Mengurai Duduk Perkara Konflik Hutan Adat (1): Melihat dari Dekat Desa Long Bentuq

Mengurai Duduk Perkara Konflik Hutan Adat (1): Melihat dari Dekat Desa Long Bentuq

Konflik hutan adat di Desa Long Bentuq, Kabupaten Kutai Timur sudah berlangsung belasan tahun. Masyarakat berupaya mempertahankan diri dari pengaruh eskpansi perusahaan sawit. Berbagai jalan keluar mengatasi persoalan sudah dilakukan. Mengapa selalu gagal?

nomorsatukaltim.com - Sengketa berlarut antara masyarakat adat Desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur dengan PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA), kembali memanas awal tahun ini. Tiga masyarakat adat sempat menjalani pemeriksaan, sebagai buntut penutupan akses perusahaan. Berbagai upaya negosiasi terus ditempuh guna menyelesaikan sengketa ini. Pekan lalu, saya dan berkesempatan mengunjungi salah satu wilayah pedalaman itu. Perjalanan kami mulai pada Minggu (14/3/2021) sekitar pukul 06.00 Wita. Perjalanan ke lokasi harus menembus jalur Hutan Tanam Industri (HTI) di Kecamatan Sebulu, Kutai Kartanegara. Ini merupakan jalur terdekat agar bisa lebih cepat sampai ke pelosok Busang. Bila dari Ibu Kota Provinsi Kaltim, perjalanan yang ditempuh menuju Busang diperkirakan hanya menghabiskan waktu selama 8 Jam saja. Berbeda apabila melalui jalur poros yang ada. Perjalanan akan terasa begitu lama. Karena memakan waktu hingga separuh hari, atau sekitar 12 jam. Dengan rincian waktu perjalanan sekitar 4 jam dari Samarinda menuju ke Sangata. Lalu sekitar 8 Jam, dari Ibu Kota Kabupaten Kutim menuju Kecamatan Busang. Itulah alasan, mengapa kami memilih melewati jalur paling terdekat tersebut. Namun sedikit informasi,  jalur ini tidak beraspal. Sejauh mata memandang, hanyalah jalan pengerasan tanah. Yang mudah ambles, becek dan licin, ketika sedang turun hujan. Kalau sudah begini, hal terburuk ialah bermalam di tengah hutan. Namun sebaliknya apabila matahari sedang terik-teriknya, maka jalanan akan berdebu. Belum lagi kemungkinan terburuknya ialah tersesat di jalan perkebunan sawit. Ini karena banyaknya persimpangan yang mirip dan tak ada tanda arah. Bila hendak melakukan perjalanan di jalur ini, persiapkan fisik dan mental. Bagi Anda yang mudah 'mabuk perjalanan', sangat disarankan untuk tidak melewati jalur ini. Sebenarnya, jarak antara Samarinda dan Busang itu tidak terlalu jauh karena tidak sampai 300 kilometer. Sehingga jika jalannya bagus, perjalanan bisa ditempuh hanya dalam waktu 4-5 jam. Namun karena kondisi jalan yang ekstrem, maka waktu tempuhnya menjadi dua kali lipat. Di tengah perjalanan, cuaca sesuai prakiraan. Hujan turun, ketika rombongan ini sampai di dermaga penyeberangan kapal feri di Kecamatan Sebulu. Kondisi hujan saat itu sebenarnya sedikit menimbulkan rasa khawatir rombongan kami. Yunus, sopir kami sudah menyampaikan, kondisi jalanan tanah yang diguyur hujan, akan membuat lintasan menjadi becek dan licin. Terburuknya, jalan tanah itu bisa sampai amblas. Namun Yunus dapat memastikan, kalau perjalanan kami nantinya tetap bisa berjalan lancar. Setelah menyeberangi Sungai Mahakam hingga sampai di daratan Sebulu Modern. Yunus nampak langsung mengencangkan sabuk pengaman dan memacu kendaraannya. Tak sampai satu jam, sampailah kami di Jalur HTI. Dan benar saja. Akibat diguyur hujan, jalanan tanah itu nampak begitu becek. Di tangan warga asal Desa Long Pejeng, Busang itu, mobil Inova keluaran 2012 yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, mampu melaju di angka 80 km per jam. Hal yang paling dikhawatirkan kami, apabila mobil tergelincir. Namun Yunus meyakinkan bahwa semua aman-aman saja. Jantung terasa berdebar begitu kencang. Satu persatu kendaraan besar pengangkut kayu hasil HTI pun berhasil Yunus disalip. Menurut Yunus, jalur seperti itu akan kami tempuh, sejauh 200 kilometer. Sehingga di sepanjang jalur ini, kami hanya dapat menikmati pemandangan jutaan hamparan pohon akasia. Selain itu, nampak pula kendaraan besar hilir mudik memanen pohon yang menjadi bahan kertas tersebut. Setelah melintasi ribuan hektare HTI dan perkebunan sawit, sampailah rombongan kami di Desa Long Bentuq, sekitar pukul 02.00 WITA.

MENDUNIA

Desa Long Bentuq merupakan salah satu daerah pedalaman di Kecamatan Busang. Desa ini dihuni sekitar 280 kepala keluarga dengan 1.000 jiwa. Lokasinya terletak di ujung Busang dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Muara Ancalong. Desa ini dibelah oleh sungai, dan terbagi menjadi dua kawasan dengan tujuh rukun tetangga atau RT. Sebagian besar warganya merupakan petani. Hingga saat ini, Desa Long Bentuq masih bernasib sama, dengan sebagian besar desa-desa yang ada di Kecamatan Busang. Yakni jauh tertinggal dari pembangunan. Fakta terkini, bahwa Kecamatan Busang masih tertinggal karena minimnya fasilitas maupun prasarana pendukung, seperti belum ada penerangan listrik dari PLN, belum ada perbankan, dan masih minimnya infrastruktur dasar masyarakat. Minimnya pembangunan, dikarenakan akses menuju Busang harus melalui jalan tanah, pengerasan yang rawan ambles, becek dan licin saat hujan. Untuk waktu tempuh dari Sangatta, Ibu Kota Kutai Timur menuju Kecamatan Busang sekitar delapan jam. Melewati Kecamatan Muara Wahau, dengan kondisi jalan rusak dan sebagian besar pengerasan melewati jalur perkebunan kelapa sawit. Sedangkan dari Kota Samarinda, waktu tempuhnya antara 8 sampai 10 jam dengan kondisi jalan yang lebih ekstrem. Atas kondisi itu, maka Busang merupakan kecamatan yang bukan hanya berstatus tertinggal. Tetapi juga ekstrem, sehingga perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah pusat dan daerah. Untuk dapat meningkatkan pembangunan, terutama di bidang infrastruktur dasar. Kondisi semua desa di Kecamatan Busang sebagian besar belum menikmati jaringan listrik dari PLN. Untuk mendapatkan pasokan listrik, sebagian warga yang mampu, membeli generator set atau genset. Untuk air bersih saja, belum semua desa mendapat pelayanannya. Sehingga hal ini juga menjadi prioritas bagi pemerintah terhadap Busang. Bisa dibilang, bahwa kondisi Busang saat ini belum merdeka. Baik merdeka dari gelap, merdeka dari kesehatan, merdeka dari pendidikan, dan merdeka dari kemajuan ekonomi. Hal yang paling terasa adalah belum merdeka secara ekonomi. Untuk petani yang hendak menjual hasil panen saja, sampai rela hasil panennya dijual dengan harga sangat murah. Dikarenakan ongkos angkutnya yang mahal. Akibat medannya yang ekstrem. Kecamatan Busang sesungguhnya termasuk wilayah yang kaya hasil pertanian dan perkebunan. Namun warganya tidak bisa sejahtera karena kesulitan memasarkan hasil produknya ke luar daerah seiring dengan akses jalan yang buruk. Akibat kondisi yang serba kesusahan seperti saat ini. Membuat sebagian petani di Kecamatan Busang, kekinian mulai beralih ke perkebunan sawit. Karena ada perusahaan sawit yang siap menampung. Selain itu, dikarenakan semua hasil pertanian, perkebunan, hingga perikanan sungai yang ada di kawasan itu saat ini, dianggap belum bisa mensejahterakan masyarakat. Harga jual hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan terlalu rendah akibat dari kondisi jalan yang memprihatinkan. Biaya angkut komoditas pertanian di daerah ini juga terlampau tinggi. Atas posisi tawar yang lemah ini, petani di Kecamatan Busang terpaksa menjual hasil panen dengan murah agar tetap bertahan hidup dari penghasilan yang diperoleh, walaupun sesungguhnya masih sangat rendah. (bersambung/aaa/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: