PTM Tak Pasti, Gangguan Jiwa Pada Anak Menanti

PTM Tak Pasti, Gangguan Jiwa Pada Anak Menanti

Upaya pemerintah memutus matai rantai penyebaran wabah corona dengan menghentikan aktivitas belajar tatap muka memunculkan risiko lain. Anak-anak terancam mengalami gangguan jiwa akibat kecanduan gadget. Dalam beberapa bulan terakhir, Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam menerima puluhan konsultansi warga.

nomorsatukaltim.com - Selama masa pandemi, pembelajaran sekolah beralih secara daring. Di mana gadget atau ponsel, menjadi alat utama dalam proses pembelajaran. Namun, kecenderungan menggunakan ponsel secara terus-menerus berpotensi menyebabkan ketergantungan pada anak. Dalam kondisi serius, kondisi ini dapat menyerang kejiwaan anak-anak. Mereka menjadi gampang tersulut emosi, atau terlambat merespons sesuatu. Kasus seperti ini, bahkan sudah terjadi di Provinsi Jawa Barat. Dilaporkan, banyak anak berusia 11-15 tahun menjadi pasien di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua, Bogor. Situasi itu diperparah dengan minimnya aktivitas fisik. Anak misalnya dipaksa berada di dalam rumah. Mereka jarang berkumpul dengan teman sebaya, atau melakukan kegiatan sosialisasi. Jika tidak diimbangi dengan aktivitas yang menyenangkan, anak bisa mengalami kejenuhan yang memicu stres. Psikiater anak dan remaja, dr Rinvil Renaldi mengakui sejak pandemi, sering menangani kasus stres pada anak. Rata-rata, ia menerima 20 pasien dalam sebulan. Namun, indikasinya macam-macam. Tidak semua karena kasus efek buruk akibat terlalu lama di rumah. "Tapi memang, ada beberapa kasus. Yang saya notice karena dampak pandemi. Karena terlalu lama di rumah, jenuh, lalu mengarah ke perubahan perilaku. Biasanya yang dikeluhkan seperti rewel dan pola tidur yang sulit," kata dokter spesialis kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam, Samarinda ini. Jumlah ini lebih tinggi di bandingkan sebelum pandemi. Stres pada anak itu, kata Rinvil, disebabkan oleh kondisi yang masih dalam masa tumbuh kembang. Sehingga mereka membutuhkan banyak aktivitas untuk mengasah kognisi dan psikomotorik mereka. "Kalau orang dewasa kognitifnya lebih maju. Jadi secara emosional lebih stabil. Beda dengan anak," sambungnya. Belajar secara online juga sulit dilakukan pada anak-anak. Terutama anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus (ABK). Karena mereka butuh bermain sambil belajar dalam meningkatkan kognitif dan kemampuan berpikir. Kebiasaan rutin yang dilakukan saat sekolah. Seperti bangun pagi, mandi, sarapan, dan aktivitas rutin lainnya. Juga mendadak hilang. Saat anak belajar dari rumah. Hal itu akan mengubah perilaku anak menjadi cenderung malas, bosan, dan enggan melakukan hal rutin. Tingkat kejenuhan yang berlarut-larut, juga akan menganggu kondisi kejiwaan sang anak. Anak jadi mudah marah, rewel, dan emosi yang tidak stabil. Jika terus dibiarkan, anak bisa mengalami stress yang lebih parah. "Kalau anak tidak diberi pemahaman dan dia tidak tahu alasan kenapa harus di rumah. Lalu orang tua tidak bisa mangatasi itu. Karena kesibukan pekerjaan dan sebagainya. Itu bisa memicu stress pada anak," jelas Rinvil. Jika tidak cepat ditangani, kondisi stress yang lebih berat berisiko dialami anak. Rinvil menyarankan beberapa aktivitas yang bisa dilakukan di rumah. Untuk menghindari stress pada anak. Pertama, buat kebiasaan rutin di rumah. Pertahankan aktivitas hari-hari yang dilakukan sang anak saat masih aktif bersekolah. Seperti bangun pagi, mandi, sarapan, lalu belajar. Usahakan, anak tetap memakai seragam saat proses belajar daring di rumah. Jika perlu, setting salah satu ruangan di rumah yang khusus dilakukan untuk belajar daring. "Supaya secara psikologis dia tahu kalau lagi sekolah," jelas dokter spesialis kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam, Samarinda ini. Kedua, jangan biarkan anak terlalu lama duduk di depan layar komputer. Atau bermain gadget. Karena selain menyebabkan ketergantungan. Hal itu juga tidak baik bagi kondisi fisik sang anak. Biasakan anak untuk melakukan peregangan tubuh atau jalan-jalan sebentar. Jika sudah terlalu lama di depan komputer. Ketiga, tetap lakukan aktivitas di luar rumah. Seperti olahraga dan bermain bersama anak. Dengan catatan tetap memperhatikan protokol kesehatan (prokes). Hal ini, dimaksudkan agar anak tidak merasa jenuh di rumah. Dan selalu usahakan meluangkan waktu dan menjalin komunikasi bersama anak. Jika menemukan gejala stres pada anak.  Pertolongan pertama yang bisa dilakukan adalah mendekati sang anak. Dan melakukan komunikasi. Berusaha lah menenangkan sang anak dan menghiburnya. Jika tidak berhasil, dan gejala stress terus berlanjut hingga berhari-hari. Segera cari bantuan profesional. "Bisa ke psikiater. Atau ke poliklinik anak.  Kalau datang ke kami, biasanya akan kami lakukan anamnesis terlebih dahulu. Menghimpun informasi dari keluarga terdekat terkait riwayat kesehatan sang anak," jelas Rinvil. Dari pemeriksaan itu, kemudian akan dilakukan tes evaluasi psikologi. Dan diagnosa gangguan jiwa atau kecemasan. Jika benar pasien mengalami gangguan jiwa, maka akan dilakukan pengobatan lebih lanjut. Rinvil juga menjelaskan. Kondisi gangguan jiwa tidak selalu bermakna negatif. Misalnya dianggap sudah gila dan tidak waras. Siapa pun, bisa berpotensi mengalami gangguan jiwa. Hanya saja dengan tingkat yang berbeda. Bisa ringan, sedang, atau berat.

FENOMENA GUNUNG ES

Sementara Pelaksana Tugas (Plt) Direktur RSJD Atma Husada, dr Jaya Mualimin, mengatakan risiko gangguan kesehatan jiwa pada anak, sangat mungkin terjadi. "Fenomena itu kan, seperti gunung es. Belum kelihatan, tetapi di masyarakat bisa saja terjadi," ungkapnya, baru-baru ini. Apalagi menurut Jaya, di tengah perkembangan teknologi saat ini. Proses  tumbuh kembang anak, kini lebih banyak dipengaruhi oleh permainan game online yang terpusat dipikiran dan emosi.  Di bandingkan dengan permainan fisik. Padahal, dalam tumbuh kembang anak, seluruh aspek harus diperhatikan. Mulai dari emosi, perilaku, pikiran, perasaan, otot kasar, otot halus, intelegensi, dan empati. "Kalau dulu permainan anak kan, lari, jingkrak-jingkrak, bergerak, bersosialisasi ketemu teman sebaya. Sekarang, sudah bergeser ke online. Berinteraksi cukup dengan jempol dan emosinya saja. Secara psikomotorik, ya ini kurang baik," jelas dokter spesialis kejiwaan ini. Kondisi itu, semakin di perparah saat pandemi. Ketika seluruh aktivitas belajar mangejar dialihkan secara daring. Sehingga semakin menambah porsi penggunaan gadget di rumah. Yang memperluas ruang ketergantungan. Untuk mengantisipasi ketergantungan anak pada gadget. Kurangi porsi penggunaan handphone di rumah. Gunakan handphone atau media elektronik lainnya hanya untuk keperluan belajar. Perbanyak komunikasi antara anak dan orang tua. Jika perlu, kurangi fitur-fitur game online agar anak tidak terpaku pada permainan tersebut. Jika ketergantungan anak sudah dalam kondisi serius. Jalani pemeriksaan ke psikiater atau bimbingan konseling. "Ada alternatif pemeriksaan dan pengobatannya. Kalau datang sudah dengan keadaan emosi, kita harus  tenangngkan dulu dengan konseling. Kalau perlu rawat inap, ya kita rawat," jelas Jaya. Yang menjadi tantangan saat ini, menurut Jaya. Adalah stigma di masyarakat. Yang menganggap hanya orang dengan gangguan jiwa yang perlu menerima perawatan di RSJ. Sehingga, mayoritas masyarakat masih enggan melakukan pemeriksaan ke RSJ. "Makanya kita berencana untuk mengubah wajah RSJ ini menjadi lebih ramah. Untuk semua kalangan. Termasuk anak-anak," pungkasnya.

KATA DPR RI

Sementara itu DPR RI dalam Rapat Kerja dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menyatakan persetujuannya atas rencana pembelajaran tatap muka, Juli tahun ini. Wakil Ketua Komisi X, DPR RI, Hetifah Sjaifudian anak-anak mengalami tekanan psikologi cukup berat. Wakil Kaltim itu menjelaskan survei Kemendikbud mengungkap 62,5 persen siswa tidak menganggap bahwa belajar dari rumah menyenangkan. Hetifah melanjutkan, data-data yang ada juga menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga meningkat selama pandemi. Menurut catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 75% selama pandemi. Sementara menurut LBH Apik, laporan kekerasan pada perempuan selama pandemi mencapai rata-rata 90 kasus per bulan, dari yang biasanya hanya sekitar 30 kasus per bulan, mayoritas terjadi dalam skala rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua rumah dapat menghadirkan perasaan nyaman bagi anak. "Banyak siswa yang menganggap berada di sekolah lebih aman daripada di rumah, dan sekolah menjadi tempat bernaung dari kondisi rumah yang tidak kondusif," terangnya. Untuk itu, menurut legislator Dapil Kalimantan Timur ini, data-data tersebut menjadi pertimbangan besar bagi pemerintah untuk mulai melonggarkan kebijakan pembukaan sekolah. Selain hal yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa dampak negatif yang dapat terjadi jika kebijakan belajar dari rumah tetap dilaksanakan, salah satunya adalah potensi learning loss, atau kehilangan pembelajaran. Hal ini disebabkan salah satunya karena rendahnya akses internet di berbagai daerah, juga perbedaan kemampuan SDM pengajar dalam melakukan pendidikan jarak jauh. "Jika ini terjadi, kesenjangan dalam dunia pendidikan akan terus melebar antara mereka yang berasal dari keadaan sosial ekonomi tinggi dan rendah. Jika ini dibiarkan, angka putus sekolah juga terancam meningkat akibat banyaknya anak yang tidak bersekolah dan justru bekerja di masa pandemi ini," beber Hetifah. Dengan demikian, kata Hetifah, pembukaan sekolah adalah salah satu upaya yang diambil untuk mereduksi dampak-dampak negatif di atas. Tentu saja kebijakan tersebut tidak diambil dengan semena-mena dan terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan tatap muka. Dan sekali lagi, pembelajaran tatap muka bukan diwajibkan, tetapi dibolehkan untuk mereka yang merasa perlu. Kebijakan pembukaan sekolah yang sebelumnya direstriksi oleh pusat, sekarang diberikan ke daerah. Hal ini disebabkan oleh besar dan beragamnya wilayah di Indonesia, sehingga kebijakan yang tersentralisasi dan one size fits all tidak akan berhasil dan justru tidak optimal dalam menangani permasalahan-permasalahan di dunia pendidikan. "Pemerintah daerah (pemda) dengan kebijaksanaannya harusnya dapat menilai dengan lebih baik, apakah sebuah daerah siap dan aman untuk melakukan pembelajaran tatap muka," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini. Dalam pernyataan di depan DPR RI, pertengahan bulan lalu, Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang sudah berlangsung selama satu tahun, dapat berpotensi menimbulkan dampak sosial negatif yang berkepanjangan. Risiko siswa mengalami putus sekolah juga akan meningkat, karena anak terpasa membantu keuangan keluarga di tengah krisis pandemi. Belum lagi adanya penurunan capaian belajar, kekerasan kepada anak, dan risiko eksternal lainnya. "Learning loss yang sifatnya permanen itu akan terus terjadi jika kita tidak segera melakukan tatap muka. Kebijakan ini bertujuan untuk mengakselerasi proses pembelajaran tatap muka di Indonesia. Kenyataannya hanya 16 persen yang melakukan pembelajaran tatap muka dan 84 persen sisanya PJJ. Ini harus naik cepat, makanya dengan vaksinasi pendidik dan tenaga pendidikan kita akselerasi PTM di sekolah," pungkasnya. Sejauh ini Gubernur Kaltim sekaligus Ketua Satgas Penanganan COVID-19 belum mengizinkan adanya PTM. Kebijakan sekolah langsung diserahkan ke daerah.  (krv/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: