Pembacaan Eksepsi, Hakim-Kuasa Hukum Firman Berdebat

Pembacaan Eksepsi, Hakim-Kuasa Hukum Firman Berdebat

Ketegangan terjadi dalam persidangan Firman Rhamadan, mahasiswa yang jadi terdakwa dalam kasus dugaan membawa senjata tajam (sajam) dalam aksi penolakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Bukan antara kuasa hukum dengan jaksa, justru kuasa hukum dengan majelis hakim.

nomorsatukaltim.com - MUSABAB perdebatan itu saat kuasa hukum memohon beberapa hal kepada majelis hakim sebelum persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda itu usai. Saat itu, kuasa hukum meminta kepada majelis hakim, agar terdakwa diberikan kesempatan memeriksakan kesehatannya. "Mohon, Yang Mulia. Kami kuasa hukum terdakwa meminta kepada majelis hakim, agar JPU (Jaksa Penuntut Umum) dapat diperintahkan untuk memeriksakan kesehatan terdakwa," ucap kuasa hukum Firman, Fathul Huda dalam persidangan dengan agenda pembacaan eksepsi, Rabu (3/2/2021). "Terkait itu, terdakwa ini statusnya sekarang adalah tahanan majelis hakim yang kemudian dititipkan ke Rutan. Sebaiknya, kuasa hukum silakan menyampaikan permohonan itu ke Rutan," jawab Ketua Majelis Hakim, Edy Toto Purba didampingi Agus Raharjo dan Hasrawati Yunus sebagai hakim anggota. Disampaikan kuasa hukum terdakwa, sejak menjalani masa tahanannya, Firman mengeluhkan sakit di bagian kepala. Akibat diduga mendapatkan sejumlah penganiayaan dari aparat kepolisian, ketika aksi unjuk rasa terjadi kericuhan. Sehingga diperlukan untuk dilakukan pemeriksaan demi mengetahui sebab pasti keluhan sakit terdakwa. "Kalau begitu, sebaiknya terdakwa silakan memeriksakan kesehatannya dahulu ke klinik di Rutan. Apabila harus dirawat di luar (rumah sakit), maka kami akan memberikan izinnya," kata ketua majelis hakim kepada terdakwa. Selain itu, ketiga kuasa hukum ini juga meminta, agar dapat difasilitasi pertemuan. Antara terdakwa dengan kuasa hukumnya. "Kami dari awal tidak bisa berkomunikasi dengan terdakwa. Kami minta majelis hakim agar memerintahkan dan memfasilitasi kami agar dapat bertemu dengan terdakwa, terkait komunikasi masalah hukumnya," kata Fathul Huda lagi. Disampaikan ketua majelis hakim, di tengah pandemi COVID-19 saat ini, tidak ada kuasa hukum yang dapat ditemukan dengan terdakwa. Dengan alasan protokol kesehatan guna keselamatan para penghuni Rutan itu sendiri. "Sekarang ini masalahnya adalah situasinya. Karena pandemi COVID-19, jadi tidak bisa leluasa untuk bertemu. Mumpung ada kesempatan di ruang sidang ini, sebaiknya disampaikan, apa yang mau disampaikan kepada terdakwa sekarang," ucap ketua majelis hakim. Namun saran itu tak diterima pihak kuasa hukum. Yang ingin agar majelis hakim dapat memfasilitasi pertemuan antara terdakwa dengan kuasa hukumnya. "Saya sampaikan, jadi ini tidak hanya terdakwa saja yang tidak bisa ketemu dengan penasihat hukumnya. Kuasa hukum tadi bicara soal keselamatan rakyat adalah segala-galanya. Kami ini sedang menjalankan itu," tegas Hasrawati Yunus, anggota majelis hakim. "Jadi tolong dipahami, bahwa kondisi seperti ini tidak ada yang mau. Semua terdakwa tidak bisa bertemu dengan kuasa hukumnya. Kalau soal sakit, silakan terdakwa memeriksa kesehatannya ke klinik kesehatan. Jadi bukan hanya saudara kuasa hukum yang tidak bisa bertemu dengan kliennya. Tapi semuanya," sambungnya. Majelis hakim pun bersepakat permintaan kuasa hukum terkait fasilitas pertemuan dengan terdakwa, ditolak di dalam persidangan. Dengan alasan protokol Kesehatan di tengah pandemi COVID-19 saat ini. * Sementara eksepsi yang dibacakan ketiga kuasa hukum terdakwa ini di awal persidangan, adalah tanggapan keberatan atas dakwaan JPU Melati dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda. Yang telah menjerat terdakwa dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang (UU) Darurat 12/1991. Sejak kembali dibukanya persidangan pada Pukul 17.00 Wita, ketua majelis hakim langsung memberikan kesempatan ketiga kuasa hukum terdakwa, membacakan isi dari keberatan atas dakwaan yang diberikan kepada terdakwa. Berkas eksepsi setebal 14 lembar itu dibaca secara bergantian oleh ketiga kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Tim Advokasi Untuk Demokrasi Kaltim itu. Singkatnya, ada empat poin penting kesimpulan dan permohonan eksepsi yang diajukan di dalam persidangan. "Bahwa surat dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa Firman Rhamadan, terbukti  tidak cermat, jelas, dan lengkap. Menyebabkan batalnya surat dakwaan tersebut karena obscuur libel atau kabur," ucap Zaini Afrizal ketika membacakan berkas eksepsi, dengan didampingi Bernard Marbun dan Fathul Huda. Lanjutnya, kuasa hukum terdakwa mengatakan tindak pidana yang didakwakan JPU kepada terdakwa Firman Rhamadan, tidak dapat diproses dalam semua tingkat pemeriksaan. Mulai dari penyidikan, penuntutan dan peradilan. "Akibat hukum yang melekat dalam kasus ini, hak jaksa penuntut umum menuntut terdakwa Firman Rhamadan dalam perkara ini gugur atau batal demi hukum," tegasnya. "Meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan gugur hak jaksa penuntut umum melakukan penuntutan dalam perkara ini, atau demi hukum peristiwa pidana yang didakwakan tidak dapat dituntut," sambungnya. Disampaikan pula di dalam persidangan, latar belakang dilakukannya aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja atau omnibus law yang kala itu berlangsung di DPRD Kaltim. Hingga kronologi singkat terjadinya aksi demo berujung ricuh dan tertangkapnya terdakwa dalam peristiwa itu. Serta dilakukannya penahanan hingga penetapan tersangka yang kemudian naik status menjadi terdakwa. "Bahwa setelah mempelajari surat dakwaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa Firman Rhamadan dalam perkara a quo, maka sudah seharusnya surat dakwaan jaksa penuntut umum batal demi hukum," kata Bernard Marbun membacakan berkas eksepsi. Disampaikannya, surat dakwaan yang diajukan JPU tidak memenuhi ketentuan syarat materiel. Yakni Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Yang dimaksudkan adalah, suatu surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. "Selanjutnya Pasal 143 ayat (3) KUHAP secara tegas menyebutkan, bahwa bila tidak dipenuhinya syarat-syarat materiel sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b. Maka surat dakwaan menjadi batal demi hukum atau null and void. Yang berarti sejak semula, tidak ada tindak pidana seperti yang dilukiskan dalam surat dakwaan itu," sambung Bernard Marbun. Setelah mendengarkan bacaan eksepsi dari ketiga kuasa hukum. Ketua Majelis Hakim Edy Toto Purba kemudian meminta kepada JPU Melati, untuk mempersiapkan tanggapan atas eksepsi yang telah disampaikan terdakwa melalui Kuasa Hukumnya. Dengan waktu selama satu minggu. Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, kuasa hukum terdakwa menyampaikan terkait maksud dari empat poin eksepsi yang disampaikan di dalam persidangan. Poin pertama adalah fakta dari aksi tolak UU Omnibus Law. "Kenapa sih aksi tolak omnibus law itu dilakukan. Abis itu kita masuk ke syarat materiel dari sahnya dakwaan. Yang terakhir itu, permohonan kepada majelis hakim untuk menyatakan bahwa dakwaan itu adalah batal demi hukum," ungkap Fathul ditemui usai persidangan. Lanjut Fathul mengatakan, syarat materiel tidak memenuhi yang dimaksud adalah, JPU tidak menjabarkan mengapa terdakwa sampai bisa membawa badik. "Lalu motifnya apa dan apa akibatnya. Itu tidak dijelaskan dalam dakwaan," jelasnya. Sementara hal itu adalah pokok tersebut dianggapnya sangat esensial dan sesuai modul diklat Kejaksaan Agung. "Jadi mereka sendiri yang mengeluarkan, lantas tidak dilaksanakan oleh para jaksa ini. Kan aneh," tegasnya. Selain menyampaikan nota keberatan di dalam persidangan, Kuasa hukum juga meminta agar dapat dipertemukan dengan terdakwa, perihal konsultasi masalah hukumnya. "Bahwa dari pertama ditetapkan sebagai tersangka sampai sekarang ini, tim kuasa hukum tidak pernah bertemu. Sementara, ada pihak lain yang dapat bertemu dengan tersangka ini di sel Polresta waktu itu," ungkap Fathul Huda lagi. "Jadi kami bertanya, ini ada apa? Yang lain bisa bertemu kok kami tidak bisa ketemu dengan Firman? Jadi kalau untuk koordinasi belum pernah ada, bagaimana pembelaan kita bisa maksimal kalau koordinasi saja enggak pernah dibangun," sambungnya. Saran majelis hakim untuk kuasa hukum berkonsultasi dengan kliennya di dalam ruang sidang pun terpaksa ditolak mereka. "Lalu majelis hakim menyarankan kita untuk pake Zoom-nya pengadilan. Kita lihat tadi, setelah kami sidang ada sidang yang lain. Bagaimana kita mau koordinasi? Ini gila," tandasnya. Bernard Marbun menyebut, majelis hakim terkesan menunggangi COVID-19. "Jadi ketahuan ya bahwa majelis itu menunggangi daripada COVID-19 sebenarnya. Karena di wilayah lain, katakanlah di Jakarta saja mereka masih memperbolehkan para penasihat hukum untuk menerima dan bertemu dengan kliennya," ucapnya. Menurutnya, kuasa hukum tetap bisa bertemu dengan kliennya. Mengingat Samarinda saat ini sedang tidak melaksanakan PSBB. "Tapi ini kok ketat banget macam kayak apa gitu loh. Ini kan dalam rangka kita untuk pendampingan terhadap klien kami. Itu haknya dia. Kita enggak bisa gara-gara covid seperti ini, baru mengesampingkan hak daripada klien kami," pungkasnya. (aaa/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: