Pengupasan Lahan Tak Berizin, Pemerintah dan Rakyat yang Rugi

Pengupasan Lahan Tak Berizin, Pemerintah dan Rakyat yang Rugi

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Masifnya proses pematangan lahan tak berizin dinilai Pengamat Ekonomi Hairul Anwar telah membawa kerugian besar bagi ekonomi. Yang mungkin belum disadari pemerintah saat ini. Hairul melihat ada kerugian yang akan ditanggung. Baik langsung maupun tidak langsung. Maraknya aktivitas ilegal itu dikritik keras anggota DPRD Samarinda, Jasno, beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, pengupasan lahan yang nyaris tak terkendali dilakukan tanpa mengantongi izin terlebih dahulu. Di lain sisi, Jasno menilai ada pembiaran oleh pemerintah terhadap pihak-pihak yang cenderung baru mau mengurus izin setelah menyelesaikan kegiatan pengupasan lahan. Kepala Dinas Pertanahan Kota Samarinda Syamsul Komari mengakui pihaknya terbatas dalam melakukan pengawasan. Syamsul berharap kepada masyarakat, media dan pemerintah di tingkat kecamatan serta kelurahan aktif melaporkan. Apabila menemukan aktivitas pematangan lahan yang terindikasi ilegal. Dalam catatan media ini, sepanjang Januari 2020, sedikitnya tiga lokasi pematangan lahan disegel Satpol PP bersama sejumlah OPD teknis. Yang di antaranya adalah Dinas Lingkungan Hidup, Dinas PUPR dan Dinas Pertanahan Kota Samarinda. Tiga lokasi itu berada di Kecamatan Palaran. Tepat di sisi jalan masuk Stadion Utama Kaltim. Dua lokasi berada di Jalan P Suryanata, Kelurahan Bukit Pinang, Kecamatan Samarinda Ulu. Di Palaran, aktivitas pematangan lahan diketahui belum mengantongi izin. Sementara aktivitas serupa yang terjadi di Kelurahan Bukit Pinang, dihentikan karena perusahaan belum mendapat persetujuan site plan pembangunan kawasan pergudangan. Serta melakukan pembangunan sejumlah gedung tanpa memiliki Izin Mendirikan Bangunan. Temuan tersebut sejatinya mengindikasikan bahwa masih banyak aktivitas ilegal serupa yang tidak terdeteksi oleh pengawasan instansi teknis yang berwenang. Disway Kaltim berupaya mengakses data-data jumlah penindakan terhadap perbuatan melanggar ketentuan itu ke tiga instansi teknis. Namun, hingga Jumat (29/1) pekan lalu, tak satupun yang dapat menyajikannya. Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kota Samarinda Nufida Pujiastuti mengatakan belum bisa memaparkan data tersebut. Ia mengaku belum merampungkan proses perekapan data. Sedangkan Kepala Dinas Pertanahan Syamsul Komari, mengatakan masih harus mengecek kepada stafnya. Ia akan memberi informasi lebih lanjut. Pun demikian dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Samarinda. Membawa Kerugian bagi Ekonomi Pengamat Ekonomi Hairul Anwar menyebut ada kerugian besar dari sisi ekonomi yang ditanggung daerah. Dengan adanya penurunan luas tutupan lahan secara masif. Dari sisi ekonomi, akademisi dari Universitas Mulawarman itu melihat dampak tidak langsung sudah terjadi. Yakni berkontribusi besar terhadap penurunan kualitas lingkungan. Yang kemudian menjadi faktor penyebab utama persoalan banjir di Samarinda. Dan pada akhirnya, banjir tersebut lah yang menjadi salah satu penghambat jalannya aktivitas perekonomian di Kota Tepian. "Ini sangat penting untuk dikurangi (pengupasan lahan, red). Samarinda ini kan hujan sedikit saja sudah banjir. Saya berharap hal-hal begitu itu berhentilah," tutur pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unmul, Jumat (29/1). Hairul menceritakan, dulu, banjir di Samarinda masih bisa disebut hanya di wilayah-wilayah tertentu. Namun sekarang banjir yang terjadi telah meluas ke banyak wilayah kota. Wilayah yang dulunya tergenang ketika banjir, kini masih tetap tergenang. Kemudian bertambah wilayah yang sebelumnya tidak tergenang, juga ikut terendam. Ia mencontohkan, pemerintah daerah membangun Bandara APT Pranoto Samarinda agar membangkitkan gairah perekonomian daerah. Namun nyatanya, mobilitas orang menuju bandara itu kerap terhambat akibat banjir. Menurutnya, itu salah satu bukti nyata yang menunjukkan bahwa banjir telah berdampak pada aktivitas perekonomian. Ia pun berpendapat, mau tidak mau harus diakui, masifnya penurunan tutupan lahan ujungnya akan menimbulkan bencana yang kemudian menghambat perekonomian. Underground Ekonomi Di lain cerita, Chairul mengatakan, pada akhirnya pemerintah daerah yang akan menanggung kerugian yang ditimbulkan akibat maraknya aktivitas pematangan lahan yang tidak berizin. "Dan akhirnya kan, lahan yang sudah terlanjur dikupas akan memberatkan pemda sendiri. Menanggung akibatnya. Dengan menangani dampaknya. Bahkan kalau mau dipulihkan juga menggunakan anggaran pemkot," ujarnya. Ia berpandangan, masifnya kegiatan ilegal semacam itu, terjadi karena pelaku tidak merasakan kerugian besar secara langsung. Hingga mereka berani melakukan aktivitas bahkan sebelum memiliki izin. "Kalau orang yang kerja duluan (tanpa izin, red), ada kah aturannya dia bisa didenda dan segala macam. Kalau hukumannya sekadar dipidana, ditutup atau pencabutan izin, toh itu gampang saja buat mereka," singgungnya. Sementara itu, menurutnya, ketika para pelaku mengurus izin sebelum berkegiatan. Pun itu belum memberi kontribusi apapun bagi daerah. Mereka baru memberi imbal balik ketika sudah melakukan eksplorasi terhadap lahannya. Membangun konstruksi dan sejenisnya. "Kalau sudah itu baru ada biaya. Pajak dan sebagainya. Karena baru ada aktivitas perekonomian yang melibatkan pekerja. Sehingga ada perputaran modal," papar Hairul. Namun, tambahnya lagi, apapun aktivitas yang dilakukan secara ilegal tentu saja merugikan. Sebab aktivitas perekonomian itu tidak tercatat oleh administrasi pemda. Hairul berkata, dalam ilmu ekonomi hal semacam itu disebut underground ekonomi. Yaitu aktivitas ekonomi yang dilakukan secara ilegal, sehingga tidak tercatat sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Imbasnya, PDRB daerah ini tidak mencerminkan kegiatan perekonomian yang sesungguhnya. Akibat yang lebih besarnya, pemerintah bisa salah arah dalam menentukan kebijakan pembangunan. "Karena datanya tidak mendukung." Sehingga, jelas Hairul, semakin besar aktivitas ilegal di suatu daerah, tandanya ada underground ekonomi yang besar. Maka, kian besar pula bias penyimpangan PDRB daerah tersebut dari keadaan sesungguhnya.  "Itu bisa membuat pemerintah salah arah dalam menentukan kebijakan," pungkasnya. (das/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: