Simalakama Pembelajaran Tatap Muka

Simalakama Pembelajaran Tatap Muka

Rencana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) pada bulan Juli belum menemui titik terang. Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Kalimantan Timur belum memberikan restu. Psikolog ingatkan bahaya stres yang mengancam anak.

nomorsatukaltim.com - Ketua Satgas Penanganan COVID-19, Isran Noor mengatakan kebijakan pembukaan sekolah baru akan dibahas secara nasional. Secara umum Gubernur Kalimantan Timur itu menyebut izin akan diberikan jika kondisi penyebaran kasus, melandai. Bagaimana dengan kebijakan pemerintah daerah? "PTM di kabupaten/kota tidak apa-apa. Itu sudah dibahas lebih dulu," terangnya. Ia tak mempersoalkan daerah menyelenggarakan pembelajaran tatap muka,  sepanjang memperhatikan protokol kesehatan. Dan mendapat izin dari Satgas COVID-19 di daerah masing-masing. “Tapi secara umum, tim satgas daerah belum memberikan izin pelaksanaan PTM ini. Pemberian izin masih mempertimbangkan perkembangan kasus dan kondisi penyebaran virus Corona,” ujarnya. Lebih lanjut, Juru Bicara Satgas, Andi Muhammad Ishak mengatakan, pembelajaran tatap muka di Kaltim akan diintegrasikan dengan PPKM mikro. Artinya, jika suatu wilayah teridentifikasi zona merah penyebaran virus, maka, PTM ditiadakan. Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Setdaprov Kaltim ini juga memberikan catatan, sekolah harus memenuhi sarana dan prasarana penerapan prokes. Termasuk mekanisme dan manajemen pembelajaran selama pandemi. “Misalnya pembatasan jumlah kapasitas murid di kelas, pengaturan peserta didik, dan sistem antar jemput di sekolah. Seluruh staf pendidikan dan guru juga harus sudah divaksin,” katanya. Begitu pula dengan sarana prasarana fasilitas kesehatan. Untuk menunjang penerapan prokes di sekolah. Seperti alat pengukur suhu tubuh, tempat cuci tangan, hand sanitizer, disinfektan, dan fasilitas kesehatan lainnya. "Teknisnya kita serahkan ke Disdikbud.  Apa pun yang berlaku nanti. Dan kepada sekolah harus bersiap. Jangan sampai kita buka nanti, tapi ada sekolah yang tidak siap," pesan Andi. Ia juga menegaskan, pihak sekolah wajib mengantisipasi risiko penularan di luar sekolah. Karena, meski penerapan prokes sudah dilakukan di sekolah. Risiko terpapar virus tetap mungkin terjadi pasca jam belajar di sekolah. "Di dalam kelas bisa dijaga prokesnya. Tapi di luar kelas bagaimana risiko penularan pasca sekolah? Itu yang perlu  dijaga," ucapnya. Untuk itu ia mengimbau, pihak sekolah memfasilitasi antar-jemput siswa. Sehingga, siswa dipastikan langsung pulang ke rumah. Atau jika tidak, pihak sekolah dapat mewajibkan orang tua murid mengantar-jemput anaknya. Hal itu dilakukan, supaya dapat menjaga anak-anak. Agar tidak pergi bermain secara bebas pasca jam sekolah. Dan meminimalisasi penularan virus. Sementara Wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi mengatakan, bahwa rencana pemerintah pusat untuk melangsungkan pembelajaran tatap muka harus disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. "Semua yang saya pahami, harus dilihat juga dari kondisi daerah masing-masing. Jadi nanti untuk kabupaten kota yang menangani TK, SD dan SMP, silahkan mereka melakukan percobaan dulu. Supaya protokol kesehatan ini tetap terlaksana," ujarnya. Hadi menambahkan, Pemprov Kaltim akan menangani jenjang SMA/SMK, sehingga lebih mudah saat menangani pembelajaran tatap muka. "Karena mengarahkan yang dewasa lebih mudah. Tetapi tetap saja prokes dilaksanakan dan tak boleh dibuka langsung begitu. Kita buat percobaan sekolah yang siap melaksanakan prokes dahulu," sambungnya. Selain itu, Hadi turut mengatakan bahwa vaksinasi COVID-19 terhadap guru di Kaltim belum semua terlaksana. "Karena vaksinasi dilaksanakan pemerintah pusat, daerah hanya menjalankan saja.” “Kalau kita yang produksi sendiri, hari ini juga kita sudah bisa selesaikan. Kita (Pemprov Kaltim) hanya menyalurkan, dan pusat juga meminta ada kategori lansia kemudian pejabat pemerintah dan guru juga masuk prioritas," tandasnya. Sementara itu, Ketua DPRD Kaltim Makmur mengatakan, sekolah yang akan melangsungkan pembelajaran tatap muka mulai mempersiapkan diri. "Saya kira semua harus dipersiapkan. Jangan sekedar kita hanya ikut-ikutan. Dan bukan karena kita divaksin semata, tetapi bagaimana sekolahnya itu sudah siap atau enggak," ucapnya. "Contoh yang dipersiapkan seperti tempat cuci tangan, kebersihannya dan macam-macam. Tidak bisa semua harus difasilitasi oleh pemerintah," pungkasnya.

SAMARINDA LEBIH DULU

Meski Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Kaltim belum merestui PTM, Kota Samarinda menjadi satu-satunya daerah yang melangsungkan pembelajaran tatap muka sejak awal bulan lalu. PTM dilakukan melalui program Sekolah Tangguh COVID-19. Ada 14 sekolah yang dibuka secara bertahap dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. Menurut Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Samarinda, Asli Nuryadin, pembukaan skeolah itu atas izin Satgas tingkat kota. "Sekolah Tangguh COVID-19 yang dipersiapkan dalam prioritas program 100 hari kerja, ada 4 TK, 4 SD dan 6 SMP yang berada di wilayah Kota Samarinda," jelas Asli kepada Disway Kaltim, baru-baru ini. Sekolah Tangguh COVID-19 memiliki lima kategori tangguh yang terdiri dari tangguh informasi, tangguh kesehatan, tangguh keamanan, tangguh pendidikan, dan tangguh gizi. Ada pun kriteria yang harus dipenuhi sekolah dalam program Sekolah Tangguh ini. Meliputi kesiapan sekolah seperti fisik bangunan, kelas, kebersihan, dan UKS.  Kesiapan guru, tenaga kependidikan, dan orang tua siswa. Serta ketersediaan jaringan internet dan tingkat mobilisasi warga. Sekolah juga wajib menjalankan protokol kesehatan 5 M. Yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi. Termasuk sarana prasarana protokol kesehatan, seperti tempat mencuci tangan, hand sanitizer,  pengukur suhu tubuh, dan fasilitas pendukung lainnya. Hingga tiga pekan sejak diberlakukan pembelajaran tatap muka di Samarinda, Kepala Sekolah Dasar (SD) Islamic Center, Abdi Rahman, mengklaim tidak ada temuan kasus positif anak didiknya. Abdi Rahman mengaku hanya menemukan infeksi virus di lingkungan keluarga murid maupun guru. “Kalau ada yang begitu akan diinformasikan, sehingga siswa yang dekat dengan keluarga terpapar, dilarang hadir ke sekolah,” katanya. Demi mencegah penularan kepada siswa lain. Dan dianjurkan untuk melakukan isolasi mandiri di rumah selama 2 pekan. "Kami saling menjaga keterbukaan dengan orang tua murid. Dalam keadaan apa pun lebih banyak toleransi. Kalau ada yang terpapar, siswa tidak masuk dulu ke sekolah tidak apa-apa." "Atau pun semisal siswa hanya demam atau batuk boleh diizinkan untuk tidak hadir. Dan memilih daring," sambungnya. Pihak sekolah juga telah bekerja sama dengan klinik untuk memberikan perawatan.

PICU STRES ANAK

Psikiater anak dan remaja, dr Rinvil Renaldi menilai belajar di rumah yang terlalu lama memberikan dampak negatif bagi anak. Tak hanya kegiatan belajar. Aktivitas bermain secara bebas pun menjadi terbatas. Anak, dipaksa lebih banyak beraktivitas di dalam rumah. Jika tidak diimbangi dengan aktivitas yang menyenangkan. Anak bisa mengalami kejenuhan dan memicu stres. Dokter Rumah Sakit Atma Husada Mahakam ini mengatakan, pandemi memang memaksa manusia beradaptasi dengan kondisi yang serba terbatas. Tatanan kehidupan baru pun secara drastis dilakukan. Perubahan yang tiba-tiba seperti itu, menurutnya dapat mengganggu kejiwaan seseorang. Tak terkecuali anak-anak. "Kita saja orang dewasa bisa stres kalau di rumah terus. Apalagi anak-anak," kata Rinvil, Rabu (31/3/2021). Stres pada anak itu, kata Rinvil disebabkan oleh kondisi yang masih dalam masa tumbuh kembang. Sehingga mereka membutuhkan banyak aktivitas untuk mengasah kognisi dan psikomotorik mereka. "Kalau orang dewasa kognitifnya lebih maju. Jadi secara emosional lebih stabil. Beda dengan anak," sambungnya. Belajar secara online juga sulit dilakukan pada anak-anak. Terutama anak usia dini dan anak berkebutuhan khusus (ABK). Karena mereka butuh bermain sambil belajar dalam meningkatkan kognitif dan kemampuan berpikir. Kebiasaan rutin yang dilakukan saat sekolah. Seperti bangun pagi, mandi, sarapan, dan aktivitas rutin lainnya. Juga mendadak hilang. Saat anak belajar dari rumah. Hal itu akan merubah perilaku anak menjadi cenderung malas, bosan, dan enggan melakukan hal rutin. Tingkat kejenuhan yang berlarut-larut, juga akan menganggu kondisi kejiwaan sang anak. Anak jadi mudah marah, rewel, dan emosi yang tidak stabil. Jika terus dibiarkan, anak bisa mengalami stres yang lebih parah. "Kalau anak tidak diberi pemahaman dan dia tidak tahu alasan kenapa harus di rumah. Lalu orang tua tidak bisa mangatasi itu. Karena kesibukan pekerjaan dan sebagainya. Itu bisa memicu stress pada anak," jelas Rinvil. (krv/aaa/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: