Nasib Otda setelah Cipta Kerja
Kehadiran omnibus law yang memangkas kewenangan daerah, dianggap kontra produktif dengan semangat otonomi daerah (Otda). Padahal Otda adalah amanat dari reformasi. Dengan kata lain, berlakunya aturan sapu jagat ini juga akan memperkecil peluang pendapatan daerah. Apa benar demikian?
nomorsatukaltim.com - KETIKA Alwi Shihab, keliling menjadi duta besar di Timur Tengah pada zaman Presiden SBY. Ia datang membawa investor dari negara-negara OKI—Organisasi Kerja Sama Islam. Dulu namanya Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebelum diubah pada tahun 2011. Ratusan juta dolar mau mereka investasikan di Indonesia. Mereka diterima Presiden SBY. "Oh bagus-bagus mau investasi". Kemudian Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan karpet merah kepada para investor tersebut. Sesudah mau dieksekusi, kok malah tidak bisa. Karena katanya bertentangan dengan undang-undang ini. Dengan peraturan itu. “Sehingga akhirnya pulang. Itu sebabnya bagaimana penyederhanaan perizinan itu penting,” kata Menkopolhukam Mahfud MD dalam sesi diskusi di ILC pada 21 Oktober 2020. Kemudian, kata Mahfud, ketika tahun kedua Presiden Jokowi menjadi presiden. Ia pergi ke Tanjung Priok. Melihat bongkar muat di pelabuhan itu. Jokowi kaget, kok prosesnya bisa sampai 7 - 8 hari. “Enggak bisa dipangkas jadi 2-3 hari ?,” tanya Presiden. “Bisa,” dijawab Darmin Nasution, menteri koordinator Perekonomian Indonesia saat itu, ketika mendampingi kunjungan tersebut. “Tapi ternyata enggak bisa juga. Banyak bertentangan dengan aturan lain. Bagian lain,” cerita Mahfud. Nah, ketika Luhut Binsar Panjaitan menjadi Menkopolhukam, Mahfud MD dan Jimmly Assidiqi (pakar hukum tata negara), serta Indriyanto Seno Adji diundang. Luhut meminta pandangan, “Bagaimana ini, pemerintah terhambat dengan banyaknya aturan”. Maka Mahfud MD ketika itu mengusulkan untuk dibuat omnibus law. Itu tahun 2016. Tapi tiba-tiba Luhut di-reshuffle pindah ke Menteri Kemaritiman. Akhirnya tertunda. Pada praktiknya, omnibus law UU Cipta Kerja menuai banyak kritikan. Demo besar-besaran terjadi. Itu melibatkan berbagai sektor. Selain dianggap lebih pro terhadap kelompok tertentu, UU Ciptaker juga dianggap kontra produktif dengan konsep otonomi daerah (Otda). Di mana ada distribusi kewenangan antara pusat dan daerah. Salah satunya politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera. Ia mengkritisi beberapa isi pasal UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Ia menilai aturan tersebut bertentangan dengan semangat otonomi daerah (otda). Beberapa kewenangan pemerintah daerah yang terpangkas, seakan melunturkan semangat desentralisasi pemerintahan tersebut. Mardani juga menegaskan sikap partainya terhadap UU itu. "Dari awal, PKS menolak UU Cipta Kerja. Karena banyak faktor. Di antaranya itu, beberapa kewenangan pemerintah daerah ditarik ke pusat. Karena bertentangan dengan prinsip otonomi daerah," katanya kepada Harian Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com, baru- baru ini. Mestinya, kata dia, pemerintah pusat lebih jeli lagi melihat persoalan izin. Seharusnya, dalam penyusunan UU ini, khususnya soal perizinan, pembahasannya lebih banyak dengan pemerintah daerah. "Mestinya, pengambilan keputusan lebih banyak diberikan ke daerah. Karena pemerintah daerah lebih paham kondisi, realita di daerah," imbuhnya. Yang dilakukan pemerintah pusat, kata dia, seharusnya mengedukasi daerah agar ease of doing business (EODB)-nya baik. Agar kemudahan berbisnis di satu daerah bisa lebih baik. Sehingga proses perizinannya berjalan efektif, efisien, dengan waktu yang jelas. Kemudian tarifnya juga jelas dan terbuka. Sehingga tak ada korupsi. Dan proses pemberian perizinan berjalan cepat. Anggota Badan Kerja Sama Antar Perlemen (BKSAP) itu juga menganggap, beberapa kewenangan perizinan daerah yang ditarik ke pusat, justru berbahaya. Bisa saja, pemerintah pusat mengeluarkan aturan yang justru berbahaya bagi masyarakat di daerah. "Ada obral izin dari pusat, masyarakat di daerah yang terima dampaknya. Itu konsep (perizinan) atau paradigma berbahaya dalam UU Cipta Kerja," tegasnya. Oleh karena itu, Mardani menilai, UU Cipta Kerja harus diubah. Direvisi. Memang tak harus semua. Karena tak semua pasal atau isi UU itu bermasalah. Dan merugikan daerah. "Harus dikoreksi. Mengedepankan semangat otonomi daerah. Jangan disorientasi. Otda itu amanat reformasi. Di mana, reformasi juga bagian dari kemajuan demokrasi," kata ketua DPP PKS itu. Hal yang sama juga disampaikan Anggota DPD RI perwakilan Kaltim, Aji Mirni Mawarni. Ia menilai, selain pemangkasan kewenangan perizinan, UU Cipta Kerja juga mengancam pendapatan daerah. "Kita sedang membahas. Berusaha, untuk menyuarakan (agar UU direvisi). Memang, di sisi lain, proses investasi lebih mudah. Karena jalur birokrasi diperpendek. Tapi itu mengurangi semangat otda. Kemudian (berpotensi) banyak pendapatan yang hilang," jelasnya.GENJOT INDUSTRI HILIR
Pengamat Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah menilai otonomi daerah adalah mandat reformasi 1998. Semangat otonomi daerah ini, dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Serta sebagai upaya melahirkan kesejahteraan sekaligus pemerataan pembangunan. Hadirnya UU Cipta Kerja, kata dia, dinilai mencederai tujuan otonomi daerah. Karena banyak mengambil alih kewenangan daerah ke pemerintah pusat. Herdi menyebut, hampir semua kewenangan daerah di take-over ke pusat. Mulai dari pertambangan, perkebunan, sumber daya air, pesisir dan pulau kecil, penataan ruang hingga ke soal lingkungan hidup. Hal ini, menyebabkan potensi kehilangan pendapatan yang sangat besar dari pemangkasan perizinan di daerah. Karena penarikan kewenangan bermakna hilangnya anggaran terhadap kewenangan yang selama ini dikelola daerah. "Tinggal kewenangan yang tidak berkaitan dengan investasi. Seperti pendidikan dan kesehatan yang masih tersisa di daerah," ucap Herdi. Untuk itu, Herdi menyarankan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan PAD. Sektor yang seharusnya digenjot adalah industri hilir. Kaltim harus fokus membangun sektor hilir itu, dengan konsep industri manufaktur. Agar daerah bisa mandiri dan melepaskan ketergantungan dari sektor ekstraktif. Selain itu, industri ramah lingkungan juga harus mendapat porsi, seperti pariwisata. Meski pun, di tengah pandemi seperti sekarang. Sektor pariwisata belum bisa diharapkan untuk pulih. (krv/sah/dah)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: