Susah Menolak Air Mata

Susah Menolak Air Mata

Ini catatan Adhi Abdian, satu di antara korban dan saksi hidup peristiwa tsunami dan likuefaksi di Palu- Sigi dan Donggala pada 28 September 2018 lalu. Berikut kisahnya.

nomorsatukaltim.com - TAK ada yang siap menjadi korban bencana alam. Apalagi yang sedahsyat bencana gempa dan tsunami di Palu-Sigi-Donggala.  Tak ada peringatan—belakangan diketahui alat peringatan tsunami di laut Palu tak aktif karena baterainya dicuri oleh oknum tak bertanggung jawab-dan kurang siapnya Pemda membuat proses pertolongan korban berjalan seadanya. Saat kejadian saya ada di rumah ibu di Jl. Sausu gang 1 daerah Palu Barat. Gempa sekitar pukul 18.00 Wita. Padahal 15 menit sebelumnya saya berada di Jl. Cumi-Cumi. Tepatnya di lokasi usaha foodcourt saya. Tepat di samping Hotel Mercure Palu. Yang kebetulan menjadi salah satu titik terparah yang terkena tsunami. Seharian saya menyiapkan lokasi foodcourt itu untuk menjadi bagian peringatan HUT Kota Palu. Ada panggung live band dan parade band indie se-Kota Palu. Saat gempa, tak terbersit bahwa lokasi usaha saya itu terkena tsunami. Saya mengetahuinya dari kabar warga yang bermukim di daerah dekat pantai Palu bahwa Teluk Palu tersapu tsunami. Ya saat itu sinyal tak ada. Listrik padam. Semua buta informasi. Saat gempa 7,4 itu terjadi, saya berada di kamar mandi. Bersiap untuk salat maghrib setelahnya. Getaran pertama mengagetkan. Getaran kedua begitu keras. Saking kerasnya saya sampai terlemper dan terbentur pintu kamar mandi. Terdengar suara lemari piring dan kulkas di dapur depan kamar mandi bergetar hebat dan semua isinya terhambur keluar. Belum reda getarannya, saya langsung teriak ke anak istri "Keluar rumah, tiarap di tengah jalan!!," teriakku sambil mengambil kain taplak meja untuk menutup badan. Sampai depan rumah suasana sudah tak karuan, para tetangga pada berlarian. Arahan supaya ikut tiarap bersama kami banyak yang tak ikuti karena panik. Walhasil, lutut mereka luka-luka karena terjatuh dan bangkit berkali-kali meski getaran masih terjadi. Proses mencari lokasi aman juga penuh dramatis, kami berempat naik 1 motor Suzuki Thunder. Nabil anak tertua duduk di depan (atas tangki) istri dan si bungsu Naura di belakang. Masuk daerah Jalan Cemara menuju dataran tinggi, suasananya mencekam. Sepanjang jalan banyak jalan terbelah dan hampir semua tiang listrik tumbang.  Kabelnya berseliweran di tengah jalan. Nabil sampai harus mendorong kabel-kabel itu ke arah samping dengan masih di atas motor, agar kami bisa lewat. Takutnya minta ampun. Banyak rumah runtuh, tangisan terdengar dari banyak rumah yang kami lewati. Berkeliling sekitar 2 jam, baru kami putuskan untuk berdiam di lapangan olahraga yang ada di daerah Donggala Kodi. Yang terjadi hal manusiawi : semua orang siapa pun itu, pejabat, polisi, tentara, menyelamatkan diri dan keluarga dengan caranya masing-masing. Tak ada arahan harus menyelamatkan diri kemana. Tak ada panduan di mana titik kumpul yang teraman. Apalagi gempa susulan terus ada hampir setiap 30 menit. Sepanjang malam. Bayangkan bagaimana tegang dan tak karuan rasanya. Takut, sedih, pasrah, campur aduk. Lempeng palu yang posisinya "mengelilingi" dan juga membelah kota, membuat sebagian besar warga kebingungan. Terposisi di lereng, arah evakuasi yang seharusnya ke arah dataran tinggi atau pegunungan, tak dilakukan. Alasannya, Perumnas Balaroa yang merupakan permukiman terbesar di Kota Palu, menjadi area terparah likuefaksi dengan korban diperkirakan ribuan orang yang tertanam di rumahnya sendiri. Menyelamatkan diri sama keluarga juga menjadi proses yang sangat traumatis dan menyedihkan. Melewati rumah yang rubuh, jalan raya yang terbelah dan melihat mayat yang bergelimpangan. Ini bikin perasaan campur aduk. Berpikir jernih jadi susah. Apalagi gempa susulan setiap 30 menit bikin suasana menjadi tegang. Terus tegang. Kubawa anak (2 anak) dan istri ke daerah pegunungan. Itu pun dengan kebingungan. Karena banyak warga yang tinggal di pegunungan justru mengungsi ke daerah kota. Ini karena beberapa dataran tinggi memang terdampak langsung likuefaksi. Mau ke mana lagi. Diserang dari dua arah. Dari laut dengan gelombang tsunami dan dari pegunungan pergerakan likuefaksi. Kemudian memutuskan untuk berdiam di salah satu lapangan olahraga milik kelurahan. Ini jadi opsi terbaik saat itu. Ratusan orang berkumpul di situ. Seperti tempat penampungan sementara. Namun perasaan tetap tak karuan. Bayangkan, di tengah kondisi tak menentu itu, hampir setiap menit terdengar teriakan warga yang datang memanggil nama seseorang yang kemungkinan besar sanak saudaranya. Ada yang lebih lirih lagi. Datang dengan membawa sanak keluarga yang sudah menjadi mayat. Atau datang dengan meminta tolong agar keluarganya yang terjebak dalam reruntuhan rumahnya ditolong. Atau melihat kedatangan beberapa balita dengan banyak luka dikakinya -- konon mereka di lempar ke atap rumahnya oleh orang tuanya. Ketika rumahnya perlahan tenggelam di telan tanah. Kebetulan lokasi kami dekat dengan Perumnas Balaroa yang kena likuefaksi itu. Susah rasanya untuk tidak berurai air mata. Apalagi istri saya sempat dititipi untuk menjaga bayi. Usianya sekira 3 bulan. Bayi itu pun sudah tak bernyawa. Karena saat berlari mencari selamat, sang ibu terlalu erat memeluknya. Ini membuat kami sadar, bahwa tak ada kekuatan manusia yang bisa menahan kekuatan alam. (*/koordinator iklan SKH Disway Kaltim area Samarinda/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: