Tanggapi Kasus Penggunaan NIK di SIM Card, Castro: Bongkar Niat Pelaku

Tanggapi Kasus Penggunaan NIK di SIM Card, Castro: Bongkar Niat Pelaku

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah menanggapi pengungkapan kasus Unit Ekonomi Khusus (Eksus) Satreskrim Polresta Samarinda, yang menangkap dua pelaku penjual SIM card salah satu provider dengan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) orang lain.

Castro –sapaan akrabnya- mengatakan, kasus pencurian data elektronik seperti ini sudah beberapa kali muncul dan telah menjadi kontroversial di publik. "Ada kasus serupa dengan kasus ini, dan jika kita lihat aspek hukumnya bisa dikenakan dua ketentuan atau dua peraturan," katanya. Baca juga: Polresta Samarinda Ungkap 66 Ribu SIM Card Teregistrasi Orang Lain Dikarenakan medianya adalah SIM card, yang berarti sistemnya adalah elektronik. Maka pelaku, lanjut Castro dapat disangkakan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008. "Jika dalam Undang-Undang ITE tersebut, siapapun yang melawan hukum termasuk juga misalnya tanpa izin dari yang bersangkutan memindahkan dokumen pada media lain, itu bisa dikenakan Undang-Undang ITE itu," ungkap Castro. Castro mengatakan, karena kasus ini juga menyangkut dokumen kependudukan, kalau pelaku menjual untuk kepentingan data atau identitas kependudukan, bisa dikenakan juga di UU Administrasi Kependudukan Nomor 24 Tahun 2013. "Sepanjang dia menggunakannya untuk menjadi seolah-olah sebagai pemilik identitas, itu bisa juga dikenakan UU Administrasi Kependudukan. Tapi kalau digunakan untuk menjual, itu hanya bisa dikenakan dalam UU ITE Nomor 11 Tahun 2008," bebernya. Saat disinggung terkait hukum yang dapat menjerat penyedia NIK, Castro menjelaskan dapat dilihat dari masing-masing peran pelakunya. Jika ada upaya aktif dari pedagang atau yang menjualbelikan NIK dengan adanya niat, itu dapat dijerat. Karena jika berbicara pidana, juga berbicara tentang ada perbuatan dan ada niat. Maka dari itu, tugas penyidik mengurai peran dari masing-masing pihak yang terlibat. Jika terbukti tidak hanya pelaku yang melakukan upaya menjualbelikan SIM card dari data identitas kependudukan itu, dan penjual data NIK mempunyai niat untuk itu, dia bisa dijerat juga. "Jadi tergantung dari perannya masing-masing, nanti penyidik dari kepolisian akan mengurai apakah penjual (data NIK) memang memiliki niat dalam memperdagangkan atau tidak," jelasnya. Penyedia NIK Itu juga dapat dijerat dengan pasal 55 KUHP. Karena, lanjut Castro, ada yang melaksanakan langsung atau ada yang memerintahkan. “Ada yang membantu melakukan, jadi ada peran masing-masing dalam peristiwa pidana itu,” tandasnya. Baca juga: Polda Kaltim Amankan Pelaku Manipulasi Data NIK Registrasi Kartu Perdana Peluang RUU PDP Castro turut menanggapi terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP). Kata dia, RUU itu masih dalam perdebatan karena aspek keamanannya. Dikhawatirkan, dalam RUU tersebut ada semacam ancaman terhadap hak-hak untuk warga negara. Misalnya pemerintah diberikan kewenangan dengan sangat mudah membuka identitas warga negara. Hal itu masuk dalam kategori melanggar hak asasi manusia (HAM). "Jadi identitas itu bukan hanya menjadi haram dibuka oleh warga negara lain, tapi haram juga dibuka oleh pemerintah atau negara, terkecuali menyangkut adanya tindak pidana. Dari kepolisian pun bisa membuka identitas, jika adanya tindakan pidana dari yang bersangkutan," ujarnya. Jika berbicara mengenai urgensi kasus seperti yang diungkap Unit Eksus Satreskrim Polresta Samarinda, lanjut Castro, mencakup dua hal. Pertama, kuantitas kasus tersebut. Ini berbicara tentang seberapa banyak pengungkapan kasus. Kedua, kualitas dari kasusnya. Menurut Castro, jika melihat di sosial media banyak sekali keluhan dari warganet. Ada yang tiba-tiba datanya dibuka lalu disebarkan. “Misalnya yang pinjaman online ada yang tiba-tiba menghubungi kita menagih utang, padahal kita sendiri tidak mengetahui peminjam dan pemberi pinjaman, atau semacam ancaman yang masuk nomor kita, itu kan mengganggu,” katanya. "Mengenai seberapa besar kasus seperti ini dapat ditangani atau tidak, itu tergantung dari seberapa besar efek jeranya." ungkap Castro. Jika satu atau dua kasus tidak bisa ditangani atau dilacak sampai pada otak dari kejahatan itu, dan hanya menyasar pelaku yang di lapangan, Castro meyakini akan kembali terulang hal serupa. Kecuali kalau memang tiba-tiba banyak kasus yang ditangani hanya untuk memperkuat RUU, dan bisa jadi seperti itu. "Ada beberapa waktu lalu untuk memperkuat atau mendorong legitimasi membuat undang-undang, tiba-tiba ada semacam gejala sosial yang seolah beranggapan masyarakat butuh suatu RUU," jelasnya. "Padahal itu hanya skema ,dan itu bisa saja sengaja dibuat oleh oknum-oknum tertentu untuk mempercepat proses pengesahan RUU tertentu," ungkapnya. Kembali ke kasus di atas, Castro mengatakan tidak mengetahui pertimbangan penyidik dalam menjerat pelaku. Namun ada beberapa pasal yang dapat disangkakan, jika kemudian ada proses transmisi dokumen elektronik dari satu orang kepada orang lainnya dengan melawan hukum. "Kita percayakan kepada penyidik bagaimana proses ini bekerja dengan baik, dan tidak hanya menyasar dari para pelaku di lapangan, tetapi juga otak di balik perbuatan jahat ini juga dapat diringkus," tandasnya. Castro meyakini ada aktor-aktor di belakang dari kasus-kasus seperti ini. Karena jika data kependudukan dijual, itu bisa bermacam-macam motifnya. "Bisa jadi hal serupa (jual beli NIK) juga  motif politik, misalnya kemarin menjelang pilkada atau menjelang pilpres 2024 nanti, itu harus dibongkar," pungkasnya. (bdp/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: