kilo gram. Padahal kondisi normal harga gabah itu sekitar Rp 4 ribu sampai Rp 4.300. Harga beras ditingkat petani juga turun. Dari Rp 9 ribu, menjadi Rp 5 sampai 6 ribu saja per kilo gramnya," ucap Rusdi. Dengan isu impor beras, maka akan semakin menekan harga beras dan gabah dari tingkat petani. Sehingga, hal itu akan sangat merugikan mereka. Rusdi juga menolak alasan impor beras pemerintah. Dengan dalih, menstabilkan stok beras dalam negeri. Menurut Rusdi, stok beras nasional diperkirakan masih aman hingga 6 bulan ke depan. Ia justru menduga, rencana impor beras ini adalah kepentingan politik dan permainan para pengusaha yang ingin mengambil untung. Dari proses impor beras tersebut.  "Kita sih tidak mau su'uzan yaa. Tapi kalau kita baca kondisi dari tahun ke tahun, ada permainan di situ," selidiknya. Rusdi menyarankan, sebaiknya pemerintah tidak melakukan impor beras. Melainkan berusaha untuk menstabilkan harga beras dalam negeri. Agar tidak merosot saat masa panen raya. Dengan cara menampung hasil panen petani. Dengan penyerapan hasil pertanian ke pemerintah, harga gabah bisa stabil. Dan para petani bisa menerima pendapatan yang layak. Dengan begitu, para petani dapat merasakan peran negara dalam menyukseskan sektor pertanian. Dan menjaga ketahanan pangan nasional. Petani pun akan lebih semangat untuk  berproduksi lebih baik ke depan.  "Tapi kalau sebaliknya, beras tidak terserap, harga turun, petani jadi malas menamam padi". Kaltim, saat ini juga sedang memasuki masa panen pada periode bulan Maret - April. Walau pun, Rusdi mengakui, produksi beras dari petani lokal belum mampu memenuhi kebutuhan pangan daerah. Produksi beras lokal pada masa panen ini pun, diprediksi akan menurun. Mengingat, pada musim tanam lalu, Kaltim diguyur musim hujan. Sehingga sangat menekan produktivitas padi. Sementara untuk produksi padi gunung. Seperti di daerah Berau, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Kutai Barat, dan Mahakam Ulu. Rusdi menyebut hasil panen mengalami kenaikan. (bct/krv/boy/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: