Cipta Raja karena Sistem Pilkada

Cipta Raja karena Sistem Pilkada

Sebagian pelaku usaha bersorak-sorai dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja. Terutama karena ini; proses perizinan bisa lebih sederhana. Biayanya juga dianggap lebih murah. Tapi, apakah betul otonomi daerah (Otda) selama ini menciptakan “raja-raja” daerah? Melanggengkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta kapitalisme birokrasi?

nomorsatukaltim.com - JULI 2019, Kata Data melansir 114 kepala daerah terjerat kasus korupsi sepanjang 2004 – 2019. Di antara kasus tersebut paling banyak kasus suap. Sumbernya laporan tahunan KPK. Pada tahun 2019, ada 70 pengembangan perkara yang ditangani KPK. Sementara laporan 2020 sepertinya belum keluar. Kasus Bupati Kutim Ismunandar dan istrinya belum tercatat di laporan tersebut. Kendati demikian, Kalimantan Timur (Kaltim) termasuk zona merah dalam laporan tahunan 2019 itu. Setelah DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Lampung. Selama kurun waktu tersebut, profesi yang paling banyak terjerat adalah swasta. PNS menempati urutan kedua. Jika laporan tahunan 2020 keluar, bisa saja rangking Kaltim tambah merah lagi. Data tersebut menguatkan bahwa otonomi daerah yang kebablasan telah menciptakan pemerataan praktik korupsi hingga ke berbagai daerah. Pun banyak melibatkan para kepala daerah serta aparatur sipil di daerah. Ini pula yang mengindikasikan bahwa percepatan pembangunan infrastruktur di daerah berjalan lamban. Terkait hal itu, Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim Muhammad Sa'bani menyebut, adanya otonomi daerah (otda) justru memberi manfaat. Itu turut dirasakan oleh Kalimantan Timur (Kaltim). Dengan Otda itu akhirnya Kaltim mampu menciptakan berbagai peningkatan dana pembangunan yang dihasilkan daerah. Serta memberikan kontribusi yang lebih besar pada kepentingan pelayanan publik. "Kita bisa menstimulus perekonomian di daerah. Sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan partisipasi sekolah terus membaik. Dan berbagai indikator lainnya juga terus membaik," ujar Sa'bani, membeberkan manfaat otda di Kaltim. Sa'bani menilai dengan adanya kewenangan otda, dapat membantu proses pengambilan keputusan yang cepat. Misalnya dalam penanggulangan COVID-19 di daerah, pemda dapat melakukan langkah-langkah  produktif untuk memberikan pelayanan dan penanganan di masa pandemi. Ia menepis persoalan “raja daerah” hanyalah anggapan relatif dan tidak komperehensif. "Itu sih tergantung penilaian saja. Kalau saya, saya rasa tidak bisa saya jadi raja. Yang dimaksud raja saya juga tidak paham," ucapnya. Sementara terkait praktik korupsi di daerah, kata dia, hal itu terlepas dari kebijakan otda. Karena kebijakan otda murni hanya untuk membagi kewenangan untuk mengurus daerah. Sesuai fungsi dan ketetapan yang berlaku. Praktik korupsi, menurut dia, lebih disebabkan oleh sistem pemilihan kepala daerah selama ini. Yang memaksa orang untuk mengeluarkan banyak uang dalam kontestasi pemilihan umum. Praktik korupsi pun bersifat kasuistik. Dan tergantung pada integritas seseorang. Sehingga tidak bisa dihantam merata apalagi dikaitkan sebagai implikasi negatif dari otda. "Korupsi yang dilakukan berbagai pihak. Baik di daerah dan pusat. Itu karena sistem pemilihan yang harus memiliki dana besar. Sehingga jadi beban setelah menjabat," sebutnya. Untuk mengatasi praktik korupsi itu, menurut Sa'bani perlu ada pembenahan sistem pemilihan umum di Indonesia. Dengan memformulasikan sistem yang bisa menekan pembiayaan di seluruh proses kontestasi pemilihan umum. Baik  pemilihan kepala daerah, legislatif, hingga pemilihan presiden. Namun, katanya, peluang korupsi akan selalu ada. Selama ada kewenangan mengelola sesuatu yang menghasilkan. Risiko korupsi akan selalu hadir. Kembali lagi pada sikap dan integritas personal. Sementara, terkait pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan yang dinilai lamban, semua itu tergantung ketersediaan alokasi dana. Di Kaltim khususnya, yang memiliki kawasan daerah yang relatif luas, maka perlu dana besar dan waktu untuk membangun infrastruktur. Sama halnya dengan Pemkab Kutai Timur (Kutim) yang merasakan betul bagaimana Otda berjalan. Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Kutim, Irawansyah menyebutkan bahwa terbukanya akses jalan ke-18 kecamatan jadi contohnya. Walaupun akses jalan tersebut hanya sampai di pusat kecamatan saja. Jadi, meski berjalan lamban. Otda sebenarnya dirasakan manfaatnya di Kutim.

HARUS DIBARENGI KONTROL PUBLIK

Pengamat Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, menilai otonomi daerah adalah mandat reformasi 1998. Semangat otonomi daerah ini, dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Serta sebagai upaya melahirkan kesejahteraan sekaligus pemerataan pembangunan. Terkait dengan terbentuknya “raja daerah”, menurut Herdi, itu karena otonomi daerah tidak diimbangi dengan kontrol publik. Sehingga pada akhirnya, otonomi daerah hanya memunculkan dominasi dari kelompok tertentu. Dengan kepentingan sebagian pihak. "Isu pemekaran misalnya, kan rata-rata diwacanakan elite politik, bukan kehendak mayoritas akar rumput," ujar Dosen Fakultas Hukum Unmul, yang karib disapa Castro ini. Ia juga menilai, adanya otonomi daerah juga membuka peluang praktik korupsi. Karena secara kasat mata, korupsi memang lahir karena adanya kewenangan dan anggaran. Dan otonomi daerah mensyaratkan keduanya. "Tapi tidak sesederhana itu. Bukan otonomi daerah yang membuat korupsi menjamur di daerah. Tapi karena memang otonomi daerah yang tidak linier dengan kesadaran publik, sehingga kontrol juga lemah," jelasnya. Banyaknya masalah otonomi daerah ini, semakin diperparah dengan hadirnya UU Cipta Kerja. Yang dinilai mencederai tujuan otonomi daerah. Karena banyak mengambil alih kewenangan daerah ke pemerintah pusat. Herdi menyebut, hampir semua kewenangan daerah di take-over ke pusat. Mulai dari pertambangan, perkebunan, sumber daya air, pesisir dan pulau kecil, penataan ruang, hingga ke soal lingkungan hidup. Hal ini, menyebabkan potensi kehilangan pendapatan yang sangat besar dari pemangkasan perizinan di daerah. Karena penarikan kewenangan bermakna hilangnya anggaran terhadap kewenangan yang selama ini dikelola daerah. "Tinggal kewenangan yang tidak berkaitan dengan investasi. Seperti pendidikan dan kesehatan yang masih tersisa di daerah," ucap Herdi. Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Kukar Sunggono juga tidak sepakat jika otonomi daerah dianggap membangun “kerjaan” di daerah. Apalagi saat ini. Sudah ada pengawasan langsung dari pemerintah pusat, melalui perwakilannya di tiap daerah. Seperti kepala daerah di tingkat provinsi. "Saya kira tidak terlalu tepat jika ada anggapan seperti itu," terang Sunggono saat ditemui Harian Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com, baru-baru ini. Terlebih lagi, kata Sunggono, saat ini sudah adanya keterbukaan informasi kepada masyarakat. Adanya perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di daerah. Tentu ini dirasa cukup untuk mencegah timbulnya potensi penyimpangan kebijakan. Ya meskipun ada saja yang "kecolongan". Karena tidak adanya pengawasan yang dilakukan secara maksimal dan optimal. (krv/mrf/bct/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: