Alat Bukti Belum Cukup, Kasus Tewasnya Anak di Lubang Tambang Tak Kunjung Tuntas

Alat Bukti Belum Cukup, Kasus Tewasnya Anak di Lubang Tambang Tak Kunjung Tuntas

Samarinda, NomorSatuKaltim.com - Sejak 2011 silam, terhitung sudah ada 16 anak Samarinda yang meregang nyawa di lubang tambang batubara. Hal itu tentu menjadi catatan buruk, dari sekian ragam peliknya kasus pertambangan yang terjadi di Kota Tepian.

Kasus anak tewas di lubang tambang, pertama kali terjadi pada sembilan tahun lalu, tepatnya pada 13 Juli 2011. Namun, hingga saat ini, kasus yang merenggut nyawa penerus bangsa tersebut, tak kunjung usai. Dari 16 kasus anak tewas di lubang tambang, hanya satu perkara saja yang sampai ke meja persidangan. Itu terjadi di 2013 lalu. Sisanya hanya mengambang di kolam tambang. Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Arif Budiman, menanggapi perihal kasus tewasnya anak di lubang tambang, yang hingga saat ini urung jua terselesaikan proses hukumnya. Perwira menengah ini mengaku, masih melanjutkan penyelidikan terkait kasus tenggelamnya anak di lubang tambang. Belum usainya pengungkapan kasus tersebut, dikarenakan belum cukupnya alat bukti. "Untuk melanjutkan kasus (lubang tambang) itu tentu tentunya harus ada alat bukti ya, nanti akan saya cek lagi. Kalau 2020 tidak ada (kasus lubang tambang). Tapi 2019 ke bawah yang banyak. Banyak juga di wilayah lain, tapi kalau di Samarinda sendiri nanti akan saya cek langsung. Saya mohon waktu," katanya. Kembali ditanya terkait kasus tenggelamnya anak di lubang tambang terakhir di Jalan Suryanata, Gang Saka, Samarinda Ulu, pada 22 Juni 2019 lalu, Arif kembali mengatakan hal serupa. Pihaknya masih belum bisa menemukan bukti yang kuat. Padahal, Surat perintah penyidikan (SPDP) dikirim ke kejaksaan pada Juli 2019. Terlapor dalam perkara tersebut, Armain dan Abidin Yansyah --warga sekitar- yang bersangkutan itu, mengakui mengerjakan lubang tambang ilegal. "Seperti yang saya sampaikan tadi, itu berarti kan saksi-saksi dan buktinya kurang kuat, tapi nanti perkembangannya akan kami sampaikan," ucapnya. Disinggung soal kasus tambang ilegal, seperti temuan di belakang Bawaslu Kaltim yang mencuri perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada September 2019 lalu, Arif mengaku belum mengetahui secara jelas. Sebab, kala itu, dirinya belum menjabat sebagai Kapolresta Samarinda. "Itu saya belum ada di sini ya karena saya baru masuk. Tapi nanti saya cek, saat ini tidak ada kegiatan memang di sana," ucapnya. Ketika ditanya ada tidaknya kemungkinan kasus yang belum terungkap ini akan dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), Polisi berpangkat melati tiga ini mengatakan, tidak akan secara tiba-tiba mengeluarkan mengajukan surat itu. "Ya kalau tidak jelas kenapa harus di-SP3. Kan ada beberapa kriteria, salah satunya tersangkanya meninggal dunia dan sudah kedaluwarsa. Tapi nanti kita lihat sampai di mana, kita tidak bisa tiba-tiba mengeluarkan SP3, harus gelar juga," tandasnya. Terpisah, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Pradarma Rupang, mempertanyakan kinerja Polresta Samarinda. "Ini yang jadi pertanyaan. Kita sayangkan kinerjanya hanya minimalis. Pertanyaan adalah seprofesional dan seserius apa kepolisian kita menindak tuntas?" kata Rupang. Menurutnya, polisi harusnya dapat menjadi ujung tombak di tengah lemahnya pengawasan tambang. Selain dirinya menilai, pemerintah daerah juga tak memiliki kemampuan dalam menindak kasus pertambangan. "Problemnya para pemimpin yang bisa memberikan diskresi ini malah masa bodoh. Di lain kita juga menuntut kinerja kepolisian. Jadi komunikasi antar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum ini tidak baik, jadi rakyat yang dikorbankan," pungkasnya. (aaa/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: