Cendol Dawet

Cendol Dawet

Banyak makanan di kamar  sebenarnya baik saja. Dulu. Bisa untuk yang menunggu. Atau dibawakan untuk siapa saja. Tapi kali ini beda. Tanpa penunggu. Tanpa penjenguk.
Dan saya ingin kamar ini tetap  bersih.

Juga saya ingin badan saya tidak menggembrot –karena makan terus tanpa olahraga. Gerak saya begitu terbatas. Jalan kaki terjauh yang bisa saya lakukan: lima langkah. Dari tempat tidur ke kamar mandi.

Saya memang ingin sedikit senam di kamar. Saya bisa minta kiriman lagu-lagu senam saya. Tapi di tangan saya ini ada ”terminal” infus. Kalau banyak terguncamg darah bisa muncrat.

Hari kelima di RS –tiga hari lalu– saya di-swab lagi: masih positif. Juga masih strong positif. Padahal sudah lima hari digelontor anti-Covid.

Untung hasil test lainnya tetap bagus. Misalnya hasil test kemarin pagi:
Temp: 36,5
Blood: 135/71
Oxygen: 98
Heart beat: 81

Masih tersisa pekerjaan bagaimana membuat negatif.
Memang tidak mudah. Dokter tahu saya seorang ”residivis”. Termasuk saya ini tidak lagi punya empedu. Empedu saya dibuang 15 tahun lalu.

Bersamaan dengan hati saya yang penuh kanker. Empedu itu sendiri, yang mengait di hati itu, memang sudah ikut rusak.

Kalau saya terus digelontor obat anti-virus bisa bahaya:  bisa-bisa liver dan ginjal saya yang kalah. Kalau saja saya masih punya empedu masih terbantu. Tugas empedu kan memproses racun. Termasuk racun dari obat-obatan.

Dokter juga harus konsentrasi mengatasi terjadinya pencendolan darah. Dua hari pertama di RS kekentalan darah saya sudah berhasil turun 600 poin. Dari 2.600 ke 2000.

Itu belum cukup. Harus turun 1.500 lagi. Sampai tinggal 500. Atau di bawah itu.

Ketika terjadi penurunan 600 poin itu, dosis obatnya dikurangi. Dokter juga harus memikirkan dampak-dampak lainnya. Akibatnya, dua hari kemudian, angka D-Dimer itu naik lagi sedikit: 50 poin. Akhirnya dosis obatnya dinaikkan lagi. Kembali ke dosis awal.

Hasilnya: kemarin diambil darah lagi. Sudah turun lagi 400 poin. Tinggal perlu turun 1100 lagi.

Saya sendiri akan mengakhiri penggunaan istilah cendol atau mencendol itu. Tapi saya juga belum menemukan istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat.

Salah satu yang menanggapi soal cendol itu adalah Prof Dr Med Puruhito. Beliau adalah “ayatullah” penyakit jantung Surabaya. Beliau juga perintis bedah jantung.

“Istilah yang pas adalah pengentalan. Memang bisa jadi clot. Kalau ”mencendol” kurang pas. Secara fisiologis dan hemorheologis (ilmu aliran darah) adalah mengental,” tulis Prof Puruhito.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: