Pembayaran Ganti Rugi Lahan Tol Balsam Tak Kunjung Tuntas

Pembayaran Ganti Rugi Lahan Tol Balsam Tak Kunjung Tuntas

Putusan Pengadilan Negeri Balikpapan soal konsinyasi lahan tol Balikpapan-Samarinda atau Tol Balsam, bak macan ompong. Perintah pembayaran ganti rugi kepada petani dan pemilik tanah belum terealisasi. Simalakama bagi pemerintah.

nomorsatukaltim.com - Putusan Pengadilan Negeri Balikpapan pada Agustus tahun lalu mengabulkan Permohonan Konsinyasi, atau pemberian ganti rugi kepada pemilik lahan. Ada tujuh pemilik lahan yang ditetapkan menerima konsinyasi sebesar Rp 1,4 miliar. Nama-nama Termohon Konsinyasi tercantum dalam Surat Penetapan PN Balikpapan No 32/Pdt.P.Kons/2020/PN Bpp. Meski permohonan itu dikabulkan Pengadilan, salah satu Termohon, Pangeran (48), belum menerima pembayaran. Hal itu terjadi lantaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Balikpapan tak bisa mengeluarkan surat pengesahan. Alasannya, lahan warga masih berstatus kawasan Hutan Lindung. "Sebelum adanya konsinyasi itu, ada proses panjang. Validasi data, pematokan hingga verifikasi lagi sampai masuk persidangan.” “Pada akhirnya ada putusan Pengadilan yang menyatakan warga berhak mendapat ganti rugi atas lahan itu," kata Pangeran. Soal status lahan, ia menjelaskan, sejak tahun 1960 warga sudah bermukim dan berladang di lahan tersebut. Ditambah lagi kedatangan para transmigran dari Sulawesi dan Jawa. Sejak ramainya aktivitas di kawasan itu, pada 1996 warga berinisiatif mengurus legalitas tanah. “Tapi tidak bisa terwujud. Padahal sejak orang tua kami mendiami kawasan itu, statusnya tidak ada. Apalagi, tahun 1965 warga transmigrasi ditaruh di situ juga," ujar Pangeran. Sejak saat itu ia bersama pemilik lahan mulai aktif mencari tahu cara mengurus legalitas. Berbekal hak garap dan segel, warga mengurus menjadi sertifikat. Selama bertahun-tahun. Bahkan surat legalitas warga terkendala status hutan lindung. "(Padahal) Hutan lindung itu dulunya ada di Balikpapan Baru hingga RSKD. Entah mengapa bisa dipindahkan ke lokasi kami. Itu berdasarkan putusan Menteri Kehutanan," klaim Pangeran. Seiring berjalannya waktu, akhirnya warga mendapat restu. Kepala BPN Balikpapan yang merupakan Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum mulai melakukan validasi data. Dalam kegiatan pengukuran yang dihadiri perwakilan KLHK, ditetapkan lahan warga seluas 21 hektare. Belakangan meski pengadilan sudah menetapkan pembayaran ganti rugi, pencairan dana terhambat penetapan KLHK. Karena itulah, berulang kali masyarakat menggelar unjuk rasa. Baik di kawasan tol, maupun Kantor BPN. Untuk menyelesaikan persoalan ini, Kepala BPN, Ramlan disebut berkonsultasi dengan pemerintah pusat Bersama perwakilan pemilik lahan. “Di sana semuanya dijelaskan. Mulai latar belakang status hutan lindung di lahan warga. Sampai harus ada lagi perubahan yang dibuat oleh KLHK mengenai ganti rugi itu.” "KLHK harus mencabut status hutan lindung di lahan kami. Atau mengeluarkan surat rekomendasi lainnya," tegas Pangeran. Namun sampai tahun berganti, kabar yang dinanti tak menghampiri. "Sampai saat ini kami tidak mendapat jawaban apa-apa. Enggak tahu ada apa ini," katanya. Jika hak 39 bidang tanah hak mereka tidak ada kejelasan, “bisa saja lagi-lagi warga akan menutup jalan tol,” kata Pangeran. Sementara Kepala BPN Balikpapan, Ramlan, enggan menjelaskan persoalan itu. “Menunggu surat KLHK saja,” jawabnya.

SERBA SALAH

Lambannya pembayaran ganti rugi lahan dinilai wajar oleh praktisi hukum, Wawan Sanjaya. Ia menilai perlu kehati-hatian, karena menggunakan uang negara. Hal itu, menurut Wawan, untuk menghindari kesalahan prosedur dalam proses penyalurannya. "Yang terpenting adalah terkait dengan legal standing pihak yang yang berhak untuk menerima pembayaran tersebut," ujarnya. Prinsip kehati-hatian diperlukan agar tidak menimbulkan masalah hukum dikemudian hari. Ia menilai tepat sikap BPN menunggu status kawasan hutan lindung dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Karena jangan sampai pembayaran sudah dilakukan dikemudian hari ternyata status kawasannya adalah hutan lindung. Tentu ini bisa bermasalah karena negara membayar pada subyek yang tidak tepat," tegasnya. Penasehat Hukum KPUD Balikpapan ini menilai pemerintah berada pada posisi sulit. Pasalnya, jika tidak melakukan pembayaran ganti rugi, sama artinya dengan mengakui bahwa jalan tol dibangun di kawasan hutan lindung. “Padahal, dengan status hutan lindung, artinya tidak boleh ada aktivitas pembangunan di sana. Apakah pemerintah mau disebut sebagai pelanggar hukum?” Masyarakat Balikpapan menggugat ganti rugi lahan mereka yang terlintasi Seksi I Tol Balikpapan Samarinda. Lahan yang bersengketa membentang antara km 23 Karang Joang, hingga Km 26 Samboja, Kutai Kartanegara. Persoalan serupa juga dialami warga di km 38, menyebabkan 48 kepala keluarga mengadu ke DPRD Kaltim. Perkara itu, kini masih ditangani anggota dewan. (bom/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: