Pembangunan Harus Mengganti Fungsi Resapan Air yang Hilang
"Air itu ada tiga cara manajemennya. Yakni perhitungan berapa yang teresap, berapa yang ditampung, dan berapa yang dialirkan,"
Samarinda, nomorsatukaltim.com - Persoalan banjir seperti tak mau lepas dari Samarinda. Banjir sudah menjadi salah satu hal yang paling melekat dalam ingatan warga ibu kota Provinsi Kaltim ini. Pun orang-orang yang kerap berkunjung. Lantas apa sebenarnya biang keroknya? Aktivis lingkungan sekaligus founder Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM), Krisdiyanto menjelaskan soal banjir hingga ke pangkalnya. Menurutnya, masalah banjir di Samarinda memang sudah menjadi permasalahan akut. Terlepas dari yang yang terjadi itu hanya genangan atau banjir bandang. Yang jelas menimbulkan kerugian pada masyarakat. Baik itu kerugian karena adanya korban jiwa, kerugian materiil hingga yang non materiil. “Intinya, banjir adalah kejadian yang tak pernah diinginkan,” katanya. Ia pun coba menjabarkan sebab-sebab banjir di Samarinda berdasarkan segementasi wilayah. Yang pertama adalah banjir yang kerap terjadi di kawasan Jalan P Suryanata, Jalan Juanda, Kawasan Sempaja dan Wilayah Tanah Merah, Samarinda Utara. Pada segmentasi itu, menurut Kris -- sapaan penggagas komunitas Gempar (Gerakan Menjaga dan Merawat Parit) di Samarinda itu, penyebabnya adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Tanah Merah. Luapan DAS Tanah Merah dikatakan membentuk ring (lingkup cakupan) beberapa kawasan. Yang terdiri dari kawasan Jalan Suryanata, Ringroad, sampai Tanah Merah. DAS Tanah Merah kemudian terpecah ke beberapa DAS kecil. Salah satunya yang masih terlihat DAS Karang Asam kecil. Yang meliputi wilayah-wilayah tadi. Sampai di Jalan HM Ardans. DAS Tanah Merah melingkupi kawasan utara Samarinda. Lalu terpecah ke beberapa DAS kecil tadi di wilayah Suryanata. Kris menyebutnya sebagai daerah pegunungan belakang, atau Berambai bawah. Wilayah itu merupakan perbukitan. Masalahnya, kata Kris, daerah perbukitan itu sebagian besar sudah beralih fungsi. Yang paling dikenal adalah kawasan Puncak Suryanata. Bukit yang ditambang untuk keperluan batu gunung. "Kita tahu sendiri di atasnya diokupasi, jadi terlihat makin curam. Dan kehilangan banyak fungsi resapan," Kris bercerita kepada Disway Kaltim, Kamis, (14/1). Ia tidak mau memungkiri, masifnya pembukaan lahan untuk keperluan permukiman, kawasan industri pergudangan, perkantoran, perumahan, bertujuan untuk mendorong kemajuan suatu kota. Hanya saja, pemerintah harus memikirkan bagaimana dampak dari penurunan fungsi resapan dari okupasi lahan tersebut. Apalagi masalahnya bukan hanya di pemerintahan. Terkadang, warga yang memiliki lahan juga tidak mau memahami. Bahwa tanahnya masuk dalam wilayah kawasan hijau. Daerah resapan air. "Sehingga tadi enggak boleh diapa-apain. Tapi ini yang masih jadi problema tersendiri," ucapnya. Di satu sisi, ia meragukan kemampuan pemerintah memberi kompensasi ganti rugi untuk membebaskan kawasan seperti demikian. Kris sebenarnya ingin menawarkan solusi. Bahwa menurutnya pembangunan memang tidak mungkin terhindarkan lagi. Tetapi, perlu diperhatikan, apapun jenis eksploitasi yang melakukan alih fungsi lahan. Harus memberikan kompensasi terhadap ruang-ruang yang sudah tergantikan fungsinya. Kris memberi contoh. Setiap pembangunan yang melakukan pengupasan lahan. Harus menghitung kemampuan resapan area yang diokupasi. Dan fungsi itu harus digantikan. Entah dalam bentuk biopori, ataupun bentuknya sistem DAM atau penampungan air. Serta pembangunan drainase untuk manajemen air. Atau kombinasi dari ketiganya. "Air itu ada tiga cara manajemennya. Yakni perhitungan berapa yang teresap, berapa yang ditampung, dan berapa yang dialirkan," papar Kris. "Ketiga poin ini harus diketahui dulu. Berapa nih ruang hijau kita, yang punya fungsi resapan tinggi. Kemudian tampungan, bisa tandon, bisa tampungan perumahan dengan sistem panen air hujan. Ketiga limpasan run up. Air yang melimpas dari sisa-sisa hujan,” terangnya. Sehingga dengan begitu, kata Kris, pembangunan yang menghilangkan fungsi resapan dapat dikontrol. Maka dengan begitu pula, yang harus dilakukan setelah pembangunan ialah mengembalikan fungsi yang hilang. “Maka bila fungsi tidak dikembalikan. Jadilah banjir bandang seperti di Suryanata itu,” pungkasnya. (eny)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: