Kebebasan Berpendapat dalam Bayang-Bayang UU ITE

Kebebasan Berpendapat dalam Bayang-Bayang UU ITE

OLEH: M FAHRURAJI ANNUR*

Sebagai warga negara, hak kebebasan berpendapat resmi diatur dalam konstitusi negara. Tepatnya Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Hal ini semakin diperkuat dengan Pasal 28F UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Merujuk pada payung hukum dan konstitusi Indonesia, mestinya setiap warga negara berhak dan bebas untuk berpendapat di muka umum maupun medium-medium pemuat pesan. Seperti media konvensional berupa surat kabar, radio, dan televisi maupun media sosial seperti Facebook, Instagram dan Twitter. Di era digitalisasi saat ini, media sosial semakin marak dan digandrungi masyarakat. Bahkan tak jarang kini budaya kritis yang biasanya disalurkan lewat media konvensional beralih ke media sosial. Namun, setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), masyarakat tak lagi bebas mengutarakan pendapat maupun menyampaikan pandangannya di muka umum. Khususnya di media sosial. UU ini seakan menjadi model dan senjata baru pemerintah maupun oknum-oknum tertentu untuk membungkam serta meredam nalar kritis masyarakat yang mencoba melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Bahkan ada kekhawatiran dengan adanya UU ITE ini akan mengembalikan Indonesia ke rezim Orde Baru. Di mana pada saat itu kebebasan berpendapat benar-benar dikekang serta opini yang berkembang di masyarakat sebagian besar diatur oleh rezim. Berdasarkan data Amnesty International Indonesia (AII), sepanjang 2020, jumlah kasus akibat pasal karet UU ITE sebanyak 119 dan 141 orang dinyatakan sebagai tersangka. Menariknya, dari 141 orang tersebut, 18 di antaranya merupakan aktivis dan jurnalis. Dilihat dari data ini, ada upaya pembungkaman serius terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia. Hal ini menjadi perhatian serius dan perlu menjadi bahan refleksi kita bersama terkait urgensi dan implementasi UU ITE di konsitutusi Indonesia. Larangan seseorang melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di UU ITE diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sedangkan sanksi bagi orang yang melakukan perbuatan itu diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016. Bunyinya, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.” Perlu diketahui, ketentuan di atas merupakan delik aduan. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 disebutkan, ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP. Ada enam macam penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di KUHP: penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP), penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP), fitnah (Pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP), pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP), perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP). Pakar hukum Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf mengatakan, sebuah norma hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman. Tanpa mengabaikan kepastian hukum serta memiliki kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Terutama pada tingkat penaatannya. Norma hukum juga harus dikerangkakan dalam kondisi siap uji secara objektif, dan memiliki daya paksa agar ditaati dan dihormati, serta dibuat sedemikian rupa. Supaya mudah dalam proses pembuktian. Dengan demikian, sepanjang tidak melanggar hak dan merugikan orang lain, warga masyarakat tidak boleh khawatir untuk menjalankan apa yang diyakini sebagai kebenaran dan mengembangkan bakat kesenangannya serta merasa diperlakukan secara wajar, berperikemanusiaan, adil, dan beradab. Sekalipun saat melakukan kesalahan. Terkait dengan pasal-pasal pada UU ITE yang dianggap multitafsir, Asep mengatakan, rumusan normanya memang diperlukan. Namun dalam pelaksanaannya berpeluang disalahgunakan dan dijalankan sewenang-wenang. Pasal-pasal “karet” tersebut menggunakan rumusan norma yang terbuka. Sehingga tidak memiliki kepastian hukum yang tinggi. Penulis berpendapat, dalam beberapa pasal di dalam UU ITE, banyak yang dirasa merupakan pasal karet dan multitafsir. Terkadang dijadikan alat untuk mempidanakan orang-orang yang menyampaikan pendapatnya di media sosial. Bahkan korbannya tak hanya masyarakat biasa. Para jurnalis yang merupakan pencari kabar dan penyebar informasi kepada khalayak pun turut terancam UU ITE. Padahal profesi jurnalis turut dilindungi konstitusi. Yaitu UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU ini diatur secara jelas dan rinci perihal prinsip, ketentuan dan hak-hak penyelenggara pers di Indonesia. Sehingga secara absolut dan konkret jurnalis memiliki kebebasan untuk melakukan kegiatan persnya. Namun hal ini tetap mengacu pada kode etik jurnalistik sebagai pedoman dalam mencari, menulis hingga menyebarluaskan berita. Sehingga secara nyata dan masif UU ITE berpotensi mencoreng kebebasan berpendapat di Indonesia, serta mencederai amanat UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Republik Indonesia. Penulis berharap pihak-pihak terkait baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif menyadari potensi-potensi negatif imbas UU ITE ini bagi kegiatan masyarakat Indonesia. Sehingga pasal-pasal karet dalam UU ITE perlu direvisi dan disempurnakan. (*Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unmul Samarinda)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: