Hakim Tolak Gugatan Praperadilan 2 Mahasiswa Tersangka Demo UU Cipta Kerja

Hakim Tolak Gugatan Praperadilan 2 Mahasiswa Tersangka Demo UU Cipta Kerja

Pupus sudah upaya Wisnu dan Firman lepas dari status tersangka. Hakim tunggal dalam sidang praperadilan menolak gugatan dua mahasiswa yang dilayangkan kepada Polresta Samarinda. Statusnya akan segera naik menjadi terdakwa.

nomorsatukaltim.com - RAUT wajah kekecewaan tak bisa disembunyikan dari kuasa hukum tersangka dan penonton sidang di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Kamis (17/12/2020) sore itu. Usai gugatan praperadilan Wisnu dan Firman ditolak hakim tunggal, rekan tersangka yang turut menonton jalannya persidangan seketika berunjuk rasa. Menuntut kedua rekan mereka bebas dari belenggu hukum, dan menuding hakim tak adil memutus perkara. Dua mahasiswa ini, sebelumnya telah dilakukan penangkapan, penahanan, hingga ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Samarinda. Terkait dugaan membawa senjata tajam (sajam) dan penganiayaan pada aksi unjuk rasa penolakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang berujung ricuh di DPRD Kaltim, 5 November lalu. Atas penangkapan, penahanan, hingga penetapan tersangka itu, kedua mahasiswa ini memilih menempuh jalur praperadilan. Namun sayang, Hakim tunggal yang telah memeriksa dan mengadili, memberikan putusan menolak permohonan praperadilan. Persidangan praperadilan keduanya berlangsung secara bersamaan di ruangan yang berbeda. Hakim Tunggal Agung Sulistiyono memutuskan perkara Wisnu. Sedangkan Yoes Hartyarso memutuskan perkara Firman. Singkatnya, masing-masing hakim tunggal dalam amar putusannya, menyampaikan hasil pertimbangan dari kesimpulan fakta persidangan. Bahwa penetapan dua tersangka telah sah dan dilakukan menurut prosedur yang berlaku. Di mana Firman, ditetapkan sebagai tersangka pembawa senjata tajam dengan dikenakan Pasal 2 Ayat 1 UU Darurat nomor 12 tahun 1951. Sedangkan Wisnu yang ditetapkan sebagai tersangka, dikenakan Pasal 351 ayat 1 tentang penganiayaan. "Menimbang, berdasarkan bukti surat penggunaan kewenangan penyidik dalam melakukan tindakan penahanan terhadap tersangka atas nama Wisnu. Dengan dugaan melakukan tindak pidana penganiayaan, masih memenuhi ketentuan hukum. Seperti apa yang menjadi syarat dan cara penggunaan penahanan oleh penyidik," ucap Agung Sulistiyono saat membacakan amar putusan atas perkara Wisnu Menurut hakim, para pemohon juga tidak bisa membuktikan adanya anggapan tidak sahnya penangkapan, penahanan, hingga penetapan tersangka dalam kasus yang menjerat kedua mahasiswa tersebut. Sehingga, hakim tunggal menimbang berdasarkan fakta persidangan di atas. Dengan menyatakan alasan-alasan di dalam sidang praperadilan yang diajukan kedua pemohon, dinyatakan tidak beralasan dan ditolak. "Mengadili, menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya. Dengan membebankan biaya perkara kepada pemohon sejumlah Rp 5 ribu. Demikian diputuskan pada hari ini (kemarin, Red.)," ucap Agung Sulistiyono sembari mengetuk palu. Dengan demikian, maka perkara kedua mahasiswa tersebut dilanjutkan ke tahap sidang pokok perkara. Dan akan naik status menjadi terdakwa dalam persidangan yang akan segera digelar dalam waktu dekat. Dikonfirmasi terpisah, Indra, kuasa hukum tersangka Wisnu mengaku kecewa atas putusan hakim tunggal. Pasalnya, berkas kesimpulan dalam fakta persidangan yang telah diajukan kepada hakim tunggal, menurutnya tidak dijadikan pertimbangan dalam memutuskan perkara ini. "Tentu kami kecewa, dalam pertimbangan yang kami ajukan, sebagaimana yang tertuang dalam permohonan praperadilan, kami yang sangat berkeyakinan terdapat cacat formil dalam administrasi penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka, ditolak oleh hakim," ungkapnya saat ditemui usai persidangan. Ia menyebutkan pertimbangan hakim tunggal dalam persidangan praperadilan perkara Wisnu. Hakim menyatakan, penetapan tersangka yang dilakukan aparat kepolisian telah memenuhi syarat formil. "Hakim mengatakan, bahwa penangkapan dan penahanan klien kami, sudah memenuhi syarat formil, berdasarkan hukum acara pidana," ucapnya. Kendati demikian, ia mengaku sangat menghormati apa yang menjadi keputusan hakim tunggal di Persidangan. Kini ia akan berfokus menghadapi sidang pokok perkara. "Maka selanjutnya kami akan kawal di persidangan pokok perkara yang akan digelar di PN Samarinda," imbuhnya. Dalam kesempatan itu, Indra turut menyampaikan, tindakan pelemparan yang diduga dilakukan kliennya, pada kericuhan unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja di DPRD Kaltim adalah spontanitas. "Itu adalah reaksi terhadap mobil water canon, termasuk gas air mata. Mereka bereaksi secara spontan, bukan sesuatu yang disengaja atau direncanakan. Jadi sekali lagi saya katakan, yang dilakukan peserta unjuk rasa penolakan UU Omnibus Law, di Kantor DPRD Kaltim pada 5 November lalu, adalah spontanitas tanpa disengaja," pungkasnya. Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, Tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bernard Marbun selaku kuasa hukum tersangka Firman mengatakan hal senada dengan Indra. Bahwa hakim tunggal tak menjadikan kesimpulan yang telah ia ajukan, sebagai alat pertimbangan dalam memutuskan perkara ini. Menurutnya, hakim tunggal hanya beracuan dengan hukum acara pidana dan Perkap kepolisian. "Yang dipertimbangkan adalah dua alat bukti dari keterangan saksi yang berangkat dari pada kepolisian. Padahal kita ketahui bersama, bahwa pada saat kejadian 5 November 2020, itu tidak hanya ada kepolisian saja di situ. Ada masyarakat umum di situ. Seharusnya, saksi itu diisi oleh masyarakat umum, kalau memang terjadinya sebuah tangkap tangan," ungkapnya. Disebutkannya, dari dua alat bukti termohon yang dijadikan acuan hakim tunggal di dalam persidangan, adalah berkas laporan polisi hingga berkas dari keterangan saksi di berita acara pemeriksaan (BAP). Yang notabene seluruh keterangan diisi oleh anggota polisi. "Harusnya Hakim juga melihat ini. Apakah di situasi unjuk rasa seperti itu diperkenankan hanya polisi saja yang menjadi saksi. Kenapa tidak dari masyarakat umum. Kalau seperti ini kan sangat rentan tidak objektif dan tidak netral gitu loh," jelasnya. Dia mencontohkan apa saja hal yang diduga tidak objektif dari dua alat bukti tersebut. "Bisa saja kalau ini anggapan polisi saja yang melihat senjata tajam yang terjatuh dari tubuh Firman. Sementara saat itu banyak orang. Apakah sama sekali tidak ada yang melihat. Seharusnya logika pertimbangan hakim tunggal sampai di situ," kesalnya. "Jadi Hakim hanya melihat dari bukti-bukti surat dari kepolisian. Ya jelaslah, karena yang membuat bukti surat itu ya dari pihak termohon. Kalau kita bisa bikin suratnya, ya kita juga bikin suratnya, kan begitu. Makanya tidak adil, kalau acuan hanya sebatas surat-surat saja," sambungnya. Dengan rasa kecewa, Bernard mengaku tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi sidang pokok perkara yang akan digelar dalam waktu dekat. "Untuk sidang pokok perkara, kita sudah tahu inti dari Berita Acara Pemeriksaan Saksi. Jadi tim akan rembuk dulu nanti ini, dan kita paparkan ulang isi dari BAP itu. Dari situ kita akan memperkuat dari saksi-saksi yang bisa memperkuat kita. Untuk membantah keterangan saksi dari kepolisian itu sendiri," pungkasnya. (aaa/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: