Berkah dari Minyak Jelantah

Berkah dari Minyak Jelantah

Pernahkah kita menghitung, berapa banyak minyak goreng yang setiap hari digunakan? Ke mana limbahnya? Ambil rata-rata seminggu satu keluarga menggunakan 1 liter. Jika ada 500 ribu rumah tangga, maka limbah minyak jelantah yang terbuang dalam seminggu bisa mencapai 500 ribu liter.

nomorsatukaltim.com - Penanganan minyak goreng bekas pakai belum menjadi perhatian banyak orang. Jika dibuang sembarangan, hal itu bisa mengganggu lingkungan. Biasanya, para ibu rumah tangga membuangnya di tempat cucian piring. Padahal kebiasaan itu,  selain merusak lingkungan, juga berdampak pada rusaknya saluran pembangunan. Tapi masyarakat tak punya pilihankan? Di negara maju seperti Belanda, used cooking oil (UCO) atau minyak goreng bekas, alias jelantah, diolah kembali menjadi produk yang bermanfaat. Salah satunya sebagai bahan baku biodiesel untuk pengoperasian kincir angin. Potensi ini dilihat oleh Puput Deni Iswara, warga Samarinda.  Ia memulai bisnis pengepulan minyak jelantah sejak 2015. Mengumpulkan limbah minyak goreng bekas dari sisa rumah tangga dan menjualnya kembali sebagai bahan daur ulang. Usahanya berjalan sukses. Kemudian pada 2018, ia mendirikan PT Garuda Sinar Perkasa (GSP) yang bergerak dibidang ekspor penyediaan bahan baku energi terbarukan. Berbasis limbah jenis minyak goreng bekas. Per hari, GSP bisa mengumpulkan  500 hingga 1.500 liter minyak jelantah. Untuk  pengambilan area Samarinda, Balikpapan dan Tenggarong. Kumpulan minyak jelantah itu lalu difilterisasi dan dilakukan pengecekan quality control. Untuk kemudian, diekspor ke Belanda dan beberapa negara Eropa lainnya. "Buyer utama kami memang dari Belanda. Jadi fokus di sana. Ada beberapa negara lain, tapi tidak rutin," ungkap Direktur PT (GSP) Puput Deni Iswara. Puput mengatakan pihaknya kini tidak hanya mengumpulkan limbah minyak goreng dari wilayah Kaltim saja. Namun juga telah menjangkau wilayah lain, seperti Sulawesi, Maluku, Halmahera dan Ambon. Serta cabang perusahaan GSP, PT Green Energi Utama di Malang. Yang juga mengumpulkan limbah minyak jelantah dari wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, NTT, NTB, dan Papua. Limbah minyak goreng ini, dibeli oleh GSP dengan harga Rp 4 ribu hingga Rp 7 ribu. Setiap bulannya, GSP mampu mengekspor sekitar 15 hingga 20 kontainer. Berisi 300 hingga 400 ton dalam sekali pengiriman. Biodiesel saat ini memang banyak dikembangkan di berbagai negara. Sebagai salah satu alternatif sumber energi terbarukan. Bahan bakunya pun beragam, bisa dari produk pertanian, bahan nabati, minyak sawit, dan limbah. Sayangnya, potensi limbah minyak goreng sebagai biodiesel ini, menurut Puput, belum masif dikembangkan di Indonesia. Karena memang belum ada kebijakan yang mendukung tentang aturan Energi Baru Terbarukan (EBT) berbasis limbah minyak goreng. Melainkan hanya dari bahan nabati, terutama crude palm oil (CPO). Puput berharap, ke depan GSP bisa meningkatkan kuantitas produksi dan melebarkan sayap ke lebih banyak negara  tujuan ekspor. Pihaknya juga berharap dapat menjalin kerja sama dengan seluruh stakeholder terkait. Baik pemerintah, masyarakat, dan komunitas lainnya. Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi (Perindagkop) dan UKM Kaltim,  Yadi Robyan Noor, mengapresiasi PT. GSP sebagai bidang usaha yang bergerak dalam pemanfaatan produk sustainable. Dan berorientasi ekspor. Usaha ini kata dia, juga sejalan dengan komitmen pemprov Kaltim untuk mendorong ekonomi kerakyatan Benua Etam. Khususnya produk-produk non migas. Agar menjadi lebih berdaya saing dan mampu menembus pasar global. Produk jelantah ini bisa menembus pasar ekspor global setelah dilakukan kurasi dan penilaian oleh Kementerian Perdagangan. “Kita usulkan 7 UKM. Dan 4 UKM yang disetujui pusat untuk masuk ke pasar global. Ini sangat monumental," ungkap Roby sapaan akrabnya. GSP juga menjadi salah satu UKM yang mewakili Kaltim dalam acara pelepasan ekspor produk Indonesia yang bernilai tambah dan sustainable ke pasar global. Yang dilepas langsung oleh Presiden RI Joko Widodo secara virtual pada Jumat (4/12/2020). Acara tersebut diikuti oleh 153 pelaku usaha di Indonesia. Baik pelaku usaha kecil, menengah dan besar dari 14 kota di Indonesia. Yaitu  Lhokseumawe, Surabaya, Medan, Denpasar, Pekanbaru, Mataram, Bandar Lampung, Kupang, Jabodetabek, Bandung, Makasar, Yogyakarta, Sorong dan Bontang, Kalimantan Timur. (krv/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: