RKUHP Menurut Pakar dan Akademisi Hukum; Abdul Haris Semendawai (1)

RKUHP Menurut Pakar dan Akademisi Hukum; Abdul Haris Semendawai (1)

Pemahaman Masyarakat Kurang, Sosialisasi Pemerintah dan DPR Lemah

RANCANGAN Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), masih menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Gelombang penolakan muncul dari berbagai daerah. Dilakukan oleh mahasiswa, pelajar dan kalangan masyarakat luas.

Yang menilai beberapa pasal dalam RKUHP tersebut, multitafsir dan berpotensi menjadi pasal “karet”.

Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Balikpapan (Uniba), Dr Abdul Haris Semendawai S.H.L.L.M. Menilai bahwa munculnya gelombang protes itu, disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat, terhadap pasal-pasal dalam RKUHP.

Sebaliknya. Pemerintah dan DPR juga minim publikasi. Bahkan tidak banyak melibatkan publik untuk mendiskusikannya. “Sehingga tidak ada harmonisasi dalam proses revisi itu,” katanya saat dihubungi DiswayKaltim.com Jumat (27/9/2019).

Menurutnya, langkah untuk merevisi UU KUHP tersebut sudah benar. Karena, sudah terlalu lama KUHP itu. Masih peninggalan Belanda.

"Kita memang harus punya KUHP hasil pemikiran kita sendiri. Yang sesuai dengan falsafah dan jiwa Indonesia," tuturnya.

Mantan Ketua LPSK itu juga mengungkapkan. Revisi UU itu, telah lama disiapkan dan sudah hampir disahkan. Namun akhirnya ditunda oleh Presiden dan DPR.

Gelombang penolakan itu muncul, kata Abdul Haris, awalnya karena revisi UU KPK. Namun karena waktu pengesahannya berdekatan, sehingga banyak yang menilai pembahasan revisi itu terburu-buru.

Masalah lainya, lanjut Haris. justru banyak draft RKUHP yang beredar di masyarakat adalah draft lama. Hasil revisi awal. Bukan yang terbaru.

"Itu juga menimbulkan masalah. Masyarakat tidak mengetahui pasal-pasal hasil revisi terakhir. Apalagi masyarakat kadang berbeda menginterpretasikan pasal-pasal dalam RKUHP tersebut," jelasnya.

Haris memberi contoh. Beberapa pasal yang sudah dihapus dan yang salah diinterpretasikan. Namun masih dipersoalkan.

"Contoh, pasal tentang perempuan yang hamil tapi tidak jadi dinikahi. Itu kan sudah dihapus," katanya.

Lalu, pasal tentang perempuan yang keluar rumah diatas jam 10 malam. Denda Rp 10 juta. Itu tidak serta merta seperti itu.

Pasal lain yang menjadi polemik. Tentang hewan ternak yang masuk kebun orang lain. Serta pasal tentang pelaku santet. Itu sebenarnya sudah ada dari dulu. Dendanya saja yang disesuaikan dengan kondisi sekarang.

Kemudian, pasal tentang penghinaan presiden. Itu kan sudah pernah dibatalkan MK. Namun ada yang mengajukan judicial review, sehingga masuk lagi dalam RKUHP.

"Memang semestinya, ada penjelasan dari panitia atau DPR maupun Pemerintah. Terutama untuk pasal-pasal yang menimbulkan polemik itu," jelas Haris.

Hal lain, yang menimbulkan kerancuan pada revisi KUHP itu, lanjut Haris lagi, adalah cara penyusunannya.

Pada KUHP lama terdiri atas tiga bagian. Yakni buku satu yang memuat ketentuan-ketentuan umum. Buku dua memuat tentang kejahatan. Dan buku tiga pelanggaran.

Pada KUHP hasil revisi, hanya terdiri dari dua bagian. Buku satu ketentuan-ketentuan umum, buku dua dan buku tiga digabung, yaitu tentang kejahatan dan pelanggaran.

"Penggabungan itu menimbulkan kerancuan. Bikin kacau pemahaman masyarakat. Karena beda penanganannya. Antara kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dihukum sementara pelanggaran hanya didenda," jelas dosen mata kuliah kejahatan korporasi itu.

Tidak hanya itu, tambahnya, beberapa lembaga negara yang berkepentingan dalam revisi UU KUHP, juga merasa tidak dilibatkan dalam pembahasannya.

"Contohnya; pasal tentang tindak pidana korupsi yang tidak melibatkan KPK. Kemudian pasal tentang kejahatan pelanggaran HAM berat, tidak melibatkan Komnas HAM. Serta beberapa pasal yang mengatur tentang pengrusakan lingkungan. Itu tidak melibatkan KLHK," Jelasnya.

Untuk itu, doktor bidang hukum itu pun menyarankan, agar semua pihak menyadari kelemahannya masing-masing.

"Harapannya pemerintah mau lebih terbuka dalam proses penyusunan revisi UU KUHP. Masyarakat juga tidak serta merta melakukan penolakan. Sebelum benar-benar memastikan kebenarannya dan memahami maksud dari setiap pasalnya," imbuh Haris. (das/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: