Pembenci Islam Berlindung di Balik HAM
OLEH: M FUAD TINGAI V.J*
Sudah 20 tahun berlalu peristiwa Nine-Eleven mengguncang dunia. Namun dampak yang ditimbulkannya bisa kita rasakan hingga saat ini. Khususnya pada perkembangan pemikirian Islam yang modern.
Sejak itu, Amerika Serikat (AS) yang menjadi “korban” dari serangan tersebut telah melemparkan tudingan kepada Al-Qaeda. Dengan mengambing-hitamkan Islam sebagai bintang utamanya. Dan membentuk suatu slogan baru yang sangat popular di dunia Barat hingga saat ini, “Perang melawan teroris”. Tidak ada yang salah dengan slogan tersebut. Baik bagi keamanan dunia. Yang menjadi persoalan ketika slogan tersebut membentuk stigmatisasi masyarakat dunia terhadap Islam, yang telah kita kenal sebagai “Islamofobia” suatu sebutan yang merupakan bentuk provokasi ataupun diskriminasi terhadap suatu golongan. Islamofobia yang berkembang sekarang cukup meresahkahkan, khususnya di Benua Eropa. Kasus Islamofobia memanas kembali di Perancis. Hal ini disebabkan oleh kasus murid dan guru yang berakhir dengan pembunuhan. Disebutkan bahwasanya hal ini didasari tersinggungnya murid tersebut yang kebetulan merupakan seorang muslim. Sang guru menunjukkan gambar kartun Nabi Muhammad SAW kepada murid-muridnya. Ini yang membuat sang murid naik pita. Pada dasarnya Perancis memiliki populasi muslim terbesar di Eropa Barat. Lebih dari 5 juta di negara berpenduduk 67 juta itu. Kebanyakan muslim di Perancis merupakan imigran-imigran dari negara-negara Afrika Utara. Perancis dan negara Islam dapat dikatakan memiliki sejarah yang tak menyenangkan. Pasalnya, dahulu negara-negara muslim merupakan negara jajahan Kerajaan Perancis. Superior. Mungkin masih membekas di hati bangsa Eropa. Khususnya Perancis. Yang memang kebanyakan dari imigran yang merupakan orang-orang berkulit hitam. Hal ini memungkinkan juga budaya merendahkan masyarakat berkulit hitam masih membekas di pikiran mereka. Di sisi lain, majalah Charlie Hebdo juga dapat dikatakan sebagai provokator pada kasus-kasus Islamofobia di Perancis. Meskipun sudah mendapatkan kutukan dari banyak pihak setelah mereka menggambarkan dan menampilkan kartun Nabi Muhammad. Kantor majalah itu telah dibom oleh sekelompok orang. Namun Charlie Hebdo tetap menjaga eksistensinya hingga hari ini. Namun, lucunya pemerintah Peranci tampaknya tak menganggap hal ini sebagai masalah yang berbahaya bagi masa depan dunia. Pemerintah Perancis baru-baru ini telah membuat statement yang pada dasarnya menyakitkan bagi umat muslim dunia. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan, Islam berada pada masa krisis. Ia menganggap Islam pada masa ini berada pada masa yang sulit untuk diterima di masyarakat. Dia juga menuliskan kata-kata “tidak akan menyerah terhadap kaum radikal Islam”. Cuitanya di Twitter ini menimbulkan pertanyaan. Siapakah yang radikal dalam konteks ini. Pada dasarnya, Perancis memang menjadikan demokrasi sebagai landasan negaranya. Ia menganggap nilai demokrasi tak melarang seseorang untuk menyampaikan aspirasinya maupun bebas untuk berekspresi. HAM bisa dianggap sebagai pelariannya. Jika kita memaknai HAM, tentunya ada nilai-nilai yang perlu kita jaga. Memang pada HAM terdapat nilai untuk bebas berekspresi dan menyampaikan aspirasi. Namun kerap kali hal ini disalahgunakan. Mungkin seorang Macron lupa bahwa setiap orang tidak boleh menyebarkan kebencian sehingga menimbulkan rasa tidak aman. Inilah yang menjadi pertanyaan besar kita: apakah HAM dan demokrasi sudah kita pahami sebagai cara untuk memanusiakan manusia atau kita hanya memanfaatkannya untuk memperjuangkan hak kita yang menambrak hak orang lain? Meski Islamofobia di Perancis ini bukan cerita baru, tapi tampaknya tidak ada yang mengerti mengapa hal ini terus terjadi. Menurut penulis, bisa saja stigma ini hadir di Eropa. Khususnya Perancis. Sebagai satu tanda ketakutan pemerintah kepada perkembangan Islam di sana. Demi menjaga eksistensi orang kulit putih yang kerap kali merasa superior. Alih-alih menjalankan nilai HAM, Macron malah membiarkan pergolakan di tengah masyarakat. Tak menutup kemungkinan keadaan ini bisa saja lebih buruk. Pasalnya, ini sama saja menciptakan ketakutan pada masyarakat Perancis. Karena terlalu berlarut-larut dalam masalah yang tak kunjung diselesaikan. *** Mungkin kita akan bertanya-tanya, kapan Islamofobia ini usai? Jawabanya tentu tidak tahu. Kebencian sudah mengakar di hati manusia. Keamanan dan perdamaian akan sukar untuk diraih. Perbedaan di tengah masyarakat kita bukan menjadi suatu kebanggaan. Namun menjadi alat untuk saling menjatuhkan. Islamofobia kemungkinan akan terus bergulir. Bersamaan dengan proses-proses HAM yang juga tak jelas. Pada dasarnya hanya meninggikan nilai-nilai Barat. Yang terkadang menganggap Islam tak bersahabat dengan dunia. Satu pertanyaan yang mungkin juga dipertanyakan orang lain, bagaimana jika Islamofobia juga merasuki muslim sendiri? Karena tak dapat kita mungkiri, saat ini banyak orang mengaku muslim. Tapi menyebarkan ketakutan tentang Islam. Ini yang sebenarnya menjadi persoalan yang harus diperbaiki. Pendidikan Islam yang benar dan baik harus dimulai dengan bentuk-bentuk kebaikan. Rusaknya umat bisa datang dari pemikiran-pemikiran yang salah dan tak sesuai dengan prosedur dasar agama. Dengan penuh harapan apa yang terjadi di Perancis tidak akan terjadi di negeri kita yang katanya penuh dengan toleransi ini. (*Mahasiswa Hubugan Internasional Universitas Islam Indonesia yang sedang menjadi Asisten Dosen dan Riset di Universitas Gadjah Mada)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: